Salin Artikel

Belasan Tahun Nuridi Jadi Kuli Panggul di Cirebon, Rahasia Kuatnya Satu: Istri Enggak Marah di Rumah

KOMPAS.com - "Pak, ke depan berapa bawa dua karung? "Karung apa, Bu? "Karung itu, kecil-kecil tanggung." "Oh, Rp 50.000, Bu."

Begitulah salah satu percakapan Nuridi (37) dengan ibu-ibu pada suatu hari di Pasar Sandang Tegalgubug, Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.

Sekolah Dasar (SD) menjadi satu-satunya pengalaman Nuridi mengenyam pendidikan formal.

Kemiskinan dan meninggalnya sang ibu mendorongnya untuk meninggalkan bangku sekolah.

Belum lama memasuki usia belasan, Nuridi harus memilih mengikuti saudara sepupunya bekerja sebagai kuli panggul di Pasar Sandang Tegalgubug.

Dengan tubuh mungilnya saat itu, dia memanggul karung berisi sarung, baju, celana, kerudung, atau berbagai produk sandang milik para pedagang dan pembeli di pasar yang diklaim terbesar se-Asia Tenggara itu.

"Saya tuh manggul dari kecil, habis sekolah MI (Madrasah ibtidaiah atau setara SD), orangtua meninggal, ikut kerja sama kakak (sepupu) sampai sekarang. Orangtua kan orang gak punya, jadi begitu orangtua saya meninggal ikut kerja sama kakak saya di pasar," ungkapnya kepada Kompas.com, Senin (13/3/2023).

Tumbuh sebagai kuli panggul tak lantas membuat kebutuhannya tak bertambah, dan tentu semua itu berkaitan dengan uang.

Untuk memperbanyak penghasilan, Nuridi sempat menjadi kuli panggul di dua pasar, yakni Pasar Sandang Tegalgubug, dan Pasar Jatibarang di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

Pekerjaan lain datang menggiurkannya: Jual-beli kambing. Sejak saat itu dia memutuskan tak lagi memanggul di Pasar Jatibarang.

"(Jadi kuli panggul) yang (di pasar) Jatibarang enggak jalan, saya sudahi. Lebih menguntungkan di per-kambing-an sih, jual beli kambing," kata Nuridi.

Meski begitu, Nuridi tak pernah meninggalkan Pasar Sandang Tegalgubug. Tiga dari tujuh harinya dihabiskan untuk memanggul di pasar yang buka setiap hari Selasa, Jumat, dan Sabtu.

Pada setiap "hari pasaran", Nuridi mulai mengencangkan otot-ototnya sejak sesudah shalat subuh hingga selepas magrib.

"Kalau kerja manggul di Pasar Sandang (Tegalgubug) masih tetap (dilakoni) dari subuh sampe bakda magrib kalau selesai, cuma biasanya waktu isya ada yang ngajak ngebal atau muat barang," ujar Nuridi.

"Jadi sekarang manggul aja sama jualan kambing ke pasar-pasar kambing, cari-cari kambing di rumah-rumah," jelasnya.

Pelanggan dan omprengan

Bila diklasifikasi, ada dua pengguna jasa Nuridi di Pasar Sandang Tegalgubug, yaitu pelanggan dan "omprengan".

Pelanggan biasanya adalah para pedagang yang meminta Nuridi mengemas, mengangkut, dan membawa barang dagangannya dari rumah sang pelanggan ke pasar pun sebaliknya.

Agar tetap bisa disebut sebagai pelanggan, Nuridi memprioritaskan kelompok ini dalam kerjanya sebagai kuli panggul.

Sedangkan omprengan dalam kamus Nuridi berarti memanggul dan mengantar barang milik pedagang atau konsumen pasar yang bukan pelanggannya.

"Kalau barang pelanggan sudah dibawa semua, sudah selesai semua, kalau ada yang ngajak lagi ya dibawa, bahasanya ngompreng lah, cari penghasilan tambahannya di omprengan," terangnya.

"Kalau pelanggan dari rumah (ke pasar atau sebaliknya) kan sudah ketahuan (ongkosnya), Rp 100.000, sekian, sekian, sudah ketebak semua, kalau omprengan buat nambah pemasukan," sambungnya.

Nuridi yang kini tinggal di Desa Bojong Kulon, Kecamatan Susukan itu menjelaskan, saat sedang "ngompreng", dia tak perlu lagi menawarkan jasanya kepada para pembeli di pasar.

Pengunjung pasar, menurutnya, telah mengetahui, setidaknya hafal ciri-ciri siapa saja para pemanggul di tiap area Pasar Sandang Tegalgubug.

"Jadi ngajak sendiri, 'ayo mas bawa barang ke depan mau gak?', sudah nawarin sendiri, kita sih tinggal ayo aja yang penting dapat uang," ucapnya sambil terkekeh.

Ongkos panggul

Setiap kuli panggul di Pasar Sandang Tegalgubug bisa berbeda dalam mematok harga jasanya, tak ada tarif bawah atau atas yang ditetapkan.

Jumlah uang yang dikeluarkan pengguna jasa Nuridi atau rekan-rekannya yang lain bergantung kesepakatan kedua belah pihak usai proses tawar-menawar yang terkadang berlangsung alot.

"Kalau ongkosnya beda-beda, kalau sama yang belanja biasanya transaksi dulu, kalau sama pelanggan (pedagang) sudah dipatok segitu, Rp 150.000 misalnya," papar Nuridi.

Akan tetapi, ada faktor lain yang dapat menjadi penentu tarif panggul yang diminta Nuridi kepada pengguna jasanya, yaitu jarak dan berat barang bawaan.

"Kalau sama orang belanja kan tergantung tujuannya juga, dari belakang (pasar) ke depan, bergantung bawa barangnya banyak enggak, kalau banyak bayarannya agak gede," tuturnya.

Di tengah waktu istirahatnya, Nuridi tak lelah menjelaskan, untuk karung berukuran kecil, dia membuka harga di kisaran Rp 25.000 sekali panggul hingga area depan pasar.

"Kalau yang gede beda lagi, tergantung perjanjian awalnya aja, biasanya tawar-menawar harga. Kadang Rp 40.000, Rp 35.000, sayanya mau ya dibawa," bebernya.

Tujuan pengantaran barang, dia melanjutkan, juga berpengaruh terhadap ongkos panggul. Berbeda dengan tarif bagi pelanggan yang "jauh dekat sama saja", jarak panggul barang "omprengan" sangat menentukan harga, tentu semakin jauh semakin mahal, kian dekat kian murah.

Biasanya, para pengunjung pasar meminta Nuridi mengangkut barang belanjaan mereka hingga area depan pasar, parkiran, atau tempat-tempat pengiriman barang atau ekspedisi.

"Kalau pembeli, dari (belakang) pasar ke depan, biasanya ke jalan raya, atau ke tempat-tempat pemaketan (ekspedisi), tergantung tujuan pembelinya, kadang abis belanja dikumpulin jadi satu, dimuat, kalau pembelinya dari luar Pulau Jawa biasanya langsung ke tempat pemaketan," ucap Nuridi.

"Cerita lika-liku orang buruh emang beda-beda, ada yang bawa sedikit, cuma satu karung kecil dikasih Rp 50.000, ada, bergantung orangnya sih," paparnya.

Nuridi tak hanya mengangkut barang dengan tubuhnya. Pasar yang luas, dan jarak antar barang yang jauh tentu membuatnya butuh kendaraan yang mampu menanggung beban berat.

Awalnya, dia menggunakan becak untuk mengangkut barang, tetapi sejak tahun 2012, Nuridi mulai berpaling kepada motor roda tiga yang memiliki bak untuk mengangkut barang di bagian belakangnya.

Nuridi mengaku, dia membeli motor pengangkut barang itu secara kredit. Uang muka pembelian motor saat itu didapat dari pinjaman salah seorang pelanggannya.

Bukan hanya memudahkan kerjanya, Nuridi kini juga dapat mengangkut barang lebih banyak, bahkan bisa mencapai bobot 6 kwintal.

"Jadi dari los atau lapak pedagang, barang dipanggul dinaikkan ke atas motor angkut, kemudian barang diantar ke pihak ekspedisi. Kalau dari tempat belanja manggul ke tempat pemaketan jauh, nanti badan rusak itu, kalau masih dekat dipanggul saja, kalau sudah ke depan (pasar) atau paketan-paketan (jasa ekspedisi) yang di luar pasar ya harus pakai VIAR (motor roda tiga)," terang Nuridi.

Saat masih menggunakan becak, cerita Nuridi, proses pengangkutan dan pengantaran barang pelanggannya bukan hanya lebih lama, tetapi juga berpengaruh terhadap pemasukan yang ia terima.

"Waktu masih pakai becak tuh, ya punten-punten ya, orang kan pikirannya beda-beda, pernah saya bawa dari pasar sandang Tegalgubug sampai desa Tegalgubug Lor dikasihnya Rp 2.000, hati kayak kurang nerima tapi ya gimana, ngasihnya juga sambil dilempar ke kursi becaknya, itu juga kelasnya haji orangnya tuh," kenangnya.

Usai memanfaatkan motor pengangkut barang, kini kerjanya semakin efisien, meskipun ia tetap harus mengeluarkan dana tambahan untuk keperluan bensin yang harganya semakin mahal.

Tetapi, kenaikan harga bensin tak lantas membuatnya turut mematok ongkos angkut lebih tinggi kepada pengguna jasanya.

"Enggak, majikan (pelanggan) tahunya segitu aja (ongkos angkut), cuma kan kita orang buruh yang penting kan rutin diajak menggawenya tuh, walau harga bensin naik tarif panggul tetap segitu aja, yang penting rutin, yang penting berangkat, ada penghasilan," jawabnya sembari tersenyum.

Usaha lain selalu terbentur

Meski pandemi telah berlalu, Nuridi menilai, geliat jual-beli di Pasar Sandang Tegalgubug tak kunjung normal.

Bahkan, menurutnya, perputaran uang tahun ini menurun drastis bila dibandingkan dengan masa pagebluk.

Pasalnya, selama masa pembatasan, pasar-pasar sandang di wilayah lain tidak beroperasi, sedangkan Pasar Sandang Tegalgubug tetap buka seperti biasa.

"Jadi yang dari daerah lain ke sini semua, ya lumayan banyak lah. Saya aja bisa buat rumah waktu gencar-gencarnya pandemi, uangnya malah kekumpul pas pandemi," ungkapnya.

Tahun 2023, penghasilan Nuridi sebagai kuli panggul menurun drastis, bahkan hingga mencapai 30-50 persen.

Dia berhitung, semasa pandemi, Nuridi bisa mengantongi uang Rp 800.000 sampai Rp 1 juta dalam sehari, kini dia hanya sanggup membawa pulang Rp 400.000 - Rp 500.000 dari kerja panggulnya.

"Saya punya bos (pelanggan) orang Kuningan (Jabar), kalau belanja bisa satu truk tiap Minggu, waktu pandemi juga masih satu truk, tahun sekarang Alhamdulillah cuma dua karung kecil belanjanya tuh," cerita Nuridi.

"Saya biasanya kalau bawa barang orang Kuningan itu bisa dapat Rp 300.000-Rp 400.000 sampe selesai, sekarang dua karung dikasih Rp 75.000, beda jauh lah," keluhnya.

Bagi Nuridi, faktor paling nyata yang membuat penghasilannya menurun tahun ini adalah maraknya transaksi online antara penjual dan pembeli.

Masyarakat yang biasanya datang langsung ke pasar, kini hanya perlu memesan barang ke penjual langganannya di Pasar Sandang Tegalgubug melalui ponsel.

Ditambah lagi, pihak ekspedisi kini menyediakan layanan jemput paket barang ke rumah konsumen, sehingga para pedagang tak perlu lagi otot Nuridi dan rekan-rekannya untuk memanggul dan mengantar barang ke tempat pemaketan.

"Tahun-tahun kemarin kan belum, pasti nyuruhnya kami-kami juga (kuli panggul)," tutur Nuridi lirih.

Dalam kondisi seperti sekarang, Nuridi mengakui bahwa penghasilannya sebagai kuli panggul tak dapat mencukupi kebutuhan keluarganya, namun sampai saat ini dia merasa tak ada lagi yang bisa dikerjakannya.

"Gak cukup sih, cuma mau kerja yang lain, coba-coba ikut sama saudara belajar motong bahan (kain) buat jualan orang, cuma yang ngajak ya kayak enggak niat, ya sudah, bisanya kayak gini ya sebisa-bisanya, yang penting setiap hari ada yang masuk lah walaupun kecil," kata Nuridi menolak menyerah.

"Kalau pemasukan dari manggul sih sudah ketakar segitu, cuma cari lebihannya dari yang jual beli kambing, kalau enggak ada dari per-kambing-an ya jelas enggak cukup, Mas," lanjutnya.

Nuridi mengisahkan, setelah menikah pada tahun 2010 silam, Nuridi sempat mencari peruntungan lain. Dia dan istrinya mencoba berjualan gamis di Pasar Sandang Tegalgubug, namun tak berjalan lama, mereka kehabisan modal.

"Mau andalkan otak buat ikut jualan online enggak mampu saya tuh, otak saya enggak mampu. Pernah mau coba, ikut-ikutan, cuma enggak mampu saya, ya mungkin kurang tekun, tapi enggak mampu kayaknya, bisanya kayak gini ya dijalani aja lah," jujurnya.

Meski begitu, Nuridi yakin, otaknya akan terus berputar dan ototnya siap mengeras kapan saja demi bisa membayar tagihan kredit motor roda tiga, dan memastikan istri serta kedua anaknya yang masih kecil bisa hidup layak.

Rahasia kekuatan Nuridi

Nuridi beruntung, selama belasan tahun berprofesi sebagai kuli panggul, tak pernah sekali pun dia mengalami kecelakaan kerja yang membuatnya cedera.

Sedangkan capek, pegal, atau sakit badan, dia sudah anggap sebagai kewajaran. Namun, Nuridi dengan senang hati membagikan rahasia kuli panggul dalam mengatasi pegal linu.

"Enggak enaknya tuh badan lagi sakit cuma masih mikirin arisan sama setoran bank, terpaksa deh harus berangkat, orang buruh seperti kita tuh gak bisa libur. Kalau hari Jumat mau tidak mau, walau posisinya lagi sakit tetep harus berangkat," kata Nuridi.

"Kalau malem minggu ke tukang jamu, bilang aja pegel-pegel, nanti dibuatin," bebernya.

"Kalau pijat, paling kalau udah kerasa agak sakit, kalau masih normal aja sih enggak pijat, soalnya kalau pijat paling enggak Rp 100.000 harus keluar," tambahnya.

Tak hanya itu, Nuridi membongkar rahasianya yang lebih besar, yang membuatnya bisa tetap memanggul karung dengan hati riang.

"Selagi istri enggak marah di rumah, seneng terus saya tuh, walaupun dibawa kerja juga nggak ada apa-apa, artinya hatinya seneng. Selagi istri enggak pernah marah, seneng saya," ungkapnya seraya terbahak.

Tidak semua kuli panggul jujur

Nuridi tak pernah tahu secara pasti jumlah kuli panggul di Pasar Sandang Tegalgubug. Bila diperkirakan ratusan, Nuridi akan menjawabnya 'lebih'.

Yang bisa dipastikannya, kuli panggul di pasar tersebut bukan hanya berasal dari Tegalgubug, tetapi juga warga desa tetangga, seperti Palimanan, Arjawinangun, Kempek, bahkan Indramayu, semuanya datang dengan semangat dan otot yang keras.

Tak ada syarat apa pun untuk menjadi kuli panggul, tak ada pendaftaran, tak ada persaingan, setiap orang yang mau cukup datang dan mulai memanggul.

"Enggak, yang penting mental kuat aja, enggak perlu daftar-daftar, kalau punya becak ya bawa becak, kalau punya odong-odong ya bawa odong-odong (motor tiga roda), enggak ada pendaftaran," jelasnya.

"(Kalau ada kuli panggul baru) ya gak apa-apa, boleh-boleh aja, enggak jadi masalah, enggak saling rebutan, rezeki kan sendiri-sendiri," jawabnya yakin.

Kuli panggul di Pasar Sandang Tegalgubug pun tak membentuk komunitas, tak punya pengurus. pengelola pasar, menurut Nuridi, hanya mengurus los atau kios.

"Kalau orang buruh gak ada yang memperhatikan lah, enggak ada, insya Allah," ujar Nuridi sembari tertawa.

Dia berharap, pengelola pasar lebih memperhatikan kuli panggul, minimal dengan memberikan seragam berwarna yang disesuaikan dengan asal daerah masing-masing.

"Misalnya, kuli panggul dari wilayah Tegalgubug kausnya tuh warna biru, dari wilayah Palimanan warna lain, beda wilayah beda warna, bisa ada tulisannya di belakang, gak perlu bagus-bagus yang penting ada cirinya," harapnya.

Usulan ini dianggap penting mengingat, cerita Nuridi, tak semua kuli panggul merupakan orang jujur. Masih ada oknum-oknum yang kerap mencuri barang milik pedagang atau pembeli yang diangkutnya.

"Kuli panggul enggak semua bener, ada yang suka ambil barang-barang punya orang belanja, enggak semua bener," ungkapnya.

"Kalau yang jualan atau yang belanja itu lengah, dicuri, empat potong lima potong. Kuli panggul enggak semua bener, enggak semua jujur, ada yang model kayak gitu. Mungkin niatnya juga beda itu, enggak semata-mata buat kerja, sambil nyuri, jadi kan kalau gitu yang tersangka (semua) kuli panggul," misuh Nuridi.

Dengan adanya seragam, Nuridi yakin akan lebih mudah melacak kuli panggul yang mencuri barang milik konsumen.

"Pengennya saya, tapi apa daya orang seperti saya. Kalau kuli panggul kan tidak menghasilkan apa-apa buat mereka (pengelola pasar)," ucapnya.

Berhenti sebelum tua

Kini di tengah lika-liku kehidupannya, Nuridi mencoba bertahan memanggul beban berat. Bayangan pekerjaan lain kerap menghantui, namun dia memilih melakukan profesi sekarang ini.

Nuridi dan rekan-rekannya yang lain mungkin tak pernah mengira akan menjalani hidup sebagai kuli panggul, namun di ujung percakapan Nuridi berharap, "Pengennya enggak sampai tua, sekarang juga pengennya hidup enak kayak orang-orang, bisa jualan sendiri, enggak tahu jualan apa, yang penting bisa jualan, jangan sampai tua pengennya sih."

https://bandung.kompas.com/read/2023/03/16/161102178/belasan-tahun-nuridi-jadi-kuli-panggul-di-cirebon-rahasia-kuatnya-satu-istri

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke