Salin Artikel

Aksi Sujud Risma Berkali-kali di Muka Publik...

BANDUNG, KOMPAS.com - Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini kembali menjadi sorotan publik. Ini menyusul aksinya melakukan sujud di kaki Yuniati, salah seorang guru tunanetra di SLB Wyataguna, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (21/2/2023).

Aksi Risma sujud ini dilakukan saat berdebat tentang hibah lahan SLB A Pajajaran di Balai Wyataguna.

Ini bukan kali pertama Risma sujud di depan warga. Risma pernah bersujud di hadapan puluhan dokter saat masih menjabat sebagai Wali Kota Surabaya dan sedang membahas penanganan Covid-19 tahun 2020.

Risma juga pernah bersujud dan menangis saat menerima bantuan untuk anak putus sekolah. Kemudian di tahun 2018, Risma sujud di depan anggota takmir masjid se-Surabaya usai adanya teror bom bunuh diri selama dua hari berturut-turut.

Sebenarnya, sikap sujud yang kerap dilakukan Risma ini mencerminkan apa?

Sikap berlebihan

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Cecep Darmawan menilai, sikap seperti itu cenderung berlebihan dilakukan seorang pejabat.

"Ya mungkin kalau sekedar penghormatan kepada masyarakat ya boleh. Tapi jangan berlebihan. Saya sih melihat harusnya memberi rekognisi yang wajar," kata Cecep saat dihubungi lewat telepon seluler, Rabu (22/2/2023).

Dalam konteks kunjungan ke Wyataguna, kata Cecep, aksi sujud Risma tak perlu dilakukan. Sebab, meski Risma bersujud, keputusan yang telah dibuat pun tak akan berubah.

"Bisa ditanya saja ke Bu Risma maksudnya (bersujud) apa, apakah karena ketidakberhasilan mengupayakan (soal hibah lahan) seperti penyesalan. Tapi yang jelas, dalam melakukan sesuatu itu yang wajar saja, jangan berlebihan," ujar Cecep.

"Karena kebiasaan tiap orang itu beda-beda, yang jelas kata kuncinya jangan berlebihan. Kalau minta maaf ya nggak usah sujud. Ya kan dalam berkomunikasi politik pemerintahan yang wajar saja, tidak berlebihan, itu pun (dengan sujud) tak mengubah keputusan," paparnya.

Gestur penyesalan

Dihubungi terpisah, pakar politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Muradi menilai, aksi Risma merupakan gestur politik sebagai bentuk penyesalan karena tak bisa memenuhi tuntutan para guru tunanetra.

Ia menjelaskan, aksi sujud Risma yang sudah beberapa kali dilakukan dipengaruhi dengan kultur politik Jawa yang ia yakini.

"Bu Risma itu kalau bicara kultur menganut politik Jawa. Dia merasa sebagai orang yang punya janji dan minta maaf, normatif sebenarnya," kata Muradi.

Menurut dia, sikap sujud Risma tak menurunkan derajat dan wibawanya sebagai pejabat. Karena, hal tersebut sudah menjadi gaya politiknya.

"Menurut saya normal. Saya melihat karena kultur bukan sesuatu yang luar biasa. Memang gayanya begitu. Enggak (menurunkan wibawa) juga tergantung konteksnya kalau saya melihat itu bentuk penyesalan dan biasa," tuturnya.

Jika dianggap pencitraan, Muradi berpandangan tak ada agenda politik yang tengah Risma kejar saat ini.

"Kalau pun kemudian dianggap pencitraan lihat konteksnya saja karena Bu Risma seperti apa, Capres enggak, kepala daerah kan seprti tak tertarik. Jadi kalau melihat konteks, lebih soal gaya dia sebagai orang politisi berkultur Jawa yang punya kecenderungan mengadopsi gaya politik yang dia yakini," jelasnya.

https://bandung.kompas.com/read/2023/02/22/130049578/aksi-sujud-risma-berkali-kali-di-muka-publik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke