Salin Artikel

Kisah Pilu Keluarga Heni Hidup di Gubuk Reyot Padalarang Bandung Barat

BANDUNG BARAT, KOMPAS.com - Sayup-sayup tangisan bayi terdengar dari lorong gang di sebuah kampung yang berada di lereng pegunungan karst Padalarang.

Suara tangisan itu menarik perhatian siapa pun yang melintas. Saat didekati, suara tangisan semakin jelas terdengar. Hingga akhirnya sebuah gubuk reyot menyita fokus perjalanan.

Sumber suara ternyata berasal dari dalam sebuah gubuk berukuran 2x1,5 meter persegi di Kampung Cidadap RT 02/12 Desa Padalarang, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat.

Dinding gubuk tersebut terbuat dari sisa-sisa barang bekas seperti potongan triplek, sementara dinding menggunakan kain gorden bekas seadanya.

Di dalam gubuk itu tinggal satu keluarga yang hidup penuh kesederhanaan, Roni (47) dan istrinya Heni (43), beserta seorang anaknya yang masih balita. Mereka beraktivitas dan tidur dengan kondisi mengkhawatirkan.

"Kurang lebih sudah satu bulan tinggal di sini. Tadinya di rumah orangtua. Tinggal di sini karena gak ada tempat lagi," ujar Heni saat ditemui di kediamannya, Selasa (14/2/2023).

Heni memiliki 4 orang anak, namun 3 orang anaknya tinggal bersama nenek mereka. Sementara Heni memilih tinggal di gubuk reyot bersama suaminya.

Tak jarang Heni dan suami berserta seorang anaknya susah tidur nyenyak karena sering merasakan dingin saat malam hari atau was-was saat hujan deras.

Di ruang satu petak dengan dinding triplek dan kain gorden itu, ia menyimpan kasur, pakaian, perabotan, sampai logistik untuk kebutuhan sehari-hari.

"Semua aktivitas dilakukan di sini. Tidur di sini, tapi kalau masak pakai tungku di depan," jelas Heni.

Gubuk itu sebelumnya hanyalah sebuah saung yang biasa digunakan oleh anak muda untuk nongkrong saban harinya. Heni dan keluarga kemudian memanfaatkan saung itu untuk tempat pulang.

"Bingung mau tinggal di mana lagi. Numpang di rumah ibu kan sempit juga, jadi saya pakai gubuk bekas saung untuk dijadikan tempat tinggal," kata Heni.

Raut wajahnya menunduk saat menceritakan kondisi ekonomi yang ia alami selama hidup dengan penuh kesederhanaan itu.

Bukan tanpa alasan, keadaan memilukan kehidupan keluarga ini tak lepas dari kondisi ekonomi yang sulit. Penghasilan suaminya yang serabutan bahkan tak cukup untuk membiayai kebutuhan pokoknya.

"Kadang dapat uang kadang enggak. Paling besar juga sehari dapat Rp 50.000. Itu buat makan saja habis," ucapnya.

Keadaan keluarga Heni baru diketahui oleh pemerintah kewilayahan baru-baru ini, Ketua RW setempat hanya tahu Heni dan keluarga sudah pindah dan berdomisili di kampung tetangga.

Melihat kondisi itu, Pemerintah Desa hanya bisa merelokasi keluarga Heni ke sebuah kontrakan agar tempat tinggalnya lebih layak untuk berlindung saat malam hari atau waktu hujan.

"Keluarga bu Heni kita pindahkan dulu ke kontrakan, saya bersama perangkat Desa Padalarang dalam hal ini akan mencarikan solusi ke depannya untuk keluarga bu Heni dan keluarganya,” sebut Ketua RW 12 Denny Berlan saat ditemui.

Di samping itu, Pemerintah Desa mengupayakan agar keluarga Heni mendapat bantuan program rumah tidak layak huni (Rutilahu) agar keluarga tersebut tinggal di tempat yang lebih layak.

"Kebetulan lahan yang dipakai tempat tinggal oleh keluarga bu Heni ini milik orangtuanya, kami bersama Pemdes Padalarang akan membantu membuat rumah layak huni,” tutupnya.

https://bandung.kompas.com/read/2023/02/14/194951578/kisah-pilu-keluarga-heni-hidup-di-gubuk-reyot-padalarang-bandung-barat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke