Salin Artikel

Penikmat "Thrifting" soal Larangan Pakaian Bekas Impor: Enggak Bisa Gitu Dong, Kan Kebebasan Memilih

Hal itu disampaikan saat ditanyakan terkait larangan penjualan barang bekas impor yang saat ini penegakannya gencar dilakukan oleh pemerintah.

Raihan Absah (31), salah seorang konsumen pakaian bekas impor di Pasar Cimol Gede Bage, Kota Bandung, mengatakan, dia menyukai pakaian bekas impor karena ketahanan bahan.

Ia menilai, kualitas jahitan pakaian impor masih lebih baik dibandingkan dengan pakaian lokal.

"Saya lihatnya dari jahitan dan kualitas ketahanannya ya. Rata-rata barang bekas yang saya beli kaya pakaian gitu masih kuat dipakai dua atau tiga tahun," katanya saat ditemui, Selasa (21/3/2023).

Tak hanya soal kualitas jahitan, Raihan menilai kualitas sablon dari pakaian impor juga masih jauh lebih baik dibanding pakaian lokal.

"Saya pernah beli kaus brand luar negeri, sampai saya pakai enam tahun itu sablonnya masih utuh, bahkan warna di sablonnya enggak pudar, hanya sedikit saja yang rusak gambarnya," ujar dia.

Raihan yang telah bertahun-tahun membeli pakaian bekas impor mengaku tahu kualitas lokal dan impor.

Meski begitu, dia tidak menyalahkan apalagi meninggalkan produk lokal. Raihan sampai saat ini masih menggunakan barang-barang lokal.

Menurutnya, saat ini produk dalam negeri sudah mulai bisa bersaing di ajang promosi. Hanya saja, perlu penguatan dari sisi kualitas dan ketahanan bahan.

"Sedikit banyak tahu sih kualitas, tapi saya enggak semua pakai impor, ada juga yang lokal. Artinya, saya enggak menutup mata barang dalam negeri, hanya perlu dukungan saja terutama di fasilitas alat produksi mungkin," tambahnya.

Ditanya terkait larangan penggunaan pakaian impor bekas, Raihan sangat menyayangkan rencana pemerintah itu.

Padahal, kata dia, jika ada aturan yang bisa menaungi para pedagang pakaian bekas impor, negara bisa mendapatkan keuntungan.

"Bagusnya, kasih aja aturan yang ketat atau apalah supaya ada aturan yang pasti buat mereka (para pedagang). Kalau ada aturan kan negara juga yang dapat untung," kata Raihan.

Hal serupa juga disampaikan Regita Maryam (36), penikmat thrifting asal Lembang, Kabupaten Bandung Barat.

Dia menilai harga produk lokal lebih tinggi dibanding barang impor.

Sekalipun bekas, Regita lebih memilih barang bekas impor untuk dipakainya sehari-hari.

Hal itu lantaran kualitas bahan dari barang lokal dan impor yang jauh berbeda.

"Gini, aku kan terbatas anggaran buat beli fashion, terus aku juga punya selera sendiri. Nah, kadang aku lihat harganya tuh si barang atau brand lokal tinggi banget, tapi ketahanannya kurang, jadi itu sih yang jadi pertimbangan," terangnya.

Regita juga melihat dari sisi ukuran. Biasanya barang bekas atau barang baru impor memiliki ukuran yang beragam.

Berbeda dengan barang lokal yang ukurannya terbatas.

"Ukurannya juga, kalau impor tuh khusus yang big size pasti banyak ukurannya. Nah, kalau lokal beberapa kali aku beli suka enggak sesuai ukurannya," tambah dia.

Regita menyebutkan, terkadang merek lokal cenderung memperkuat sisi promosi saja dibandingkan dengan realita barang yang dijual. Apalagi, merek-merek lokal yang dijual secara online.

Menurutnya, hal itu jadi pertimbangan para penikmat thrifting untuk tetap konsisten menggunakan pakaian impor sekalipun itu bekas.

"Coba saja. Terkadang di marketplace tuh kayak gitu. Penjelasannya gimana tahunya barangnya gimana, terkadang enggak sesuai. Ini aku bicara fakta ya," bebernya.

Regita pun heran terkait aturan pelarangan pakaian bekas impor.

"Kalau aku lihatnya itu kebebasan memilih ya. Enggak bisa dong kalau dilarang. Misalnya harus beli pakaian lokal, oke bisa, tapi kualitasnya harus bagus dulu supaya mampu bersaing dengan brand impor. Aku tahu keinginan baik pemerintah, tapi harus dilihat juga nasib pedagang ke depannya gimana," tambahnya.

Sementara itu, konsumen pakaian bekas impor lain, Fahmi Ishak (33), menilai pakaian bekas impor nyaman dan relevan digunakan.

Soal penyakit di pakain bekas impor, ia meyakini ada cara yang dilakukan para pedagang agar lebih higienis.

"Nyaman dong, kenapa masih saya beli karena buat saya kondisinya masih baik dan nyaman dipakai," kata Fahmi.

Fahmi menyebutkan, saat ini merek lokal banyak yang mulai bermunculan.

Namun, ia melihat merek lokal terlalu banyak menjiplak dan tidak memiliki karakteristik dalam produknya.

"Kalau brand impor itu enggak musiman, ada nilai konsisten. Jadi kalau dipakai, ada istilah 'langka' barangnya. Beda kalau brand lokal. Aku lihatnya banyak yang jiplak dari desain atau apa gitu. Sayang sih kalau mereka (produsen merek lokal) punya ide yang berbeda, yakin bisa bersaing penuh," ujar Fahmi.

https://bandung.kompas.com/read/2023/03/21/154958678/penikmat-thrifting-soal-larangan-pakaian-bekas-impor-enggak-bisa-gitu-dong

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke