Salin Artikel

Mahasiswa Ini Pergoki Aksi Perburuan Landak Jawa di Pegunungan Sanggabuana

KARAWANG, KOMPAS.com-Muhamad Agung Hazami dan rekannya mendapati sekelompok pemburu tengah menyayat dan menyantap landak di Gunung Sulah, Pegunungan Sanggabuana, Karawang, Jawa Barat.

Agung yang tergabung dalam mahasiswa pecinta alam (mapala) Unsika ini mendapati para pemburu pada 13 Agustus 2022.

Saat itu ia dan rekannya hendak mengambil dokumentasi pengibaran bendera merah putih di Gunung Sulah.

Agung menyebut jumlah pemburu ada lima orang dan membawa tiga buah senjata api rakitan.

"Para pemburu ini sedang mengolah landak yang sudah dikuliti untuk dimasak pada malam hari di sebuah pondok dekat Gunung Sulah," kata Agung yang juga tergabung dalam Baraya Sanggabuana, komunitas pecinta alam sayap organisasi Sanggabuana Conservaton Foundation (SCF).

Agung mencoba memberi tahu para pemburu perihal landak merupakan hewan dilindungi. Namun para pemburu tetap acuh. Bahkan mengaku telah terbiasa berburu di Gunung Sulah.

“Karena mereka membawa senjata api rakitan, dan beberapa memakai kaos camo dengan logo Perbakin, jadi kita minggir. Ngeri juga," ujar Agung.

Landak jawa atau Hystrix javanica merupakan satwa dilindungi sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P/10 MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Yang Dilindungi.

Dalam The International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List satwa berduri ini masuk dalam kategori Least Concern (LC) atau resiko rendah.

Sedangkan dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora masuk dalam Appendix III.

Adapun dalam Pasal 40 ayat (2) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990, sanksi pidana berburu satwa dilindungi adalah pidana pejara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta.

Direktur Executive SCF Solihin Fu’adi mengungkapkan, masih ada perburuan liar di Pegunungan Sanggabuana.

Para pemburu ini ada yang menggunakan senapan angin, ada juga yang menggunakan senjata api rakitan model dorlock.

Ia menyebut masyarakat di sekitaran Sanggabuana masih banyak yang meyimpan senapan angin dan senjata api rakitan.

Masyarakat, kata Solihin, berdalih senjata tersebut digunakan untuk menakut-nakuti binatang buas dan monyet yang mengganggu kebun. Namun faktanya banyak juga yang berburu babi hutan dan satwa lain.

"Kalau menembak babi hutan yang dianggap hama di ladang dan sawah kita tidak bisa tegur. Tapi jika menembak satwa didalam hutan, sudah merupakan tinda pidana," kata Solihin.

Padahal, kata dia, praktik menyimpan senapan angin dan senjata api rakitan ini melanggar undang-undang. Yakni bisa dijerat UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dan sanksi pidananya berat.

Dalam Peraturan Kapolri pun, senapan angin tidak boleh digunakan untuk berburu satwa, dan masuk dalam golongan senjata api.

Atas temuan ini, Solihin mengaku akan segera kembali melakukan sosialisasi tentang larangan berburu di kawasan hutan Pegunungan Sanggabuana.

Sebab, menurutnya, jika satwa-satwa terus diburu, terutama pakan alami macan tutul berkurang, dikhawatirkan akan menimbulkan konflik macan tutul dengan warga.

Seperti diketahui, dua tahun belakangan, beberapa kejadian macan tutul keluar hutan dan menyerang ternak warga di Desa Sinapel, kawasan yang dekat dengan Gunung Sulah.

“Kita akan tindaklanjuti temuan ini, dan sudah kita laporkan ke Polhut dari BBKSDA SKW IV, dan untuk peredaran senjata api rakitan akan kita laporkan ke Polsek, supaya ditertibkan," kata Solihin.

https://bandung.kompas.com/read/2022/08/17/230948378/mahasiswa-ini-pergoki-aksi-perburuan-landak-jawa-di-pegunungan-sanggabuana

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke