Salin Artikel

Potret Sekolah "Zero Waste" Pertama di Cianjur, Tak Ada Tong Sampah

Karena itu, langkah sekecil apapun dalam upaya mengurangi volume sampah akan berdampak besar bagi keberlangsungan lingkungan dan masa depan Bumi.

Kenyataan inilah yang kemudian mendorong SMP Islam Cendekia Cianjur (SICC), sebuah sekolah berbasis boarding di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, menerapkan konsep zero waste.

Melalui program ini, seluruh warga sekolah, mulai dari siswa, guru, staf hingga pegawai dilarang memproduksi sampah di sembarang tempat.

Pihak sekolah juga menarik seluruh tempat sampah yang selama ini tersebar di sudut-sudut lingkungan sekolah.

Dari titik-titik tersebut, sampah yang telah dipisah dan dipilah berdasarkan jenisnya ini, yakni organik dan anorganik, selanjutnya dikirim ke bank sampah untuk diolah.

“Untuk sampah plastik dijadikan ecobrick, sedangkan sisa-sisa makanan, sampah dapur, dan sampah organik lainnya seperti daun diolah jadi pelet atau pakan, dan pupuk,” ujar dia.

Disebutkan Dera, untuk menekan pemakaian wadah plastik sekali pakai, warga sekolah wajib membawa tempat makan dan minum sendiri, seperti tumbler dan lunch box.

Dengan demikian, jajanan kemasan yang dibeli dari kantin atau minimarket sekolah harus dipindahkan ke wadah tersebut, dan bungkusnya dibuang di tempat khusus.

Tujuannya, agar tidak terlalu banyak sampah, terutama limbah plastik masuk ke lingkungan sekolah.

“Gerakan zero waste ini merupakan program yang terintegrasi dengan seluruh mata pelajaran, biologinya ada, fisikanya, agama juga, termasuk ilmu sosial,” kata dia.

Dera menerangkan, zero waste sebenarnya sudah diterapkan sejak 2017, tapi sempat vakum di masa pandemi Covid-19.

Karena itu, di situasi recovery pascawabah saat ini, program peduli lingkungan ini kembali digaungkan.

“Ini program regular dan berkesinambungan, no limit, seterusnya, sampai warga kami, siswa, guru, dan semuanya menjadikan zero waste sebagai bagian dari gaya hidup,” ungkap Dera.

Gaya hidup nol sampah

Menurut Dera, sampah adalah masalah global, sehingga harus menjadi tanggung jawab bersama.

Karena itu, upaya mengurangi produksi sampah harus dimulai dari lingkungan terkecil, dalam hal ini sekolah.

“Langkah ini sebagai wujud nyata peduli terhadap lingkungan, dan nasib Bumi di masa yang akan datang,” kata Dera.

Dengan memanfaatkan prinsip 5R (refuse, reduce, rot, reuse, recycle), Dera berharap warga sekolah berkomitmen untuk hidup sehat dan bersih, menjadi lebih peduli lingkungan, dan semakin bertanggung jawab terhadap sampah yang dihasilkannya.

“Ketika tidak mau mengolahnya (sampah), maka jangan memproduksinya, atau setidaknya mengurangi,” ucap dia.

Dera berkeyakinan, program zero waste yang diterapkan di lingkungan sekolahnya bisa menjadi bagian dari gaya hidup.

“Life style tentunya bisa terbangun dari sebuah atmosfir lingkungan yang berkesinambungan, dan yang mendukung semua itu,” ujar Dera.


Pengalaman baru, tantangan seru

Quenny (14) dan Nabila (14), siswa kelas VIII SICC ini mengaku senang dengan adanya program zero waste, kendati diakui awalnya merasa rikuh.

Bagi keduanya, menjalani keseharian dalam lingkungan zero waste adalah pengalaman baru yang penuh tantangan.

“Terbiasa gak ya menjalaninya, ya udah dicoba aja, ternyata seru juga,” kata Nabila, pelajar asal Bekasi ini.

Sementara Quenny menuturkan, sejak program ini diterapkan, lingkungan sekolah tampak lebih sehat dan asri.

Pelajar asal Bengkulu ini pun mengaku jadi lebih punya tanggungjawab terhadap sampah yang dihasilkannya.

Selain itu, Quenny dan Nabila sangat antusias dilibatkan dalam proyek daur ulang sampah.

“Nyatanya banyak hal yang bisa dilakukan terhadap sampah, bisa dkreasi seperti jadi ecobrick ini, dan lainnya bisa dimanfaatkan lagi,” ucap Quenny diamini Nabila.

Langkah daur ulang sampah

Penanggung jawab Sarana dan Prasarana SICC Deni Rohimat menyebutkan, produksi sampah yang dihasilkan rata-rata enam kuintal per hari.

Dari besaran volume tersebut, setengahnya merupakan sampah plastik.

“Sisanya seperti dedaunan, sampah dapur dan sisa-sisa makanan,” kata Deni kepada Kompas.com.

Selama ini, sampah organik yang dihasilkan dari lingkungan sekolah seluas 10 hektar lebih ini diolah menjadi pelet atau pakan ikan, dan kompos.

Sementara sampah anorganik, seperti botol plastik bekas minuman dan bungkus jajanan dikreasi menjadi ecobrick, produk tas dan tikar, serta vas bunga.

Adapun proses pengolahannya melibatkan seluruh warga sekolah yang jumlahnya mencapai 500 orang, terutama siswa sebagai bagian dari pembelajaran dan pembentukan karakter.

Deni mengatakan, hasil dari daur ulang sampah ini dimanfaatkan seluruhnya untuk kepentingan sekolah.

“Kita kan ada taman hidpronik, rumah bunga dan sayuran, pembibitan, kolam ikan, sawah juga. Semuanya diaplikasikan ke situ,” kata dia.

Sejatinya, menurut Deni, zero waste tak sebatas diterapkan di lingkungan sekolah, tapi  menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.

“Itulah urgensi dari program ini, sehingga kebiasaan ini menjadi bagian dari gaya hidup. Di sekolah, ibaratnya hanya sebatas kawah candradimuka saja,” ujar Deni.

https://bandung.kompas.com/read/2022/08/30/070606478/potret-sekolah-zero-waste-pertama-di-cianjur-tak-ada-tong-sampah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke