Salin Artikel

Cerita Kemala, Bayi Stunting yang Alami Gangguan Pendengaran karena Kurang Gizi

Sambil tergesa-gesa, putri satu-satunya Kemala (14 bulan) yang berada di pangkuannya hanya bisa menangis, lantaran sang Ibu mesti kembali pada rutinitas sehari-harinya bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga (ART).

Elis mesti menitipkan, putrinya kepada sang Ibu, Yayah (49). Meski begitu, Kemala berhasil mendapatkan imunisasi keduanya.

Seharusnya, kata Elis, jadwal imunisasi hari ini merupakan imunisasi ketiga.

Saat imunisasi kedua beberapa waktu lalu, dokter di Puskesmas tak mengizinkan Kemala untuk diimunisasi.

Pasalnya, bayi itu sempat menderita kulit megar (kering dan mengelupas) serta bercak merah.

"Harusnya ketiga, tapi waktu itu enggak boleh karena sempet bintik-bintik merah cukup banyak sama kulitnya megar, seharinya sebelumnya panas tinggi, tapi pas diimunisasi enggak panas, tapi tetep dokternya enggak ngasih," katanya ditemui di kediamannya, Kamis (6/4/2023).

Meski terlihat buru-buru, Elis masih memberikan kesempatan berbagi kisahnya. Kepada Kompas.com, ia menceritakan perjuangannya membesarkan Kemala seorang diri.

Kemala lahir, di Rumah Sakit Rajawali, Kota Bandung, pada Mei 2022. Elis melahirkan buah hatinya tanpa ditemani seorang suami.

Suaminya meninggal, saat Kemala masih dalam kandungan.

Sejak saat itu, ia mesti menyiapkan kelahiran sang anak seorang diri. Tidak hanya itu, biaya persalinan pun mesti ia cari sendiri.

"Gimana lagi, suami dulu kerja sebagai buruh tapi umurnya pendek, terus usahanya gulung tikar, saya belum bisa nerusin karena harus bagi waktu persiapan lahiran sama kerja juga buat persalinan," terangnya.

Kemala lahir dengan berat 1,5 kilogram, jauh di bawah Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) BBLR di Indonesia yakni 2,5 kilogram. Pun dengan tingginya, saat lahir Kemala hanya memiliki tinggi 42,1 centimeter.

Elis mengakui, saat itu tidak mengetahui jika Kemala masuk kategori bayi Stunting. Ia menganggap berat badan dan tinggi Kemala saat lahir termasuk normal, sama seperti bayi pada umumnya.

Baginya, Kemala lahir selamat tanpa kekurangan (cacat fisik) merupakan sesuatu yang patut disyukuri.

Tidak hanya itu, yang ada dibenaknya kala itu cara segera keluar dari rumah sakit dan menjahit kembali kehidupan.

"Enggak tahu, dulu enggak berfikir sampai stunting atau apa, yang penting selamat aja dulu, maklum lahiran juga seadanya," tutur dia.

Elis masih ingat, ia mesti istirahat di Rumah Sakit selama 4 hari pasca melahirkan Kemala.

Dokter, baru memberi tahu sang buah hati stunting saat dihari ke dua. Saat itu, kata dia, dokter menyampaikan jika Kemala mesti di inkubator lantaran menderita penyakit kuning.

"Dikasih tahu pas lagi di inkubator, hari ke dua kalau enggak salah. Anak saya itu kena penyakit kuning, kata mertua dan ibu saya hal yang wajar, dan bisa disembuhkan di rumah," terangnya.

Lantaran, khawatir terbebani biaya rumah sakit yang tinggi. Akhirnya, ia dan keluarga sepakat untuk memulihkan kondisi dirinya dan Kemala kecil di rumah di Kecamatan Babakan Ciparay.

Elis tinggal bersama ibu dan bapaknya, serta satu orang adiknya. Di rumah petak, yang tak begitu luas. Kemala dibesarkan di tengah tempat tinggal yang jauh dari kata nyaman.

Setelah ditinggal sang suami, Elis terpaksa harus tinggal bersama orangtuanya lantaran tak sanggup lagi untuk membayar kontrakan petak yang ditinggali sebelumnya.

Di tengah rumah yang jauh dari kategori nyaman itu, Elis berharap selama tiga minggu selepas kelahiran Kemala, kondisi buah hatinya busa kembali pulih.

"Mau gimana lagi, ditarik saja ke rumah, di sini saya sekarang tinggal, bareng-bareng menyembuhkan Kemala," jelasnya.

Sama seperti orangtua pada umumnya, Elis hanya mengandalkan sinar matahari untuk kesembuhan si buah hati.

Rutinitas itu ia lakukan setiap pagi, meski kadang kala harus dilakukan oleh Yayah, lantaran ia harus pergi bekerja.

"Seringnya sama neneknya, paling kalau saya lagi libur dijemurnya sama saya," kata dia.


Perjuangan untuk menjemur Kemala agar sembuh dari penyakit kuningnya bukan tanpa rintangan.

Siapapun, baik Elisa atau Yayah mesti berjalan sekitar 200 meter dari kediamannya, untuk mendapatkan sinar matahari yang cukup.

Pasalnya, rumah orangtua Elis berada di antara pemukiman yang padat akan penduduk, serta harus melalui gang-gang kecil.

"Dijemurnya di depan sana di jalan gede, jalan dulu dari sini, supaya dapet matahari yang full. Kalau di sini mah pengap, lembab soalnya kecil rumahnya, sinar mataharinya juga sedikit," tutur dia.

Saat malam hari, Kemala akan diterangi oleh lampu kuning biasa. Tujuannya, kata dia, agar Kemala tetap merasa hangat dan terkena sinar.

"Kalau malam yan dibuatin lampu kaya gini (sambil menunjukan lampunya) sama kakeknya," kata Elis.

Alih-alih agar Kemala sembuh, Elis mengeluh segala upaya telah dilakukan.

Kemala mesti mengidap penyakit kuning selama 1,5 bulan di luar batas normal yang biasanya hanya 2 sampai 3 minggu.

Khawatir, lantaran tak kunjung sembuh, akhirnya Elis membawa Kemala ke puskesmas.

Pihak puskesmas, saat itu, kembali merekomendasikan Kemala untuk dibawa ke Rumah Sakit Rajawali, tempat Kemala lahir.

Elis mengungkapkan, saat itu, kondisi Kemala masih terlihat lemas atau lesu, setiap menangis Kemala kerap mengeluarkan nada yang cukup tinggi.

Benar saja, dokter yang menangani Kemala, kata dia, mengatakan Kemala terlalu lama menderita penyakit kuning.

Akibatnya, kandungan bilirubin (senyawa pigmen berwana kuning) terlalu banyak masuk ke dalam otak sehingga mengakibatkan ensefalopati bilirubin akut.

"Singkatnya kata dokter komplikasi penyakit kuning pada bayi, ya ada efek dan dampaknya," kata dia.

Sambil membacakan hasil pemeriksaan dokter, kepada Kompas.com Elis menyebut komplikasi penyakit kuning yang diderita Kemala menyebabkan kernikterus (sindrom yang terjadi jika ensefalopati bilirubin akut menyebabkan kerusakan permanen pada otak).

"Katanya, ke depan kalau enggak ditangani secara baik, paling parah anak saya bisa mengalami gangguan pendengaran, pertumbuhan gigi yang tidak normal," ungkapnya.

Beruntung, kata dia, dokter yang menangani Kemala begitu perhatian. Elis mengaku sempat ditanyai mengapa Kemala bisa mengalami hal tersebut.

Bahkan, sang dokter sempat bertanya ihwal pemberian Air Susu Ibu (ASI) kepada Kemala. Namun, Elis mengaku pemberian ASI untuk Kemala rutin di lakukan.

Meski, ia harus mencari nafkah, Elis kerap memompa ASI-nya untuk Kemala dan disimpan yang disimpan di dalam kulkas.

Tak cukup dengan penjelasan itu, dokter yang menangani Kemala, langsung menguji kualitas ASI dari Elis.

Hasilnya, Elis seperti tertampar ketiga kali, setelah ditinggal sang suami, Kemala yang divonis penyakit berat, kini ia harus menerima hasil dokter yang menyebutkan bahwa kualitas ASI yang diberikan untuk Kemala kurang baik kualitasnya.

"Saya kaget ternyata saya sendiri juga penyebabnya, terus lingkungan dan yang lainnya juga mendukung semua, mau gimana lagi harus dijalani," kata Elis.

Elis menyadari, jika kualitas ASI yang dibekukan tidak selamanya baik. Ia sadar rutinitasnya bekerja mencari penghasilan membuat ia tidak memperhatikan kualitas ASI.

Tak sampai di situ, apa yang dikonsumsinya selama ini, lanjut dia, jauh dari kata sehat atau bergizi.

Tekanan ekonomi, kata dia, menjadi faktor utama, apa yang dialaminya mesti berimbas pada kehidupan sang buah hati.

"Kemala jadi kena imbasnya. Gimana ya kulkas saya zaman mana ini, enggak punya duit buat beli baru. Gaji saya enggak seberapa, terus sanggupnya beli makanan yang sesuai, bergizi atau tidak saya enggak tahu," tambahnya.


Ditangani

Usai menerima kabar tersebut, Elis hanya bisa pasrah, sebuah upaya akhir bagi mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan.

Namun, pasrah bagi Elis tak berarti harus berdiam dan membiarkan Kemala hidup dengan segala kekurangan.

Elis mengaku, berupaya menghubungi kader-kader posyandu yang ada di Kecamatan Babakan Ciparay.

"Udah mah saya yang hidup kaya gini, kalau bisa anak saya jangan sampai anak saya hidupnya sengsara nanti," tambahnya.

Upaya Elis ternyata membuahkan hasil kader-kader PKK serta posyandu tempat Elis tinggal memasukan Kemala pada balita yang harus diperhatikan gizinya.

Pendamping Posyandu di salah satu Kelurahan di Kecamatan Babakan Ciparay, Mega Purnama membenarkan Kemala mengalami stunting karena berbagai faktor salah satunya gizi buruk akibat ekonomi keluarganya.

"Sebetulnya kalau diceritakan detail pelik, tapi intinya seperti itu. Ibunya seorang janda, tulang punggung keluarga juga, penghasilan enggak seberapa jadi berimbas," kata dia.

Mega menjelaskan, saat ini rajin menjenguk Kemala. Hal itu dilakukan lantaran, Elis sang Ibu mesti membagi waktu dengan pekerjaannya.

"Sekarang kita sepakat di Kelurahan untuk kontrol Kemala sebulan sekali atau kalau saya lagi enggak ada kegiatan ya kontrol sambil lihat perkembangannya," tutur dia.

Selain itu, ia membenarkan jika Kemala divonis mengalami gangguan pendengaran. Ia menyadari keadaan itu sulit diterima dan diperbaiki.

Namun, ia meyakini apa yang dilakukan pihaknya kepada Kemala merupakan upaya agar apa yang dialami Kemala tidak berimbas pada hal yang lain.

"Kita rutin cek dia, kita berikan perhatian pada yang menjaganya, lingkungannya kita perbaiki pelan-pelan termasuk asupan gizi keluarga dan ibunya kita perhatikan betul, sebab catatan dari Rumah Sakit oleh ibunya juga diberikan ke kita," tambahnya.

Kini Kemala menginjak usia 14 bulan, kendati masuk kategori stunting, Elis dan anggota keluarga yang lain masih menaruh harapan atas putri satu-satunya itu.

Bagi Elis dan keluarga, boleh jadi Kemala kehilangan pendengarannya, tapi tidak dengan kasih sayang ia dan yang lain.

"Buat saya Kemala segala-galanya, dia bisa kehilangan apa pun tapi tidak dengan kasih sayang yang lain termasuk saya," ungkapnya.

https://bandung.kompas.com/read/2023/04/06/150939378/cerita-kemala-bayi-stunting-yang-alami-gangguan-pendengaran-karena-kurang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke