Salin Artikel

Duduk Perkara 4 Petani di Garut Dipenjara karena Tebang Pohon di Lahan Milik PTPN

“Hakim tidak melihat apa latar belakang mereka menggarap lahan itu”, kata kuasa hukum para petani, yang menyebut kasus tersebut jauh dari keadilan agraria.

Pupus sudah harapan Nandang, Saepudin, Ujang Juhana, dan Pakih untuk keluar dari penjara.

Pada Senin (9/2/2023), empat petani warga Desa Cikajang dan Desa Margamulya di Kabupaten Garut, Jawa Barat, itu divonis 10 bulan penjara.

Mereka dinyatakan terbukti melakukan kejahatan terhadap ketertiban umum dalam kasus penebangan pohon.

Vonis ini dua kali lipat dari tuntutan jaksa selama lima bulan bui.

Desa para petani ini berlokasi di sekitar lahan perkebunan teh Cisaruni milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII.

Oleh badan usaha milik negara itulah, mereka dituduh melakukan penebangan pohon di Blok Cipancur 6 dan dilaporkan ke polisi, hingga akhirnya kini ditahan di Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Garut.

Serikat petani dan aktivis pembaruan agraria menilai vonis tersebut telah mencederai rasa keadilan, sementara pihak PTPN VIII mengatakan warga membabat tanaman produktif perusahaan.

“Hakim tidak melihat latar belakang kenapa mereka menggarap, kenapa mereka masuk ke wilayah PTPN. Majelis hakim tidak mempertimbangkan itu dalam putusannya, tidak melihat ketimpangan lahan dan sebagainya."

"Majelis hakim hanya melihat perbuatannya saja,” kata penasehat hukum keempat petani dari LBH Bandung, M. Rafi Saiful Islam.

Atas putusan ini, para petani sepakat mengajukan banding.

“Saya mau banding saja, mau berjuang untuk mempertahankan kebenaran sampai kapanpun, karena saya tidak bersalah dalam kasus ini,” tegas Nandang (48) yang diamini tiga terpidana lainnya, saat ditemui di Rutan Garut, Jumat (10/2/2023).

Mereka mengaku tidak melakukan penebangan pohon seperti yang didakwakan.

Keempatnya, kata para petani hanya berada di tempat dan waktu yang salah.

Lahan yang terletak di wilayah PTPN VIII ini, menurut sebagian warga, “sudah terlantar dan jadi sarang hewan liar”.

Dalam dokumen pengadilan disebutkan, seorang saksi mengaku mendapati para terdakwa sedang mencacah pohon teh hingga tumbang dan menyisakan tunggak pohon dengan ketinggian sekira 10 cm dari dasar tanah.

Saksi tersebut kemudian melaporkan kejadian ini ke Polsek Cikajang.

Peristiwa ini, sebut Saepudin (61) memicu kerumunan warga di blok tersebut. Dia yang sedang menggarap kebun di sekitar 200 meter dari lokasi kemudian mengaku terpancing untuk ikut mendekat.

Hal yang sama dilakukan oleh Ujang Juhana (45) dan Nandang yang sedang berburu babi hutan.

Sementara Pakih (45) mengaku berada di situ karena hendak menemui Saepudin untuk memperbaiki gergaji listriknya yang rusak.

Mengaku tak tahu apa-apa, keempat petani ini justru kemudian diidentifikasi oleh pihak perkebunan sebagai pelaku penebangan pohon karena mereka tak memakai penutup wajah.

Di pengadilan, kata Saepudin, seorang saksi mengkonfirmasi ini.

“Kata saksi, [pelaku] lebih dari 50 orang, tapi yang ditangkap cuma empat orang. Kata saksi, semua pakai tutup muka, cuma yang empat ini enggak.”

Saepudin melanjutkan, ia tak mengenakan penutup wajah karena memang tidak bermaksud merusak dan hanya mau melihat.

“Ternyata di foto, kelihatan ada saya,” ujar Saepudin.

Mereka menjalani pemeriksaan selama dua hari satu malam.

Saat mereka menjalani pemeriksaan itu, kuasa hukum M. Rafi Saiful Islam menduga sejumlah aparat polisi mengambil pisau dan gergaji petani dan menetapkan barang-barang itu sebagai alat bukti.

“Diambil entah dari rumah terdakwa atau dari mana. Pokoknya saat terdakwa di-BAP [Berita Acara Pemeriksaan] di malam hari, penyidik membawa gergaji mesin, gergaji kecil, tapi para terdakwa tidak tahu karena sedang diperiksa,” tutur Rafi.

Selain gergaji-gergaji itu, alat bukti lain termasuk arit dan lima batang pohon teh yang telah dipotong.

Terkait lima batang pohon teh itu, kata Rafi, “Para saksi, baik dari jaksa maupun perkebunan, tidak tahu ini pohon teh mana, siapa yang menebang, diambil dari Blok Cipancur 6 atau bukan. Tidak ada yang bisa menjelaskan.”

Dua pekan berselang, lanjut Rafi, keempat petani itu kembali dipanggil polisi, kali ini di kantor kepala desa. Alasannya, ada BAP yang terlewat. Tanpa curiga, keempatnya memenuhi penggilan itu.

“Waktu saya disuruh datang buat dimintai keterangan, saya pikir mau dikasih izin [menggarap lahan]. Saya kira begitu,” kata Ujang dengan nada sedih.

Pada 18 November 2022, saat berkas kasus dilimpahkan kejaksaan ke pengadilan, Nandang, Saepudin, Ujang, dan Pakih dijebloskan ke ruang tahanan.

Mereka didakwa dengan Pasal 107 huruf c Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang berbunyi: “Setiap orang secara tidak sah yang melakukan penebangan tanaman dalam kawasan perkebunan”, dengan ancaman pidana penjara paling lama empat tahun atau denda maksimal Rp4 miliar rupiah.

Keempat petani juga dijerat dengan Pasal 170 KUHP tentang menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama – namun hakim menjatuhkan vonis berdasarkan pasal dari UU Perkebunan.

PTPN VIII mengaku memiliki video sebagai bukti keempatnya adalah tokoh-tokoh petani yang belakangan terbukti bersalah oleh pengadilan.

Didik Prasetyo, Direktur PTPN VIII, berkata kepada BBC News Indonesia bahwa tindakan pengamanan sudah sesuai dengan arahan Menteri BUMN untuk mengamankan aset negara.

“Lahan terlantar itu harus dinyatakan oleh negara,” ujar Didik. Ia juga menyebut sebagian area kebun PTPN seolah-olah terlantar karena menunggu perbaikan. “Keuangan kami ini lagi berat,” kata ia beralasan.

Peristiwa pada Juni 2022 yang berujung pemidanaan para petani menjadi puncak dari problematika di Blok Cipancur 6 yang sudah berlangsung selama lebih dari lima tahun.

Puluhan tahun tinggal di sekitar area perkebunan teh, Saepudin mengatakan menyaksikan sendiri, bagaimana pepohonan teh di sekitar rumahnya tumbuh lestari hingga kemudian “terlantar dan menjadi semak belukar”.

Meski kondisinya sudah seperti itu, Saepudin berkata, tak pernah sedetik pun ia berpikir untuk menggarap tanah tersebut.

“Tanah itu sudah bala [berantakan], tehnya sudah tidak kelihatan, sudah seperti hutan belantara. Bahkan di situ ada binatang-binatang buas seperti ular dan babi hutan,” sebut Saepudin.

“Masyarakat di sana, termasuk saya, tidak ada yang berani [menggarap] karena takut hukum.”

Saepudin dan warga sekitar mulai berani terpikir untuk menggarap lahan di Blok 6 Cipancur, kata dia, ketika ada seseorang yang mengaku perwakilan dari Perkebunan Cisaruni berjanji akan mengeluarkan izin penggarapan lahan blok itu bagi warga.

Namun ada syaratnya, imbuh Saepudin. Masyarakat diminta menolak kehadiran sebuah LSM yang berniat menggarap lahan di blok itu. Ini terjadi pada 2017 silam, kata dia.

“Kasihan saja sama masyarakat, kalau Blok Cipancur 6 sudah dikuasai LSM, nanti orang-orang sini cuma nonton, saya kasihan sama orang sini. Daripada sama orang lain, mending sama orang sini,” tutur Saepudin menirukan orang tersebut.

Usai pertemuan itu, lanjut Saepudin, warga sepakat meneken surat pernyataan menolak kehadiran LSM di Blok Cipancur 6.

Di lokasi, warga memasang plang penolakan tersebut. Sayang, warga tak memiliki dokumen tertulis untuk akad perjanjian ini.

Surat pernyataan penolakan LSM itu, menurut mereka, juga hanya rangkap satu dan dibawa oleh “perwakilan perkebunan”.

Bulan berlalu, izin penggarapan lahan yang dijanjikan tak pernah terwujud.

Warga, kata Saepudin, beberapa kali menagih janji itu tanpa hasil, hingga mereka nekat membabat lahan yang dijanjikan.

Tak lama, Saepudin mengingat, orang yang mengaku sebagai “utusan perkebunan” datang dan lagi-lagi berjanji akan memroses izin penggarapan lahan.

Warga diminta menyerahkan Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, serta uang Rp10.000. Sebulan berlalu, izin belum juga keluar. Warga pun kembali membabat lahan.

“Datang lagi utusan perkebunan yang minta warga tanda tangan surat kuasa di atas materai dan membayar Rp 50.000. Saya laksanakan semuanya,” kata Saepudin.

Namun dua bulan kemudian, izin masih juga tak keluar. Saepudin kemudian menagih janji ke seorang warga yang menurutnya ditunjuk sebagai utusan perkebunan.

Oleh orang tersebut, Saepudin mengatakan diberi izin secara lisan untuk menggarap lahan dan ia diminta membentuk kelompok tani.

Sembilan bulan berikutnya, Saepudin dan kelompok taninya membabat lahan tersebut siang-malam sampai siap ditanami.

“Saya membabat sampai jam 10 malam, kadang jam 11 malam, memakai sisa-sisa tenaga,” kata Saepudin yang sehari-hari menjadi kuli arit untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

“Sesudah sembahyang Ashar saya turun ke kebun, kadang mandi di kebun. Saking butuhnya saya, saking kekurangannya.”

Air mata kakek dari tiga cucu itu mulai mengambang.

“Ternyata sama perusahaan, dijual lahan yang sudah saya babat. Dijual, Rp300.000 per patok. Saya diusir. Padahal separuh sudah ditanami kopi, sudah ditanami singkong.

“Saat saya ambil singkong di situ, saya dikejar-kejar,” ucapnya dengan getir.

Sekarang, ia dipidanakan karena menebang pohon dari lahan yang dikatakannya belum pernah dia garap.

“Saya bingung kenapa perusahaan mempidana saya. Saya disangka membabat kebun Blok Cipuncur 6, padahal saya menggarap lahan yang bersebelahan dengan kebun itu,” ungkap Saepudin.

Ketua Serikat Petani Badega (SPB), Usep Saipul Miftah, menduga warga telah dijadikan alat untuk “mengusir LSM yang mau mengklaim lahan tersebut”.

“Mungkin dari pihak PTPN tidak bisa menghalangi LSM itu, akhirnya perkebunan minta bantuan ke masyarakat. Setelah LSM mundur karena ada penolakan dari masyarakat, janji tidak direalisasikan,” kata Usep. “Hanya iming-iming semata.”

Tarik ulur perusahaan dengan janji izin penggarapan lahan ini, kata Usep, membuat petani merasa dipermainkan.

"Akhirnya masyarakat mengambil keputusan [menggarap lahan]. Pertama; kondisi lahannya sudah terlantar.

"Kedua; masyarakat sudah melakukan apa yang disarankan [utusan] PTPN, tapi tetap tidak bisa menggarap lahan," ucap Usep.

Saat dikonfirmasi, Direktur PTPN VIII,, Didik Prasetyo mengatakan perkebunan tidak pernah mengirim utusan untuk melakukan apa yang dituduhkan warga.

“Saya khawatir itu orang luar mengaku-aku, mengatasnamakan PTPN mengutip orang-orang yang kerja sama dengan kita. Itu sering sekali terjadi,” kata Didik.

Disebutkan pula dalam dokumen legal itu, bahwa akibat perbuatan tersebut PTPN VIII Kabupaten Garut mengalami kerugian materil sejumlah ± Rp127.004.889.757.

Bagi penasihat hukum para terdakwa, ini adalah pertimbangan yang mengada-ada.

“Beban pertanggungjawaban pidananya ngawur. Terdakwa itu kan, menggarap di blok masing-masing, tapi kerugian Rp127 miliar itu untuk seluruh kawasan. Tidak adil membebankan pertanggungjawaban kepada terdakwa,” kata Penasehat Hukum Terdakwa dari LBH Bandung, M. Rafi Saiful Islam.

“Lagi pula lahan yang digarap para terdakwa tanahnya jadi lebih subur. Dari yang tidak produktif, diproduktifkan lagi, enggak nganggur,” kata Rafi.

“Putusan hakim tersebut tidak mencerminkan keadilan agraria, dimana hakim dalam pertimbangannya hanya menilai dari kacamata formalistik hukum saja.”

Nandang adalah petani yang tak punya ladang. Warga Desa Cikandang ini sehari-hari bekerja sebagai buruh tani dan harus menghidupi delapan anggota keluarganya.

Hanya sepelemparan batu dari rumahnya, ia melihat ladang milik PTPN VIII ditumbuhi gulma dan tak ada yang mengurus.

Ia berniat menanami lahan itu dengan tanaman keladi dan sayur mayur untuk mengisi perut keluarganya.

Niatnya semakin kuat setelah bergabung dengan Serikat Petani Badega dan mendapatkan pemahaman soal kebijakan reforma agraria yang beberapa kali disebut oleh Presiden Joko Widodo.

“Berani untuk menggarap setelah kami memahami hukum [Pasal 15 Undang-Undang Pokok Agraria – UUPA]. Sebelum memahami hukum itu, kami tidak berani,” kata Nandang.

Pasal 15 dalam UUPA berbunyi: “Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hukuman hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.”

Nandang mengaku mulai membabat kebun teh seluas 2.400 meter persegi di Blok Cikandang I yang sudah dipenuhi semak belukar pada Mei 2021. Menurut Nandang, ia juga tidak mengajukan permohonan izin untuk menggarap lahan itu.

“Ketika kita meminta izin kepada PTPN berarti secara prosedural hukum salah, karena tanah tersebut bukan milik PTPN, tapi milik negara. PTPN legalitasnya hanya mengontrak. Kalau sekarang bahasanya HGU [Hak Guna Usaha],” kata Nandang beralasan.

Nandang juga menyebut PTPN tidak mempraktikkan amanat hukum yang tertuang dalam Pasal 15 UUPA tersebut karena, “Faktanya kok malah dirusak, tanah ditelantarkan, tanah disewakan. Semestinya komoditasnya untuk teh, tapi kenapa diubah jadi sayuran dengan disewakan ke masyarakat?”

Nandang menuduh PTPN juga menyewakan sebagian lahan mereka kepada warga di luar Desa Cikandang dan Margamulya.

"Kenapa orang bisa menggarap, sementara saya tidak? Ada yang dari luar kecamatan dan desa. Sedangkan saya [tinggal] di area situ, kok gak boleh?" tanyanya.

“Saya orang awam. Saya cuma memanfaatkan saja karena mlihat tanah itu sudah terlantar puluhan tahun, satu kilometer dari rumah saya,” kata Pakih, yang mengatakan telah menggarap lahan di Blok Gedong I, Desa Margamulya, selama lebih dari satu tahun.

Sementara itu, PTPN VIII menolak klaim petani yang menyebut lahan mereka terlantar. Blok Cipancur 6 yang diperkarakan itu, kata Didik Prasetyo, masih produktif. Meski, ia menyebut, beberapa area perkebunan “gulmanya banyak, sehingga masyarakat menebang”.

“Ada sebagian yang karena keterbatasan, biaya pemupukannya kurang, jadi seolah-olah terlantar. Padahal memang itu menunggu perbaikan, ada rotasinya sesuai dengan kemampuan keuangan kita,” sebut Didik.

Hak Guna Usaha Kebun Cisaruni PTPN VIII seluas 1.625,23 hektare, menurut perusahaan perkebunan ini, 95% terdiri dari tanaman teh, kekayuan, areal cadangan untuk penanaman selanjutnya, dan fasilitas pendukung berupa fasilitas sosial dan umum.

Sisanya, sebesar 5% merupakan "areal Pemberdayaan Masyarakat Desa Sekitar Kebun (PMDK) dan garapan tanpa izin", menurut pernyataan tertulis PTPN VIII kepada BBC Indonesia.

Penampakan lahan milik PTPN VIII lain yang tak terurus juga terlihat di Blok Jengkot 1 Desa Margamulya, Kecamatan Cikajang, Garut.

Saat wartawan Yuli Saputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia datang ke lokasi, tidak ada lagi tanaman teh di blok tersebut.

Lahan telah dipenuhi semak belukar dan tumbuhan liar. Tak jauh dari situ, berdiri pabrik pengolahan teh Perkebunan Cisaruni. Jalan menuju pabrik merupakan jalan berbatu dan tanah merah yang licin saat hujan turun.

Tidak ada aktivitas di pabrik itu. Warga menyebut pabrik tutup sekitar tahun 2000-an. Bangunan pabrik yang merupakan peninggalan kolonial Belanda itu telah rusak, atapnya hilang, hanya menyisakan puing-puing

“Besi-besi bangunannya banyak yang ngambil,” kata warga setempat yang menolak menyebutkan namanya.

Pemuda berusia 29 tahun ini sama sekali tidak pernah melihat pepohonan teh tumbuh lestari di Blok Jengkot 1. Sejak lahir di 1994, ia melihat lahan itu sudah menjadi semak belukar.

"Blok Jengkot 1 ini masih mending dibanding Blok Gedong 3 dan Jengkot 3 yang sudah jadi hutan belantara, gelap," ungkap warga Desa Margamulya ini.

Sejumlah blok lain juga telah berubah menjadi semak belukar, yakni Jengkot 2, Gedong 1, dan Gedong 2. Menurut warga, perkebunan teh di kawasan tersebut mulai terlantar sejak 1995.

“Jangan sampai ada lahan yang terlantar tidak ditanami apa-apa, tanami,” perintah Jokowi saat membuka Kongres XXXII PMKRI di Samarinda, Rabu (22/6/2022), seperti dikutip dari YouTube PMKRI.

Namun di lapangan, konflik terus terjadi.

Menurut Ketua Serikat Petani Badega, Usep Saipul Miftah, penelantaran lahan Kebun Cisaruni telah terjadi sejak 1995, diikuti penutupan pabrik teh Cisaruni sekitar tahun 2000.

Menurut pengukuran lahan oleh lembaganya, sebut Usep, dari 1625 hektare Kebun Cisaruni, hanya 20% yang produktif – meski PTPN menepis angka ini.

Merujuk UUPA, Usep menambahkan, ada beberapa penyebab HGU sebuah perusahaan perkebunan dicabut, antara lain, jangka waktunya berakhir dan lahan ditelantarkan. Selain itu, secara de jure, HGU Perkebunan Cisaruni PTPN VIII sebetulnya telah berakhir pada 1 Januari 2023.

“Makanya, dengan dasar UUPA Nomor 5 tahun 1960, masyarakat berani menggarap karena dengan dasar undang-undang itu PTPN VIII sudah tidak punya HGU karena sudah menelantarkan tanah,” kata Usep.

Namun Didik Prasetyo mengatakan “pemahaman warga keliru” tentang area HGU PTPN VIII yang sudah berakhir. Perkebunan, sebutnya, telah meminta perpanjangan HGU kepada Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun).

“Dari Kementerian ATW/BPN, bahwa pemegang hak lama masih punya hak keperdataan sepanjang dia tidak melepaskan,” ujar Didik, menambahkan proses perpanjangan HGU itu sudah berlangsung.

“Masyarakat tidak bisa otomatis langsung masuk. Negara yang mengatur, tidak bisa sembarangan langsung diduduki, membabat tanaman teh kita,” tukasnya.

Perkara lain, lanjut Usep, pemilik HGU juga bisa dipidana lantaran mempraktikkan sewa menyewa dan jual beli lahan. Usep mengaku menemukan praktik sewa menyewa dan jual beli lahan dikemas dengan program PMDK (Pemberdayaan Masyarakat Desa Kebun).

“Menurut saya, bukan sistem PMDK, tapi sewa-menyewa karena ketika masyarakat mau menggarap tetap dipungut uang. Satu kelompok tani itu lahan garapannya tiga patok seluas kurang lebih 1200 meter disewa dengan harga Rp 1,5 juta. Itu bukan pemberdayaan tapi sewa menyewa,” sebut Usep.

PTPN menolak tuduhan ini. Didik mengaku, PMDK telah dilakukan di area yang sudah diokupasi masyarakat secara ilegal sebagai “pendekatan humanis kepada petani-petani yang kooperatif” dengan sistem kemitraan.

“Yang tidak kooperatif kita laporkan ke penegak hukum. Kita sama-sama pendekatannya win-win.”

Kepada para petani di Cikajang, Didik menyebut, PTPN VIII sudah “dua atau tiga kali” mengajak musyawarah. “Tapi mereka tetap merusak,” tandasnya.

Tentang perusakan kebun oleh warga dan kewajiban pemegang HGU, dalam hal ini PTPN VIII.

“Sepanjang dia pegang HGU, dia harus mengikuti segala ketentuan pelaksanaan dari pemberian hak,” kata Dianto, termasuk mengerjakan secara produktif keseluruhan lahan.

Bila sebagian lahan tidak produktif atau menjadi terlantar, lanjut Dianto, maka dinas perkebunan setempat yang harus memberikan penilaian status kebun setiap tahun. Ini, sebut Didik Prasetyo, sudah dilakukan oleh PTPN VIII.

Namun, Dianto menekankan penilaian setiap tahun ini “bukan rahasia lagi, ada persoalan kongkalikong antara pemegang hak dengan orang dinas”.

“Bisa saja laporan yang keluar, ‘lahan tetap dikerjakan secara produktif dan tidak ditelantarkan’ atau ‘ada rencana akan ditanam pada musim tanam kapan’, sehingga tidak pernah sampai pada penilaian ia menjadi tanah terlantar status kebunnya,” tukas Dianto.

Di banyak tempat, lanjut dia, pemegang HGU juga ditemukan menyewakan lahan ke warga sekitar atau ke perusahaan – seperti yang dituduhkan oleh kelompok tani kepada PTPN VIII.

“Kalau sewa-menyewa terjadi dan bisa dibuktikan, itu jelas pelanggaran berat terhadap pemegang HGU,” tukasnya.

Dalam peradilan kasus empat petani Cikajang, bisa jadi bukti-bukti ini diajukan oleh kuasa hukum terdakwa, namun kata Dianto, hakim bisa mengesampingkan bukti-bukti itu karena pokok perkara yang disidangkan soal perusakan tanaman.

“Begitu proses peradilan kalau hanya melihat dari sisi hukum formal semata,” kata Dianto. “Jadi ada dua hal yang harus berbeda, kalau saya lihat secara objektif.”

Dianto menduga, proses hukum ini sengaja dilakukan PTPN VIII untuk punya bukti hukum dalam proses perpanjangan atau pembaruan HGU.

“Dalam upaya perpanjangan atau pembaruan HGU, BPN akan melakukan penilaian apakah lahan yang diajukan clear and clean. Clear, yaitu jelas batasan-batasannya dan clean, yaitu tidak ada konflik.

“Sementara banyak pihak tahu, sebagian lahan Cisaruni dikerjakan oleh orang lain. Nanti PTPN VIII bisa bilang, ‘oh mereka mengerjakan ilegal, kami sudah melakukan upaya hukum’, sehingga lahan itu bisa dinilai clean,” papar Dianto.

Ia juga mempertanyakan mengapa peristiwa hukum ini baru terjadi di akhir 2022, menjelang berakhirnya HGU, meski lahan sudah dikerjakan warga jauh sebelumnya.

“Ini pola yang biasanya berkembang dari pemegang HGU. Sebetulnya dia melakukan pelanggaran-pelanggaran atas hak yang dia pegang, tapi ingin memperpanjang dengan jumlah yang tetap. Biasanya yang dikorbankan orang-orang yang lemah, itu dugaan saya mengapa proses hukumnya jumpalitan seperti itu,” kata Dianto.

Di sisi lain, Dianto juga menyebut Pasal 15 UUPA memang menyebutkan setiap orang berkewajiban memelihara tanah yang terlantar.

“Tapi hasil tafsiran ini tidak bisa serta merta menjadi pembenaran, apalagi dijadikan alat bukti untuk membenarkan mereka melakukan tindakan yang salah.”

Secara formal, kata dia, warga tidak punya kewenangan mengatakan sebuah lahan terlantar atau tidak. “Penilaian-penilaian sosiologis, antropologis, politis, dan sebagainya itu bukan penilaian formal. Padahal kemungkinan mengatakan terlantar itu ada, berdasarkan penilaian setiap tahun.”

Maka, ketika warga menilai lahan telah terlantar sejak 1995 namun hingga HGU berakhir pada 2022 tidak ada status terlantar untuk Blok Cipancur 6, Dianto menuding BPN dan dinas perkebunan tak melakukan fungsi pengawasannya dengan baik.

“Berdasarkan laporan dari dinas perkebunan maka BPN melakukan penilaian dan menetapkan, atau bisa juga BPN mengecek langsung ke lapangan. Itu dikerjakan atau tidak? Kalau pada saat pengajuan tidak dilakukan pengecekan lapangan dengan benar, ya kedua instasi itu dodol, termasuk pemerintah daerah,” tukas Dianto.

Pasca pemenjaraan Nandang, Saepudin, Ujang Juhana, dan Pakih, PTPN VIII dan Serikat Petani Cisaruni meneken kesepakatan bersama untuk penyelesaian konflik antara kedua pihak pada 8 Februari 2023.

Dalam dokumen yang telah dilihat oleh BBC Indonesia ini, kelompok petani menjadi mitra PTPN VIII dalam program PMDK.

Sementara itu, keempat petani Cikajang telah mengajukan banding atas putusan hukum yang dianggap tidak adil oleh mereka.

“Presiden tolong turun, periksa. Jangan ucang angge [ongkang-ongkang kaki] di kantor, biar tahu,” kata Saepudin.

-

Wartawan di Bandung, Yuli Saputra, berkontribusi untuk laporan ini.

https://bandung.kompas.com/read/2023/03/09/153000378/duduk-perkara-4-petani-di-garut-dipenjara-karena-tebang-pohon-di-lahan-milik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke