Salin Artikel

Nasib Industri Bata Merah di Bandung, Bertahan di Tengah Krisis Lahan hingga Gempuran Teknologi

BANDUNG, KOMPAS.com - Industri tradisional bata merah di Desa Jelegong, Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, makin hari makin terancam.

Setidaknya, hingga hari ini hanya tinggal 11 industri bata merah yang masih berupaya bernapas di tengah himpitan krisis lahan serta serbuan produk bata habel.

Semakin berkurangnya lahan untuk bahan baku tanah lempung, membuat industri tradisional ini terseok-seok dan dibayang-bayangi kebangkrutan.

Para penggerak industri juga harus berseberangan serta menjadi rival perkembangan teknologi material bangunan yang dibandrol dengan harga murah.

Sebelum matahari bertahta di puncaknya, pukul 11.07 WIB, salah seorang pengusaha bata merah, Asep (60) tengah mencetak batak merah bersama saudara dan pekerja lainnya di Desa Jelegong.

Sekalipun, ia tahu bahwa usaha yang dijalaninya sedang dalam masa kritis. Asep masih saja menyusun satu persatu bata, berharap masih ada sisa napas dari setiap bata yang tersusun untuk terus menjalankan usahanya.

Kepada Kompas.com, Asep menceritakan awal mula membangun usaha industri bata merah.

Tahun 1985, Asep memulai usahanya. Saat itu hampir seluruh warga Desa Jelegong bekerja sebagai petani.

Bisa dikatakan, Asep merupakan penggagas pertama industri bata merah yang ada di wilayahnya.

Saat itu, industri bata merah masih langka di Kecamatan Katapang. Hanya wilayah Majalaya yang sudah memiliki industri bata merah, itu pun belum terlalu banyak.

"Dulu mah di sini pada di sawah cari penghasilannya. Sampai ke Subang dan Majalaya, nah di sana di Majalaya ada pengusaha bata merah, mungkin sebagian ada yang belajar di sana. Jadi setelah saya baru bermunculan yang lain," kata Asep membuka obrolannya dengan Kompas.com, Senin (22/8/2022).

Asep juga menjelaskan, bagaimana bata merah bisa tercipta. Proses pembuatan bata merah cukup memakan waktu, tak sebanding dengan keuntungan yang didapat.

Mula-mula tanah lempung mesti dibersihkan dari kerikil, kemudian dicampur air dan diaduk hingga mirip adonan tembok atau dinding.

Setelah adonan dirasa cukup baik untuk menciptakan kualitas batu bata merah, adonan dicetak satu persatu menggunakan alat berbentuk persegi panjang yang terbuat dari kayu.

"Dalam posisi ini cetakan harus bagus, di proses ini juga yang bisa nentuin batu bata merah itu kekuatannya kuat atau enggak," kata dia.

Setelah itu, bata merah harus ditaburkan dengan abu atau pasir kemudian dijemur langsung di bawah sinar matahari hingga kering.

Jika bata merah sudah mengering dan mengeras, langkah selanjutnya yakni membakarnya dalam lio atau tungku pembakaran.

Pembakaran hanya dilakukan sekali dalam kurun waktu satu setengah bulan atau sekitar 45 hari.

Dalam sekali bakar, Asep dan pekerja lainnya bisa menyelesaikan 20.000 bata. Batu bata yang telah dibakar, siap untuk dipasarkan dan dibanderol dengan harga Rp 600 per buah.

Bata merah yang tercipta dari tangan lelaki paru baya ini, kemudian disusun rapih menjulang seperti dinding.

"Proses membakarnya sehari semalam, jadi ya harus ditungguin kaya sekarang," kata Asep.

Bertahun-tahun lamanya, Asep menjalani profesi perajin bata merah. Kini ia dihadapkan pada persoalan pelik yang lambat laun mengancam mata pencariannya.

Tak hanya itu, pil pahit juga harus ditelannya, ihwal biaya produksi yang saat ini sudah melambung tinggi.

"20.000 bata yang saya diproduksi, gak pasti semuanya bakal laku, adakan bata jenis baru dan bata itu banyak diminati sekarang, bagaimana nasibnya pengrajin seperti saya?" jelas Asep.

Krisis Lahan

Selain dibingungkan dengan penjualan yang kian merosot akibat kalah saing dengan teknologi baru.

Ia juga mengeluhkan, berkurangnya lahan tanah lempung yang menjadi bagian penting pembuatan bata merah.

Saat ini, kata Asep, para pemilik modal sudah banyak menguasai hak milik lahan desa.

Kedatang pemilik modal ini, mengancam ia dan pengusaha bata merah lainnya. Pasalnya, ia harus mengeluarkan biaya sewa ke pemilik lahan untuk mendapatkan bahan tanah lempung.

“Sekarang mah rata-rata kita tanah habis, semuanya milik orang. Jadi industri ini semuanya pada ngontrak sama yang punya lahan (untuk bahan baku tanah). Jadi setiap produksi, harus bayar ke yang punya lahan Rp 50 per buah, terus bayar pegawai Rp 70 per buah. Terus bahan bakar, dulu mah ambil dan cari sendiri, sekarang harus beli. Jadi keuntungan tidak ada,” ungkapnya.

Tetap Bertahan

Meski rintangan zaman, terus menggerogoti usahanya. Asep beserta warga yang lain mengaku masih ingin bertahan, hingga tak ada lagi peminat batu bata merah.

Baginya, tak ada pilihan lain selain mengandalkan pekerjaan sebagai perajin bata merah.

“Tetap dikerjakan biar ada kegiatan saja, daripada ngelamun. Ieu mah sataun deui, paling sataun deui seep (ini paling tinggal setahun lagi habis/tutup). Sekarang juga orang-orang yang ngebangun lebih banyak yang memilih bata ringan hebel karena lebih murah,” pungkas Asep.

https://bandung.kompas.com/read/2022/08/22/135003078/nasib-industri-bata-merah-di-bandung-bertahan-di-tengah-krisis-lahan-hingga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke