Salin Artikel

Cerita Elianti yang Jadi Korban Banjir Luapan Sungai Citarum sejak 1990-an

Sejak Sabtu lalu, kata Elianti, Sungai Citarum "mengamuk" dan tumpah membanjiri beberapa wilayah salah satunya di Kampung Cijagra, Desa Bojongsoang, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

"Datangnya Sabtu pagi, jam 05.00 WIB, hujannya enggam gede tapi airnya datang berkali-kali," katanya saat ditemui di rumahnya, Selasa (9/5/2023).

Beberapa lokasi di Kampung Cijagra dipastikan terimbas luapan Sungai Citarum. Dari 10 RT di RW 100, lanjut dia, hampir semua terkena amukan Sungai Citarum.

Titik air paling tinggi, sambung dia, bisa msncapai ketingguan 2 meter, sedangkan paling rendah hanya 70 sentimeter (cm).

Bagi Elianti, luapan Sungai Citarum merupakan hal biasa. Bahkan, ia menganggapnya sebagai teman lama yang kerap berkunjung mana kala hujan datang.

"Saya pindah ke sini sejak tahun '90-an, waktu anak saya masih umur satu tahun juga banjir sudah ada," katanya.

Ia tidak punya pilihan, sejak menikah dengan suaminya. Elianti memilih untuk membeli rumah tersebut karena harganya murah.

Bukan tidak mempertimbangkan soal banjir yang kerap datang, tapi ia tak punya pilihan untuk membeli rumah yang layak.

Selain itu, pada 1990-an banjir Sungai Citarum tak seekstrem saat ini.

"Biar gini kan ini rumah sendiri, kalau ngontrak mungkin saya sudah pindah sejak dulu," terangnya.


Ia menjelaskan rentan 1980 hingga 1990-an pembangunan di wilayah Bandung Selatan belum terlalu masif atau banyak.

Begitu pula lebar Sungai Citarum belum menyempit seoeeti hari ini, sehingga saat itu ketika banjir datang hanya sampai semata kaki saja.

"Itu juga enggak masuk rumah, kalau sekarang beda. Rumah saya dikepung air Citarum dari depan dan belakang, depannya luapan banjir di jalan raya, belakangnya yang dari selokan nembus ke Citarum," ungkap dia.

Kediaman Elianti tepat berada di lokasi yang rendah, dibanding dengan tempat tinggal yang lain yang lebih tinggi.

Akibatnya, ketika banjir datang rumahnya yang paling pertama terkena, tapi paling lama surut.

"Apalagi rumah saya sudah kayak kolam atau akuarium. Rumah saya datang paling awal si airnya, surutnya paling lama kalau banjir tahunan ini," tutur dia.

Dulu usai banjir, ia dan suami hanya membersihkan bagian luar rumah saja. Sedimen lumpur, sampah, dan bebatuan kerap ia temui.

Namun, berbeda dengan saat ini. Setiap banjir, bagian dalam rumahnya ikut terendam, ia juga harus mensiasati bagian-bagian dalam rumah agar tak tergenangi banjir. Seperti, temlat tidur, serta perabot lainnya.

Tidak hanya itu, lumpur serta material banjir yang lain juga usai banjir bisa dijumpai di dalam rumah.

"Kalau bebersih dengan lumpur-lumpurnya juga. Kalau sudah habis air yang kotor enggak lama dari belakang keluar air bersih dari selokan belakang yang nyambung ke Citarum," tutur dia.

Ditanya, terkait perjuangannya hidup berdampingan dengan banjir, Elianti hanya bisa tertawa saja.

Sejak ia memutuskan menikah dan memiliki anak di tengah banjir Sungai Citarum, perjuangan yang dilakukanya sudah beragam.

"Anak-anak kalau sekolah terus lagi musim hujan ya anak-anak saya pasti kebanjiran baik pulang atau pergi, apalagi saya yang stay terus di rumah," terang dia.


Apalagi saat memasuki bulan suci Ramadhan dan musim Lebaran. Elianti mengaku kerap bersiap karena sudah beberapa kali Ramadhan dan Lebaran kerap turun hujan.

"Bulan puasa tahun ini juga kita babanjiran, seminggu pas bulan puasa, terus dua hari Lebaran juga kayak gini," ujarnya.

Adanya pembangunan seperti kolam retensi di Andir, dan floodway dirasa percuma. Pasalnya, hingga detik ini, banjir masih terus berdatangan.

Ditambah warga Kampung Cijagra, lama sekali tidak memiliki tempat penampungan.

Kalaupun ada, tidak mungkin menampung, karena jumlah KK yang terdampak cukup banyak.

"Jadi kolam retensi yang di Andir enggak ngaruh sama sekali. Penampungan ada di taman, tapi kita mikir enggak mungkin ketampung," terang dia.

Saat ini, pihaknya hanya berharap banjir segera surut lantaran mengganggu aktivitasnya.

Terkait uluran tangan dari pemerintah, pihaknya hanya memasrahkan pada keadaan.

Kendati begitu, bantuan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) berupa makanan ringan, obat-obatan anak, serta makanan berat sudah diterimanya. Akan tetapi, kata dia, tidak dengan solusi.

"Kalau surut emang cepet, tapi kalau di sini di rumah saya ya lama bisa sapai dua hari. Tapi kalau hujan ya gini lagi kayak diisi ulang, saya takut, takit kayak tahun 2015 sampai hampir ke atap rumah banjirnya," tutur dia.

https://bandung.kompas.com/read/2023/05/09/134952978/cerita-elianti-yang-jadi-korban-banjir-luapan-sungai-citarum-sejak-1990-an

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke