Salin Artikel

Bermodal Rp 2 Juta Usai Usaha Bangkrut, Burayot Si Madu Kini Punya 22 Gerai

GARUT, KOMPAS.com – Jatuh bangun dalam dunia usaha pernah dirasakan pengusaha Burayot Si Madu, Syahrizal Fitri (33) dan Faridah Maris (32).

Pasangan suami istri ini sebelumnya pernah memiliki beberapa toko oleh-oleh, namun bangkrut. 

Tak ingin menyerah, mereka kembali dari awal membangun bisnis mereka Burayot Si Madu, dengan modal Rp 2 juta.

“Pas nganggur, ada uang Rp 2 juta, akhirnya pilih dagang Burayot di Tasik tahun 2017,” kata Faridah saat ditemui akhir pekan lalu di salah satu gerainya di Kawasan Tanjung, Jalan Raya Garut-Bandung.

Kini, mereka memiliki 22 gerai Burayot Si Madu. Dari jumlah itu 19 di antaranya berada di kiri jalan dari arah Garut menuju Bandung.

Mengenalkan Burayot

Faridah dan Rizal menceritakan awal mula ia berbisnis Burayot Si Madu. Burayot merupakan makanan khas Garut yang rasanya manis.

Saat itu, mereka masih tinggal di Tasik. Mereka pun memperkenalkan Burayot di Tasik hingga sempat menjadi salah satu makanan yang viral di Tasik.

Hingga suatu hai mereka pun membuka stand kuliner dalam Pameran Yudha Negara Festival di Tasik yang digelar tiga hari. Di pameran tersebut, stand-nya dibanjiri pembeli.

”Tiga hari pameran, dapat uang Rp 15 juta, dipakai modal buka beberapa cabang di Tasik dengan konsep masih gerobak,” ucap dia.

Saat usahanya beranjak maju, Rizal sang suami yang merupakan anak paling besar di keluarganya, diminta pulang ke Kadungora Garut kampung halamannya karena ibunya sakit.

Akhirnya, pasangan suami istri ini kembali ke kampung halamannya di Kadungora Garut pada tahun 2018.

Namun di Tasik, usahanya masih berjalan dengan mengirim barang mentah untuk gerobak-gerobak burayotnya.

Di Kadungora Garut, mereka memutuskan untuk tetap berjualan burayot. Namun, karena Kadungora Garut merupakan kampung halaman makanan Burayot, Rizal pun mencoba konsep yang berbeda. 

Ia menjual Burayot di gerai dengan konsep open kitchen atau memasak langsung di gerainya tersebut. Hingga membranding burayotnya dengan nama Burayot Si Madu.

“Awal buka di Garut, Aa survei dulu cari tempat, Alhamdulillah dapat satu lokasi dan langsung ramai, karena jadi pelopor yang pertama open kitchen (dapur terbuka masak Burayot), karena yang lain dagangnya barang jadi,” katanya.

Faridah mengaku, pengalamannya bangkrut dijadikan pelajaran berharga. Makanya, setelah itu dirinya banyak belajar dunia bisnis lewat seminar-seminar dan pertemuan lainnya. Makanya, begitu buka di Garut, usahanya pun langsung ramai.

“Buka di Garut, pasti banyak kompetitor, karena tempatnya Burayot, banyak yang bisa buat, makanya strateginya Aa, kuatkan di-branding dan cari apa yang nggak dilakukan kompetitor,” katanya.

Melebarkan Sayap

Sukses membuka gerai Burayot di Kadungora, Faridah dan suaminya pun terus bergerilya mencoba mencari tempat baru hingga akhirnya dirinya mendapatkan tempat di Tarogong Garut.

Setelah dirasakan sukses, ia terus membuka gerai hingga ke Kota Bandung.

“Sebelum Covid, sudah ada 16 cabang baru sampai ke Bandung, Lembang, tapi karena Covid, 3 gerai baru di Lembang yang baru buka 4 bulan terpaksa tutup, sekarang sisa 3 di Bandung,” ucap dia.

Selama Covid, usahanya nyaris mati, karena gerai Burayot yang dimilikinya, tidak bisa berjualan.

Namun, ia dan suami tetap mempertahankan agar tidak sampai memberhentikan karyawan yang telah bekerja bersamanya.

Hingga saat ini, Burayot Si Madu sudah memiliki 22 gerai yang tersebar di Bandung dan Garut.

Paling banyak, gerai Burayot si Madu tersebar di sepanjang ruas jalan antara Garut ke arah Bandung.

Semua gerainya, sengaja mengambil tempat di kiri jalan dari arah Garut ke Bandung karena mencari pembeli wisatawan yang akan pulang.

“Semua di kiri jalan, kalau di kanan kan wisatawan yang baru datang ke Garut,” katanya.

Faridah mengaku, ia dan suaminya merasa beruntung karena saat dalam kondisi bangkrut dan menganggur, banyak dipertemukan dengan komunitas yang positif hingga bisa mendapat penguatan-penguatan.

Salah satunya komunitas yang mengajarkannya tentang sedekah kejutan yang setelah dijalaninya, ternyata berbuah program CSR dari perusahaan BUMN.

“Jadi sedekah juga harus ada kejutan, misalnya tiba-tiba kita kasih uang Rp 100.000 kepada orang di pinggir jalan yang butuh, ternyata setelah itu ada telpon dari PLN mau ngasih CSR Rp 50 juta, padahal nggak kenal, kita langsung diundang ke kantor PLN di Bandung, disuruh buat proposal, satu minggu sudah cair,” katanya.

Dana CSR tersebut, menurut Faridah, digunakannya untuk mengurus perizinan usahanya dan menambah peralatan yang dibutuhkan.

Karenanya, dari sekian banyak produk Burayot, Faridah mengklaim, Burayot si Madu adalah salah satu produk yang telah mengantongi izin dari pemerintah daerah. 

https://bandung.kompas.com/read/2023/01/16/155028978/bermodal-rp-2-juta-usai-usaha-bangkrut-burayot-si-madu-kini-punya-22-gerai

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke