Salin Artikel

Gempa Cianjur, Penantian Imas Menunggu Regu Penyelamat Mencari Sang Anak di Bawah Puing Reruntuhan Rumah

BBC News Indonesia bertemu seorang ibu yang masih menanti pencarian anaknya. Dengan tekun, dia menyaksikan upaya regu penyelamat mencari sang anak yang tertimbun reruntuhan di desa terisolir di Desa Gintung, Kabupaten Cianjur.

Di antara deru mesin bor, Imas Masfahitah menatap cemas ke arah regu penyelamat yang berusaha membongkar tumpukan beton besar. Sesekali, perempuan 34 tahun ini menyeka air matanya dari balik tembok pagar.

Imas masih punya setitik harapan bahwa putrinya yang bernama Ashika Nur Fauziah masih hidup, setelah ada pemberitaan seorang bocah enam tahun bernama Azka Maulana Malik selamat setelah terperangkap reruntuhan selama 48 jam di bawah reruntuhan.

"Saya punya harapan. Tadi saya lihat bonekanya, saya nangis-nangis. Belum ketemu."

Namun, apa daya, Ashika Nur Fauziah, ditemukan meninggal dunia di bawah reruntuhan.

"Posisinya korban ini tertelungkup ada di bawah betonan, dalam kondisi sudah meninggal dunia," kata Nasrum Djamil, salah satu anggota penyelamat.

Nasrum mengatakan bahwa Ashika ditemukan pada Jumat (25/11), sekitar pukul 10.00 WIB. Adapun proses evakuasinya sudah berlangsung sejak Selasa (22/11).

"Jadi hambatan kita, kemarin pun sudah terdeteksi. Hambatan kita posisinya terlalu banyak beton."

Jenazah Ashika, menurut Nasrum langsung disemayamkan.

"Yang terima langsung ayah kandungnya sendiri, bapak Rohman. Dan dia sangat terpukul," jelas Nasrum.

"Bapaknya dari kemarin juga bilang, 'biarkan pak, nggak usah dicari'. Sudah nyerah pasrah. 'Nggak pak', saya bilang. Pemadam kebakaran tidak boleh pasrah. Berusaha, apa pun, kita akan mencari sampai ketemu," kata Sastra.

Hal ini, lanjutnya, untuk menyemangati keluarga korban.

"Apa pun medannya, berat, saya tetap cari," kata komandan regu penanggulangan bencana asal Depok ini.

Pencarian Ashika Nur Fauziah sudah berlangsung sejak Selasa (22/11). Sebelumnya, tim juga menemukan dua korban lainnya dalam kondisi tidak bernyawa.

Tidak mudah memecah beton yang bertumpuk setebal satu meter dengan alat yang kurang memadai.

"Ini mestinya ada mesin bor yang lebih kuat," kata Sastra yang mengaku belum tidur beberapa hari ini.

Selain itu, alat hidrolik juga diperlukan. Akan tetapi timnya belum punya.

"Karena kita masih pakai alat-alat biasa, potong-potong baja saja. Bukan kita kelupaan... Tapi kalau di bidang kami ini belum ada alat. Belum lengkap," katanya sambil menambahkan timnya menanti alat tersebut dikirim regu lainnya.

Berbeda dari proses penyelamatan dalam bencana lainnya seperti tsunami, Sastra menyebut evakuasi korban Cianjur ini selalu dibayang-bayangi gempa susulan - yang membuat tim harus berhati-hati pada bangunan yang runtuh di sekeliling.

Jackson Kolibu, relawan Tim Reaksi Cepat Radio Antar Penduduk Indonesia (TRC RAPI) juga sependapat, peralatan yang masuk ke wilayah terisolir masih terbatas.

"Kadang yang datang ke sini alat nggak lengkap karena fokus di banyak korban di atas [banyak korban jiwa]," katanya.

"Beritanya cuma katanya-katanya. Tidak ada saksi mata, tidak ada hadirnya keluarga yang selamat, itu yang memperlambat tugas kita. Yang membuat meragukan kita untuk beraksi," kata Denny yang juga bertugas di Desa Gintung.

Denny sudah bertugas sebagai tim penyelamat selama 26 tahun, pada waktu tertentu pernah mengalami informasi yang belum valid, sehingga mereka bekerja sia-sia.

"Satu daerah di Citayam [Jawa Barat] ada anak kecil yang dilaporkan hanyut. Kita sudah melaksanakan tiga hari pencarian sepanjang aliran sungai, ternyata dapat info baru anak yang dilaporkan hilang, dibawa neneknya ke Tangerang."

Mencari korban di kedalaman tanah 10 meter

Untuk menjangkau Desa Gintung, tim BBC News Indonesia melewati titik longsor terbesar di Cianjur yang disebabkan lindu awal pekan ini. Lokasi ini memutus jalur utama Bandung-Cianjur.

Di longsoran ini diperkirakan masih terdapat 31 orang yang tertimbun tanah.

Bibit, salah satu koordinator lapangan tim penyelamat mengatakan, evakuasi longsor sama-sama susahnya dengan pencarian korban di reruntuhan bangunan.

"Kita kesulitan air, dan kedalaman yang mungkin kita bilang, terlalu tebal. Bisa sampai 5 meter. Kadang 10 meter. Kalau yang di longsor itu, bisa lebih dalam lagi," katanya saat ditemui BBC News Indonesia.

Saat itu, tim penyelamat menyemprotkan air ke longsoran tanah. Diperkirakan terdapat 20 rumah tertimbun. Dasar rumah tersebut mencapai kedalaman 8 meter di bawah timbunan tanah.

"Karena ini jalan raya, bisa jadi melar [bertambah korbannya], karena bukan warga sini korbannya," tambah Bibit.

Bagi Bibit, ada rasa mengganjal ketika tim tidak berhasil menemukan korban bencana, seperti yang pernah ia alami dalam kasus longsor di Ponorogo pada 2017.

Dari 26 korban hilang, hanya satu yang ditemukan.

"Bukan gagal, karena kita juga... Cuma kasihan saja, ada rasa tidak bisa menemukan korban tersebut, hingga menyempurnakan hidupnya. Ada rasa mengganjal. Tapi karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk dilanjutkan lagi," tambahnya.

Gempa yang berpusat di Cianjur, Jawa Barat sejauh ini telah menelan 272 korban jiwa. Korban luka sebanyak 2.046 orang, dan warga yang mengungsi mencapai 62.545 jiwa.

https://bandung.kompas.com/read/2022/11/26/120200478/gempa-cianjur-penantian-imas-menunggu-regu-penyelamat-mencari-sang-anak-di

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke