Salin Artikel

Film "Nana", Potret Perempuan Sunda Tahun 60-an dalam Hadapi Hegemoni Patriarki

BANDUNG, KOMPAS.com - "Perempuan adalah korban zaman yang paling nyata," ujar Kamila Andini, sutradara Film Before, Now & Then (Nana) di Bandung, belum lama ini.

Salah satu perempuan itu adalah Raden Nana Sunani. Perempuan sunda yang kisahnya diangkat ke dalam film tersebut.

Menurut Kamila, Nana bercerita tentang seorang perempuan Indonesia yang hidup di daerah Jawa Barat di era 1960-an.

Saat itu Nana (diperankan Happy Salma) melarikan diri dari gerombolan yang ingin menjadikannya istri. Aksinya melarikan diri membuat dirinya kehilangan ayah dan anak.

Ia lalu menjalani hidupnya yang baru bersama seorang lurah, menak Sunda. Meski hidup bergelimang harta dan kemewahan, Nana kerap dianggap remeh keluarga.

Anggapan perempuan harus bisa merawat diri agar tidak melirik wanita lain di luar sana hanya bagian kecil dari ungkapan yang harus dihadapi Nana.

Hingga Nana bertemu dengan simpanan suaminya, Ino (Laura Basuki). Sebagai perempuan menak yang pandai menjaga sikap, Nana tidak melabrak Ino. Malah ia bersabahat Ino.

Dalam percakapannya, kedua perempuan ini memiliki keinginan yang sama. Memiliki kebebasan.

"Nana adalah kisah perempuan yang menjadi korban sebuah era; perang, politik, pemberontakan dan kehidupan sosial patriarki yang ingin mencari arti kebebasannya sendiri," tutur Kamila.

Dalam mengerjakan proyek film ini, Kamila ingin menceritakan seorang tokoh perempuan pada umumnya.

"Seperti nenek kita, kakak kita, atau ibu kita, yang bisa disayangi dengan semua kekurangan dan kelebihannya. Kebetulan saja ia hidup di masa itu. Tapi kita juga bisa berefleksi dengan masa itu dan masih bisa terhubung dengan masa kini. Saya ingin membuat jembatan dari masa lalu ke masa sekarang," ucap dia.

Kisah Nyata

Film ini diadaptasi dari salah satu bab di novel Jais Darga Namaku karya Ahda Imran.

"Ini kisah nyata dari seorang perempuan menak yang tinggal di daerah Lembang," tutur Ahda kepada Kompas.com.

Kisah ini menceritakan bagaimana perempuan yang kerap menjadi korban zaman di masa tahun 1960-an, menghadapi hegemoni patriarki kalangan menak.

Cetak Sejarah

Film Before, Now & Then (Nana) ini mencetak sejarah. Film ini menjadi yang pertama menggunakan bahasa Sunda secara penuh.

Para pemain mengaku tertantang dengan ini. Seperti yang dirasakan Happy Salma dan Laura Basuki.

"Ada bahasa yang tidak saya mengerti meskipun saya orang Sunda. Karena saya perempuan Sunda tahun 1980-an, sedangkan setting film ini tahun 60-an, jadi ada bahasa yang tidak saya mengerti," ungkap Happy Salma.

Apalagi bagi Laura Basuki yang notabene bukan orang Sunda. Ia mendapatkan pelatihan singkat bahasa Sunda selama syuting ini.

"Bahasa Sunda susah, karena cengkoknya beda, kosa kata dan cara pelafalannya juga. Makanya saya degdegan pas film ini diputar di Bandung, takut ada yang ga tepat bahasanya," ungkap Laura.

Film berbahasa sunda ini sudah diapresiasi 17 negara dengan 50 tempat berbeda. Bahkan film ini meraih berbagai penghargaan di sejumlah festival film, di antaranya Berlinale Film Festival ke-72, Februari 2022.

https://bandung.kompas.com/read/2022/10/21/161837778/film-nana-potret-perempuan-sunda-tahun-60-an-dalam-hadapi-hegemoni-patriarki

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke