Salin Artikel

Terjebak Macet akibat Banyak Wisatawan di Puncak Bogor, Pemudik Lokal Ini Mengeluh Tekor Uang Bensin

Hingga pukul 20.30 WIB, kemacetan masih belum juga terurai sehingga penumpukan kendaraan motor dan mobil kian menjadi-jadi di beberapa titik.

Seorang pemudik sepeda motor tujuan Jakarta, Basir (54) mengaku terdampak kemacetan tersebut.

Basir dan keluarga kecilnya (istri dan satu anak) hendak balik mudik dari Cilaku, Cianjur, ke daerah Kalideres, Jakarta Barat. 

Dia mengaku sudah mengantisipasi kemacetan tersebut. Ia bahkan berangkat dari rumah sanak saudaranya sejak Senin siang sekitar pukul 14.00 WIB demi menghindari kemacetan.

Sang istri dan anak perempuannya sudah menyiapkan segala perlengkapan untuk arus balik mudik ke Jakarta. Tetapi ternyata, berangkat lebih awal tidak menjamin kelancaran perjalanan.

"Pengin ngehindarin macet Lebaran kedua (arus balik mudik). Eh, tahunya malah gini lewat Puncak," kata Basir ketika ditemui Kompas.com di pinggir jalan Ciawi, Senin malam.

Penyesalan pun dirasaka Basir. Dia mengaku seharusnya dari awal berangkat melawati Jonggol alias jalur alternatif Transyogi saja. 

Alhasil, ia dan istri beserta anaknya harus menanggung risiko kelelahan serta kerugian materi.

"Dari Cipanas itu udah enggak bisa gerak, motor-motor pada mogok, kehabisan bensin dan mereka pada ngedorong. Untung aja saya tadi pas habis bensin ada yang jual," ujarnya.

"Ya gimana, baru nyampe Bogor (Ciawi) aja itu udah 6 jam loh. Kalau masih macet begini bisa sampai jam 1 malam nyampe, belum di Kota Bogor nya bakal macet lagi ini. Ya bisa 12 jam baru sampai di rumah," ungkapnya.

"Isi bensin biasanya cukup Rp 50.000 ke Kalideres Jakarta. Nah, ini aja baru sampai Bogor udah habis. Rugi banyak. Jadinya bensin isi dua kali. Tekor," keluh Basir sambil membetulkan jas hujannya di pinggir jalan.

Menurut Basir, kemacetan parah yang terjadi di Puncak Bogor disebabkan banyak pemotor wisatawan yang tidak mau mengalah. Akibatnya, dia sebagai pemudik lokal terkena imbasnya.

Tak hanya itu, para wisatawan juga kerap menggunakan jalur kiri untuk menikmati pemandangan liburan. Sehingga, imbasnya antrean kendaraan semakin panjang.

"Macetnya emang dibikin sendiri ama pemotor wisatawan ini. Motor-motor ini melambung, enggak mau mengalah. Jadinya kita yang kena macetnya. Kalau enggak ada polisi yang ngatur, bisa sampai pagi ini macetnya apalagi ini hujan," ungkapnya.

Karena kemacetan itu, Basir dan keluarganya terpaksa harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk dipergunakan beristirahat dan minum vitamin agar bisa melanjutkan perjalanan.

Saat terjebak macet di atas motor itu mereka sesekali melaju pelan lalu berhenti berteduh dari panas siang hari. Sore dan malamnya, mereka berteduh dari derasnya hujan.

Demi keluarga, kata Basir, apapun rintangannya tetap harus dilawan. Jarak tempuh yang tidak normal 12 jam harus tetap ditempuh.

Usai membelikan istri dan anaknya jas hujan, Basir pamit melanjutkan perjalanannya ke Kalideres.

https://bandung.kompas.com/read/2023/04/24/222251578/terjebak-macet-akibat-banyak-wisatawan-di-puncak-bogor-pemudik-lokal-ini

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com