Salin Artikel

Habitat Hewan Liar Terganggu, Kades asal Bandung Barat Lempar Ular ke KLHK

Aksi protes kepala desa itu tergambar dalam video amatir yang tersebar di media sosial.

Dalam video tersebut, pria itu memegang sejumlah ular di lengan kiri. Sementara lengan kanannya memegang pengeras suara dan berorasi. Bahkan ular dalam genggaman pria itu dilempar-lemparkan ke halaman kantor KLHK.

Dalam orasinya, ia memprotes kerusakan hutan akibat campur tangan manusia yang berimbas pada terganggunya habitat hewan-hewan liar di berbagai daerah di Indonesia.

Usut punya usut, pria itu bernama Yanto bin Surya alias Steve Ewon, seorang pegiat lingkungan sekaligus Kepala Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, KBB.

Saat dikonfirmasi, aksi itu sengaja dilakukan bersama masyarakat pegiat lingkungan lain sebagai bentuk protes atas kerusakan lingkungan. Aksi demonstrasi itu dilakukan di depan Kantor KLHK pada Rabu (15/3/2023).

"Sebenarnya, aksi kemarin itu saya tidak protes saya tidak berdemo. Tapi saya mengantar sahabat-sahabat saya yang ada di alam untuk protes. Karena mereka tidak punya bahasa, akhirnya saya sampaikan keresahan mereka kepada pemerintah," ujar Steve Ewon saat dikonfirmasi, Kamis (16/3/2023).

"Kami sampaikan bahwa jangan sampai alamnya dirusak, manfaatnya diambil tapi tidak menjaga. Yang akhirnya binatang-binatang ini tidak punya tempat untuk pulang, untuk cari makan dan sebagainya," imbuhnya.

Steve Ewon sengaja menghadirkan hewan-hewan liar seperti ular yang didapat dari permukiman warga. Hewan-hewan itu diduga hewan liar yang habitatnya terganggu atas masifnya kerusakan alam.

"Yang saya bawa kemarin ada ular, biawak, buaya, sebenarnya banyak. Tapi tidak kita keluarkan semua. Kecuali jika apa yang saya harapkan tidak ada respons," kata Steve Ewon.

Steve Ewon menyampaikan, aksi demonstrasi itu dilatarbelakangi atas fenomena masuknya hewan-hewan liar ke area pemukiman warga.

Hal itu dirasakan betul bahkan di tempatnya menjabat sebagai kepala desa di Bandung Barat.

"Fakta yang kita rasakan, banyak ular yang masuk ke permukiman warga. Di Kabupaten Bandung harimau masuk ke permukiman, di Sumatera gajah masuk ke permukiman. Nah itu adalah fakta yang jelas bahwa alam sudah rusak," sebutnya.

Aksi melempar ular di depan kantor KLHK itu ia dilakukan sebagai simbol bahwa ular tak lebih berbahaya dari manusia.

Aktivitas manusia di habitat hewan liar ini dinilai lebih berbahaya. Selain merusak lingkungan juga merusak ekosistem rantai makanan makhluk hidup.

"Saya tanya kepada audiens kemarin, di sana ada KLHK ada polisi. Jadi kalaupun saya lepaskan, saya jamin 100 persen tidak membahayakan," sebut Ewon.

Menurutnya, kerusakan lahan hutan di Ranca Upas merupakan sebagian kecil dari kerusakan hutan yang sebelumnya sudah masif dilakukan korporasi pabrik semen di berbagai daerah di Indonesia.

Kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan ini yang musti negara turun tangan dengan membatasi aktivitas-aktivitas perusakan lingkungan di berbagai daerah di Indonesia.

"Bukan hanya Ranca Upas yang kami persoalkan. Karena musang itu ada di mana-mana, ular itu ada di mana-mana. Ranca upas itu di antaranya saja. Itu hanya sampel kecil, contoh besarnya bisa dicek ke beberapa pabrik semen. Berapa gunung, berapa hutan, berapa ribu hektar yang mereka rusak tapi apa kontribusi mereka terhadap kelestarian alam ini," jelas Steve Ewon.

Pada aksi demonstrasi itu, Steve Ewon menyampaikan protes dan tuntutan agar KLHK mau melek atas kerusakan hutan yang saat ini dinilai sudah pada level akut.

"Kerusakan alam bisa terasa dengan dampak cuaca yang tak menentu dan pemanasan global. Intinya kemarin saya mengingatkan bahwa alam sudah rusak, yuk kita jaga sama-sama untuk keberlangsungan anak cucu kita," tandasnya.

https://bandung.kompas.com/read/2023/03/16/202712078/habitat-hewan-liar-terganggu-kades-asal-bandung-barat-lempar-ular-ke-klhk

Terkini Lainnya

Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Regional
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com