Salin Artikel

Cerita Kusir Delman di Bandung, Bertahan Hidup di Era Transportasi Online

BANDUNG, KOMPAS.com - "Pada hari Minggu ku turut ayah ke kota, naik delman istimewa ku duduk di muka...."

Masih ingatkah penggalan lagu Naik Delman tersebut? Lagu yang kerap dinyanyikan anak kecil itu, kini menjadi pemandangan yang jarang di Bandung. 

Berkembangnya transportasi membuat keberadaan transportasi delman atau kereta kuda makin terpinggirkan. 

Kalau pun ada mereka, para Pak Kusir ini harus bersiap dengan persaingan transportasi. Seperti di Ibu Kota Kabupaten Bandung, Soreang.

Di sana, delman masih mudah dijumpai. Sebagian kusir memarkirkan delmannya di tugu strawberry dan di depan Pasar Sehat Soreang.

Dalam keseharian, mereka harus bersaing dengan angkutan umum (angkot), ojeg pengkalan (opang), hingga transportasi online. 

Tarif Minim

Ma'ruf Abas (37), salah seorang kusir delman, hanya duduk terpaku sambil bertukar tangkap dengan para pengendara transportasi konvensional lainnya.

Ia sengaja bercengkrama dengan kawan-kawannya agar beban hidup tak lagi terasa terlalu berat. Namun tetap saja, Ma'ruf memikirkan nasibnya hari ini.

"Ya berbagi cerita dan ketawa-ketawa mah bagian dari keseharian aja biar beban hidup gak terlalu terus dipikirkan, tapi tetap saja, saya harus mikir, hari ini bakal dapet penumpang lebih gak ya," katanya ditemui, Selasa (10/1/2023).

Hari ini, ian da kudanya yang diberi nama si "Resto" baru menarik dua kali balikan, pasar Soreang ke Komplek Gading Tutuka.

Sekali narik penumpang, Ma'ruf terkadang mematok harga Rp 25.000 atau Rp 30.000 tergantung dari jarak tempuh. Namun, tarif itu, seringkali ditawar pengguna.

Tak ada pilihan baginya, tarif yang minim terpaksa ia ambil demi menutupi biaya sehari-hari dan operasional perawatan si Resto.

Berbeda dengan penumpang yang jumlahnya lebih dari 1 orang, sekali narik, ia bisa mengantongi Rp 45.000 sampai Rp 50.000.

"Tapi kadang ada yang ngasih Rp 10.000 atau Rp 15.000 tergantung penumpangnya, kalau jauh ya dapet lebih, kalau kecil ya diterima, dari pada gak ada sama sekali," ujarnya.

Resto merupakan kuda pemberian sang Kakek. Nama Resto disematkan pada kudanya, lantaran kuda tersebut memiliki porsi makan yang besar.

Ma'ruf mulai belajar menjadi Kusir sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kala itu, ia mengikuti jejak kakek, paman, dan ayahnya yang lebih dulu menggeluti kereta kuda.

Tak ada pilihan baginya saat itu, lahir dari keluarga ekonomi yang rendah, memaksa ia harus mengikuti jejak leluhurnya.

"Gak ada pilihan lain, jujur aja saya gak berpengalaman kalau kerja di bidang lain, tapi kalau di dunia kuda, delman, saya tahu betul," tutur dia.

Ia sadar betul, jika moda transportasi delman sudah ditinggalkan banyak orang sejak kendaraan atau angkutan umum konvensional berdatangan.

Meski begitu, ia dan para pendahulunya pernah merasakan masa dimana delman menjadi primadona bagi masyarakat.

Bahkan, keuntungan yang didapatkan per-hari pada saat itu, cukup besar dan jauh berbeda dengan pendapatannya saat ini.

"Alhamdulilah ngalamin juga masa-masa delman ini menjadi alat bepergian warga, meskipun sekarang kaya gini situasinya, sepi," tuturnya.

Alasan kuat, mengapa Ma'ruf dan Kusir yang lain bertahan di era digital, bukan hanya karena materi atau penghasilan.

Lebih dari itu, baginya delman telah menghidupkan banyak hal dan telah memberikan pengalaman hidup yang tak terhitung nilainya.

"Kalau dari sisi profesi misalnya, saya menikmati proses ini, alhamdulilah rezeki terus ada, kalau pertimbangan yang lain ya saya merasa delman sudah memberikan saya kehidupan yang luar biasa, jadi ada nilai yang luhur buat saya untuk mempertahankan moda transportasi ini," jelasnya.

Untuk menambah biaya hidup, Ma'ruf mengaku kerap mendapatkan orderan untuk mengantar pejabat dalam sebuah program atau di masa kampanye.

Selain itu, ada juga pasangan yang akan melaksanakan pernikahan yang kerap menggunakan delman sebagai tempat untuk difoto atau menjadi kendaraan yang digunakan mempelai pria.

"Ya ada aja, saya juga sering kok dikontak sama manajemen atlet balap kuda untuk mengurus kuda-kudanya pasca-pertandingan atau sebelum," tambah dia.

Tersisa Belasan Delman

Dulu, lanjut Ma'ruf, delman di wilayah Soreang bisa mencapai ratusan. Seiring berjalannya waktu, para kusir mulai berpindah dan menjual delmannya tanpa sebab.

Saat ini, jumlah delman di wilayah Soreang tinggal belasan.

"Dulu mah sampai ratusan, sekarang mah tinggal segini puluhan juga enggak, banyak yang dijual," kata dia.

Ia mengatakan, sebagian orang menjual delman itu bukan tanpa alasan. Pertama, pangkalan mereka kini hanya terpusat di 1 titik. Jalur operasional mereka pun mulai menyempit.

“Mungkin karena pangkalan yang semakin menyempit,” kata Ujang.

Sebelum terkikis moda transportasi konvensional dan digital, ritase perjalan delman Soreang cukup panjang dan beragam.

Jalur operasionalnya mencapai 5 titik. Mulai dari Pasar Soreang, Sadu, Pemda Kabupaten Bandung, Gading Tutuka, hingga ke Jalan Banjaran-Soreang.

"Ya sekarang mah menipis, tapi kadang ada juga yang meminta jarak yang jauh," ungkapnya.

Matahari sudah mulai menyudahi pagi, sejuk sudah mulai berganti panas. Ma'ruf masih menunggu penumpang selanjutnya yang minta diantarkan menggunakan kereta kudanya.

Sementara, para Kusir yang baru datang dari rumah atau mengantarkan penumpang mulai berdatangan. Suara sepatu kuda, seketika yang nyaring setara dengan bising mesin seketika mengiri nafas panjang Ma'ruf.

"Mudah-mudahan dapet 2 atau 3 penumpang, biar ada bekel buat besok dan ngurus si Resto," tutupnya.

https://bandung.kompas.com/read/2023/01/10/110501978/cerita-kusir-delman-di-bandung-bertahan-hidup-di-era-transportasi-online

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke