Salin Artikel

Cerita Mak Kayah, Pedagang Gorengan di Bandung, Berharap Dapat BLT untuk Modal

BANDUNG, KOMPAS.com - Menjelang siang hari, di antara lalu lalang pejalan kaki dan arus kendaraan di sepanjang jalan Kampung Babakan, Mak Kayah masih menunggu pelanggan. Gorengan yang tak lagi hangat, serta tak banyak jenisnya itu masih tak berubah posisinya.

Sejak pukul 08.00 WIB, warga Kampung Babakan, Desa Lagadar, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung, Jawa Barat itu tak letih menunggu pembeli.

Meski usianya menginjak 70 tahun, wanita tua renta itu masih saja kokoh menjajakan gorengan, kendati matahari mulai duduk di puncaknya.

"Dari tadi baru satu orang yang beli, ini gorengan harganya Rp 1.000 barusan yang beli itu ambil 10 jadi Rp 10.000," katanya ditemui Kompas.com, Senin (12/9/2022).

Boleh jadi, sebagai pedagang gorengan, Mak Kayah sedikit berbeda. Ia tak menyediakan gorengan yang langsung dimasak di roda, seperti pedagang gorengan pada umumnya.

Bukan tak mau menyediakan gorengan yang hangat, tenaga yang sudah hampir habis dimakan usia, membuat dia tak lagi mampu membawa alat masak.

Untuk pergi berdagang saja, ia harus mengumpulkan banyak tenaga. Jika tak ada tetangga yang mengajaknya berangkat bersama, Mak Kayah harus berjalan kaki menuju roda yang disewanya sepanjang 1,5 kilometer.

Tak sampai di situ, modal yang pas-pasan bahkan cenderung kurang membuatnya harus menggoreng barang dagangannya di rumah.

Mak Kayah mengaku sudah tak memiliki lagi modal untuk membeli minyak goreng, pasca kelangkaan yang terjadi ditambah kenaikan BBM baru-baru ini.

Ia mengaku harus memasak gorengan dagangannya di rumah serta menggunakan stok minyak goreng yang ada di rumahnya.

"Kadang kalau ada yang berangkat kemana gitu suka diajak bareng ke sini, tapi kalau gak ada ya jalan aja," beber dia.

Tak Ada Cabai Rawit

Setiap hari, Mak Kayah hanya menyediakan 5 jenis gorengan, disesuaikan dengan kebiasaan pelanggan yang datang membeli.

Gorengan itu sudah seminggu ini tidak dilengkapi cabai rawit. Alasannya lagi-lagi karena melambungnya harga cabai. 

Keuntungan yang tak seberapa itu mesti dibagi dengan kebutuhan sehari-harinya di tengah harga-harga yang terus merangkak naik. 

"Paling gehu (tahu isi), bala-bala (bakwan), tempe, cireng, singkong, sisanya kadang ada yang nitip kaya risol, combro. Abis gimana Emak mah pake minyak yang di rumah, terus paling banyak juga 50 sampai 80 biji yang disediain buat dagangan mah," jelasnya.

"Kalau habis semua kadang bawa Rp 100.00 atau Rp 150.000 itu juga udah terbantu sama orang yang nitip gorengan lain, kadang Emak juga dagangin kerupuk atau makanan lain," tambahnya.

Jika dagangan tak habis, kemudian di rumah tak memiliki teman nasi, Mak Kayah menkonsumsi barang dagangannya sendiri.

Kendati sudah tak lagi memiliki rasa yang ramah di mulut, ia harus menerima itu. Pasalnya pantang bagi wanita paruh baya ini untuk menggoreng kembali dagangannya dan diperjual belikan.

Sekalipun modal pas-pasan dan stok minyak goreng di rumahnya terbatas, Mak Kayah tetap memperjuangkan kehigenisan dalam menjajakan gorengannya.

"Ya kalau gak habis di makan aja, saya gak pernah jual barang yang kemarin," ungkapnya.

Diakuinya, baru sepekan Mak Kayah menaikan harga gorengannya menjadi Rp 1.000, sebelumnya ia hanya menjual Rp 500, lantaran imbas dari BBM yang naik dan berakibat pada kenaikan harga bahan pokok.

Selama sepekan itu juga, pelanggan yang biasanya berdatangan sejak pagi, kini hilang satu persatu.

Mak Kayah khawatir, para pelanggannya berpindah, lantaran harga gorengannya yang mulai naik.

"Takut mah ada, tapi gimana lagi, kalau gak dinaikin Emak gak bisa makan, buat modal juga gak ada," ucap dia.

Wanita kelahiran 1953 yang tinggal bersama cucunya itu mengungkapkan tidak bisa melakukan banyak hal terkait kenaikan harga BBM.

Ia hanya bisa pasrah mendengar barang pokok mulai beranjak naik, dan berharap masih ada solusi untuk masyarakat kecil sepertinya.

Meski sudah lama tak menginjakan kaki ke pasar dan mengetahui langsung angka kenaikan barang pokok. Mak Kayah mengaku mendapatkan informasi dari pedagang sayur yang kerap melintas di kediamannya.

"Tahu juga dari tukang sayur kalau harga udah mulai naik karena BBM naik, Emak gak bisa apa-apa, pasrah aja, menyerahkan semuanya Insya Allah ada rezekinya," bebernya.

"Butuh atuh, Emak mah orang kecil, dulu juga dapet, tapi kan gak cukup sampai sekarang, jadi kalau pemerintah mau berbaik hati mah Emak pengen butuh buat usaha ini," jelasnya.

Sejauh ini, nama Mak Kayah belum terdaftar sebagai Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Tapi, ia tetap optimistis akan mendapatkannya, sekalipun harus mendatangi RT atau RW.

"Emak mah udah gak malu, kadang kalau kurang terigu buat gorengan terus uang udah gak ada Emak suka minta ke tetangga, Emak mah bener-bener butuh gak malu kalau harus datang dan memohon juga," ungkapnya.

Mendapatkan bantuan pemerintah, baginya seperti mendapatkan rezeki tak terduga. Meskipun saat menerimanya ia harus menunggu berjam-jam dan mengantre.

"Gak apa-apa kalau harus ngantre juga, dulu juga gitu, tapi alhamdulilah Emak bisa dapet, ada buat sekolah cucu sama nambahin modal," katanya.

Bertahun-tahun berupaya mengubah nasib di bidang ekonomi, Mak Kayah tak pernah letih berharap.

Selain menengadahkan tangan pada Yang Maha Esa, ia juga tak letih meminta adanya belas kasih para pemangku kebijakan.

"Emak udah tahunan dagang ini itu, besarin cucu sendiri, gak ada alasan buat berhenti, mudah-mudahan atuh ada solusi buat Emak, Emak bersyukur kalau nanti masuk jadi penerima BLT," pungkasnya.

https://bandung.kompas.com/read/2022/09/12/141346278/cerita-mak-kayah-pedagang-gorengan-di-bandung-berharap-dapat-blt-untuk-modal

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke