Salin Artikel

Jatuh Bangun Petani Kopi Ciwidey Kabupaten Bandung Bertahan di Tengah Pandemi Covid-19 hingga Bangkit

BANDUNG, KOMPAS.com - Dua tahun sudah para petani kopi di Kampung Batu Lulumpang, Desa Lebak Muncang, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat berpuasa menanam kopi.

Padahal, kopi merupakan komoditas yang paling banyak ditanam para petani di wilayah tersebut sebelum pandemi.

Badai Pandemi Covid-19 telah menenggelamkan mimpi mereka pada setiap benih kopi yang ditanam. Begitu pun setelahnya, masa adaptasi kebiasaan baru berimbas pada perkembangan stabilitas ekonomi petani kopi.

Agus Hidayat (31), seorang petani muda menceritakan bagaimana lika-liku yang dihadapi petani kopi di wilayahnya kala pandemi.

Tanpa ada gejala apapun, tiba-tiba saja di tahun 2019 harga cherry kopi anjlok. Cherry yang biasa dijual Rp 14.000 per kilogram, turun menjadi Rp 9.000-Rp 10.000 per kilogram.

Saat itu, para petani masih terus melakukan pembibitan meski sudah tahu pasar sedang tidak baik-baik saja, serta harga yang mulai tak seimbang.

"Jalan aja terus waktu itu, nggak ada pilihan, rata-rata di sini memang pilihan bercocok tanamnya ya kopi," katanya ditemui, Selasa (18/10/2022).

Menginjak tahun 2020, produksi kopi di beberapa wilayah termasuk di Ciwidey, masih tergolong baik dan normal.

Namun, lagi-lagi harga jual menjadi persoalan yang belum teratasi, para petani kopi harus kembali menelan pil pahit. Tahun 2020, harga jual cherry kopi hanya mencapai Rp 4.500 per kilogram.

Akibat harga yang tak stabil, sejak saat itu atau dua tahun lalu, para petani kopi di Kampung Batu Lulumpang membiarkan kebun kopinya terbengkalai dan tak terawat.

"Akhirnya ya gitu, banyak yang membiarkan kebunnya, hasil panennya gak diambil, dibiarkan tak terawat, saking bingungnya kita," kata Agus.

Kendati mengalami masa sulit, Agus dan anggota kelompok tani di bawah PT Sucafina seolah tak mau menyerah.

Agus terus bergerilya dari kebun satu ke kebun lainnya di pelbagai wilayah, dari satu gerai kopi ke gerai kopi lain, demi mendapat informasi di tengah masih belum stabilnya harga kopi.

Barulah menginjak tahun 2021, kata Agus, harga kopi bisa kembali ke semula, namun produksinya yang menurun.

"Harga tuh baru normal lagi di Rp 14.000 tahun 2021, tapi produksinya masih sedikit, kan banyak petani kopi yang ninggalin dua tahun sebelumnya," bebernya.

Jenis kopi yang ditanam di tanah Kampung Batu Lulumpang, lanjut dia, sangat beragam. Paling tidak, yang kerap kali ditemui atau ditanam yakni jenis arabika dengan pelbagai varietas.

Mulai dari Gayo datu Gayo dua, Ateng Coklat, Ateng Hijau, Andumsari, dan Komasti, menjadi varietas yang kerap ditemui di kebun-kebun kopi milik petani Kampung Batu Lulumpang.

"Sebagian petani yang ada di daerah kawasan hutan memang semuanya mengandalkan kopi, dan berhasil menanam kopi dari berbagai varietas," ujarnya.

Tak hanya itu, Agus mengatakan kenaikan pupuk pun ikut membuat petani kopi di wilayahnya semakin kehilangan harapan.

Harga pupuk saat itu, kata dia, mencapai 100 persen pada tiap jenis pupuk dan racun gulma.

Sejak pandemi Covid-19, petani kopi yang masih bertahan tidak menggunakan pupuk karena mahal. Akibatnya, hasil panen pada saat itu menurun drastis, hingga 30 persen.

"Jadi karena mahal, waktu itu kita tidak menggunakan pupuk, itu berdampak pada produksi kopi," jelasnya.

Pupuk subsidi tak kunjung datang

Tidak hanya pupuk non-subsidi yang mahal, Agus mengatakan pupuk subsidi pun kerap kali telat datang.

Agus mencontohkan, pada kalangan petani sawah kebutuhan pupuk non-subsidi diperlukan dua hari setelah menanam.

Namun, pupuk subsidi baru ada di tingkat penjual sekitar satu bulan setelah tanam. Hal ini berpengaruh pada kualitas padi dan hasilnya.

"Yang subsidi itu pupuknya selalu telat, sebetulnya gak langka, cuma nyampe ke petaninya yang tidak tepat," jelasnya.

Hadapi cuaca ekstrem dan rawan bencana

Kendati kini harga kopi mulai menempati posisi awal, tetapi memasuki penghujan Agus dan lainnya dibuat khawatir dengan cuaca yang tak menentu.

Pasalnya, curah hujan yang tinggi jelas mempengaruhi kualitas kopi. Terutama, dalam segi pembungaan.

Agus menjelaskan, jika pohon kopi sudah berbunga dan kemudian dihadapkan pada musim hujan, maka dipastikan bunga yang sudah berkembang bisa menjadi busuk.

"Itu salah satu faktor yang mengakibatkan produksi menurun untuk sekarang ini, selain dari cuaca, mungkin pemupukannya juga kurang, perawatannya kurang, itu sih sistem petaninya yang harus diperbaiki," jelasnya.

Antisipasi, longsor khususnya di daerah Lebak Muncang, ia mengatakan para petani dipastikan menanam pohon atau memilih lahan perkebunan yang masih terdapat banyak pohon.

"Kalau di sini sangat sedikit sekali rawan longsor, karena kebun kami berada dinaungi pepohonan rapat. Jadi untuk longsor sendiri sangat minimal lah di sini mah," ujarnya.

Sejak tahun 2021 para petani telah bekerjasama dengan pelbagai pihak untuk menghidupkan kembali kopi di wilayahnya.

Saat ini, kata Agus, dalam sebuah lahan ditanam sekitar 24 ribu benih kopi.

"Nah setelah 6 bulan kita bagikan, lalu kita semai lagi. Jadi pertahun itu minimalnya 48 ribu harus dialokasikan ke petani," ungkapnya.

Agus berharap pemerintah memperhatikan semua komoditi baik sayuran hingga kopi agar bisa menjadi salah satu pendorong geliat ekonomi pasca pandemi Covid-19.

"Saya harap bisa dibangkitkan lah soal kopi ini, semua komoditi harus di dorong di masa kebangkitan ekonomi saat ini," terang dia.

https://bandung.kompas.com/read/2022/10/18/140010178/jatuh-bangun-petani-kopi-ciwidey-kabupaten-bandung-bertahan-di-tengah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke