Salin Artikel

Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Masjid dengan Ornamen Era Hindu-Buddha yang Jadi Pusat Penyebaran Islam di Cirebon

Tak ada menara, kubah, ornamen Islam, khot atau kaligrafi, dan bahkan tak ada tampilan kalimat-kalimat tauhid yang biasa terpampang di masjid. Justru, terdapat ornamen bunga teratai dan matahari yang menjadi simbol agama Hindu-Buddha pada masanya.

Nama masjid ini pun tanpa kata-kata atau kalimat Arab yang identik dengan Islam, melainkan Sanskerta. Namun, siapa sangka, masjid ini menjadi pusat penyebaran agama Islam yang terbuka dan toleran terhadap agama lain di masanya.

Inilah Masjid Agung Sang Cipta Rasa, yang berlokasi di area kompleks Keraton Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon. Masjid ini memiliki nilai sejarah dan menjadi pusat penyebaran agama Islam pada masanya.

Mohamad ismail (48), salah satu pengurus Masjid Agung Sang Cipta Rasa, menyampaikan, Syekh Syarif Hidayatullah, atau yang biasa dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati, adalah pemrakarsa masjid ini.

Salah satu dari sembilan wali era Kerajaan Demak ini mendirikan Masjid Agung Sang Cipta Rasa dengan berbagai pertimbangan matang.

Bahkan, dia tidak sendiri, pembangunan masjid ini juga didiskusikan oleh para Walisongo lainnya. Sunan Gunung Jati juga menunjuk Sunan Kalijaga dan lainnya, beserta Raden Sepat dari Kerajaan Majapahit, untuk menjadi arsitek bangunan masjid ini.

Akhirnya, mereka bersama pasukan keraton mulai membangun masjid ini dalam kurun waktu 1480-an silam.

Masjid Agung Sang Cipta Rasa menggunakan sekitar 30 buah tiang dari kayu jati yang sangat kokoh. Tiang-tiang itu berdiri dengan diameter sekitar 40 meter di bagian luar hingga dalam. Mereka tidak mendirikan menara sekaligus kubah masjid untuk meminimalisasi simbol Islam.

"Memang masjid ini tidak menonjolkan sisi Islam-nya. Bangunan masjid ini tidak sama dengan masjid di Indonesia pada umumnya identik dengan adanya kubah, menara, masjid ini lebih mirip dengan pendopo,” kata Ismail kepada Kompas.com, Jumat (24/3/2023).

Dari segi bangunan, masjid ini memiliki dua bagian, yakni bagian utama di dalam yang berukuran sekitar 18 meter x 14 meter, dan juga bagian luar yang merupakan serambi masjid dengan ukuran yang lebih luas.

Di bagian dalam, Ismail menunjukkan kepada Kompas.com letak ukiran ornamen bunga teratai dan ornamen matahari yang merupakan simbol identik dengan Hindu-Buddha. Bahkan, ornamen ini dipasang di dinding tempat pengimaman, sebuah lokasi sakral di saat shalat.

Ismail menyampaikan, konsep arsitektur ini bukanlah kebetulan, melainkan sudah dirancang matang oleh para wali. Pasalnya, sebelum Islam datang, mayoritas penduduk sekitar beragama Hindu-Buddha.

Setelah masjid ini selesai dibangun, para wali menamai dengan nama Sang Cipta Rasa, yang juga identik dengan bahasa Sanskerta. Para wali tidak menggunakan nama atau kata Arab yang justru identik dengan islam, seperti masjid pada umumnya.

Masjid Sang Cipta Rasa, akulturasi budaya dan simbol keterbukaan

Wali membolehkan seluruh masyarakat dari berbagai lapisan agama Islam, Hindu, Buddha, dan agama kepercayaan lainnya untuk masuk ke masjid. Ternyata, mereka tidak merasa asing dan betah karena menganggap seperti rumahnya sendiri.

“Ini merupakan strategi dakwah sejak awal. Masjid ini memiliki sembilan pintu yang merupakan simbol sembilan Walisongo, dan simbol keterbukaan. Siapa pun, agama mana pun, Islam maupun non-Islam, dan terbukti banyak non-muslim masuk. Mereka tidak merasa asing dan merasa di rumah sendiri,” tambah Ismail.

Setelah mereka merasa nyaman, dan tenang, di saat bersamaan Walisongo menyebarkan nilai-nilai ajaran agama Islam. Tidak disangka, warga Hindu-Buddha pada saat itu, mulai berbondong-bondong memeluk Islam.

“Mereka merasa nyaman, tenang, berlama-lama, betah di masjid ini. Akhirnya lambat laun pikirannya terbuka, mudah menerima ajaran, di situlah para wali menyampaikan dakwah, akhirnya banyak orang-orang non-muslim memeluk Islam. Itulah strategi dakwah para wali, tanpa adanya paksaan, kekerasan, peperangan,” sebut Ismail.

Ismail menerangkan, corak penyebaran agama islam yang dilakukan oleh para wali menggunakan sistem terbuka, toleran, dan mengikuti akulturasi budaya masing-masing. Ini bukti Islam yang menjadi rahmat untuk sesama.

Hingga saat ini, generasi penerus di Keraton Kasepuhan dan juga Keraton Kanoman Cirebon menjaga dan melestarikan nilai-nilai penting tersebut. Jemaah yang datang pun tidak hanya datang dari Cirebon, tetapi dari berbagai penjuru daerah.

Ismail menyebutkan, warga merasa nyaman karena masjid ini lebih menyerupai pendopo, bukanlah masjid pada umumnya. Masjid ini menampung sekitar 3.000 jemaah, bahkan bisa lebih. Pasalnya, bila pelaksanaan Idul Fitri, pengurus memperluas cakupan ke jalan yang berada tepat di depan masjid.

Masjid Agung Sang Cipta Rasa pernah mengalami beberapa penambahan-penambahan di beberapa kepemerintahan raja setelah Syekh Syarief Hidayatullah. Namun, bagian yang hingga saat ini masih utuh dan asli adalah bagian ruang utama.

https://bandung.kompas.com/read/2023/03/25/110301878/masjid-agung-sang-cipta-rasa-masjid-dengan-ornamen-era-hindu-buddha-yang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke