Salin Artikel

Pemberontakan Kartosoewirjo: Latar Belakang, Tokoh, dan Dampak

KOMPAS.com - Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang dikenal dengan Pemberontakan DI/TII adalah sebuah gerakan pemberontakan yang bertujuan untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII).

Pemberontakan DI/TII terjadi beberapa daerah di Indonesia, yaitu di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan yang berkobar pada tahun 1949 hingga 1962.

Pemberontakan DI/TII diketahui pertama kali terjadi di Jawa Barat pada 7 Agustus 1949 yang dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Hal ini pula yang menjadi alasan Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat kemudian dikenal sebagai Pemberontakan Kartosoewirjo (Pemberontakan Kartosuwiryo).

Latar Belakang Pemberontakan Kartosoewirjo

Pemberontakan Kartosoewirjo disebabkan oleh ketidakpuasan Kartosuwiryo terhadap kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang masih dibayangi oleh kehadiran Belanda.

Terlebih setelah Perjanjian Renville ditandatangani pada 1948 yang menurut Kartosuwiryo dianggap tidak melindungi warga Jawa Barat.

Saat itu, sesuai Perjanjian Renville, pemerintah RI menginstruksikan seluruh pasukan Divisi Siliwangi untuk melakukan long march ke Jawa Tengah.

Perintah long march tersebut merupakan konsekuensi dari Perjanjian Renville, yang menurut Kartosoewirjo dibentuk hanya untuk mengelabui orang-orang penting agar bersedia patuh terhadap Hindia Belanda.

Kronologi Pemberontakan Kartosoewirjo

Sebelumnya Pemberontakan Kartosoewirjo berkobar, pada awal tahun 1948, Kartosoewirjo sempat bertemu dengan Panglima Laskar Sabilillah dan Raden Oni Syahroni yang sama-sama menentang ditandatanganinya perjanjian tersebut.

Namun kemudian Kartosoewirjo memutuskan untuk mendirikan negara Islam, yaitu Negara Islam Indonesia (NII) yang kemudian ia pimpin sendiri.

Kartosoewirjo memproklamasikan NII melalui maklumat pemerintah No II/7, yang menyebutkan bahwa 17 Agustus 1945 adalah akhir kehidupan Indonesia.

Berdirinya NII adalah bentuk penolakan dari Kartosoewirjo kepada pemerintah Belanda sekaligus protes untuk Indonesia yang dianggap terlalu lemah.

Pengaruh dari Kartosoewirjo pun semakin kuat setelah ia mendirikan angkatan bersenjata untuk NII yang bernama Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Pasukan ini dibentuk NII untuk memerangi pasukan TNI agar bisa memisahkan diri dari negara Indonesia.

Sejak saat itu, NII semakin berkembang terutama setelah pergerakannya mendapat dukungan dari daerah-daerah lain yang juga merasakan ketidakpuasan yang sama terhadap pemerintah RI.

Darul Islam juga berkembang menguasai sepertiga Jawa Barat, bahkan melancarkan serangan sampai ke pinggiran Jakarta selama tahun 1950-an.

Untuk menanggulangi pemberontakan ini, pemerintah RI kemudian mengeluarkan peraturan No. 59 Tahun 1958 yang berisikan penumpasan DI/TII.

Salah satu caranya adalah dengan menurunkan pasukan Kodam Siliwangi dan memberlakukan taktik Pagar Betis dengan memanfaatkan tenaga rakyat guna mempersempit ruang gerak DI/TII.

Selain taktik Pagar Betis, Kodam Siliwangi juga melakukan Operasi Brata Yudha yang dilakukan untuk menemukan tempat persembunyian Kartosoewirjo.

Setelah melalui berbagai rintangan, akhirnya Kartosoewirjo berhasil ditangkap hidup-hidup.

Pada akhirnya, Kartosuwiryo berhasil dibekuk oleh pemimpin Kompi C Batalyon 328 Kujang II/Siliwangi, Letnan Suhanda.

Tertangkapnya Kartosoewirjo ini menjadi awal mula padamnya Pemberontakan DI/TII, karena setelah itu banyak pengkutnya yang memutuskan untuk menyerah.

Tokoh Pemberontakan Kartosoewirjo

Pemberontakan Kartosoewirjo dipimpin oleh sosok Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang juga membentuk Negara Islam Indonesia (NII).

Kartosoewirjo lahir di Cepu, 7 Januari 1905. Ia merupakan putra dari Kartodikromo, seorang lurah di Cepu, sebuah kecamatan di Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah.

Penerapan Politik Etis (Politik Balas Budi) membuatnya mendapat kesempatan untuk bersekolah di pendidikan modern ini berkat kedudukan sang ayah yang saat itu cukup penting.

Sewaktu menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) di Bojonegoro, ia bertemu dengan Notodihardjo, seorang tokoh Islam modern yang beraliran Muhammadiyah yang kemudian menanamkan pemikiran Islam modern ke dalam pikiran Kartosoewirjo.

Setelah lulus dari ELS, pada tahun 1923, Kartosoewirjo melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi Kedokteran Nederlands Indische Artsen School.

Selama bersekolah di sana, ia bergabung dengan organisasi Syarikat Islam yang dipimpin HOS Tjokroaminoto. Bahkan Soekarno dan Kartosoewirjo disebut sebagai sahabat dekat yang sama-sama berguru kepada HOS Tjokroaminoto.

Namun ketertarikannya pada dunia politik, membuat Kartosoewirjo dikeluarkan dari Nederlands Indische Artsen School pada tahun 1927 karena dianggap sebagai aktivis politik serta memiliki buku sosialis dan komunis.

Ia kemudian bekerja sebagai pemimpin redaksi koran harian Fadjar Asia.
Kariernya pun kian melejit setelah ia bergabung dalam Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), menjabat sebagai sekretaris jenderal.

Semasa perang kemerdekaan, tahun 1945-1949, Kartosoewirjo turut terlibat aktif dalam perjuangan.

Namun sifat kerasnya membuat ia kerap bertolak belakang dengan pemerintah, termasuk saat menolak pemerintah pusat agar seluruh Divisi Siliwangi dipukul mundur ke Jawa Tengah.

Selain itu, Kartosoewirjo juga menolak posisi menteri yang ditawarkan Amir Sjarifuddin saat menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia.

Pada akhirnya, Kartosoewirjo menjadi sosok yang mengobarkan Pemberontakan DI/TII melawan pemerintah RI.

Dampak Pemberontakan Kartosoewirjo

Pemberontakan Kartosoewirjo memiliki beberapa dampak, salah satunya adalah menjalarnya pemberontakan ke daerah-daerah lainnya.

Selain itu, pemberontakan ini juga menyebabkan benturan antara angkatan bersenjata NII yang bernama Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dengan TNI, yaitu pasukan Divisi Siliwangi.

Pasca ditangkap, Kartosoewirjo dinyatakan bersalah atas pemberontakan dan percobaan pembunuhan Presiden Soekarno oleh pengadilan Militer.

Saat itu, Presiden Soekarno sempat tidak mau menandatangani persetujuan hukuman mati atas sosok sahabatnya itu.

Namun, hukuman mati kepada Kartosoewirjo akhirnya tetap dilaksanakan pada 5 September 1962.
Eksekusi mati Kartosoewirjo dilakukan dengan cara ditembak oleh regu tembak yang terdiri 12 orang.

Sumber:
pmb.itats.ac.id  
kompas.tv  
kompas.com ( Penulis : Verelladevanka Adryamarthanino, Editor : Tri Indriawati, Nibras Nada Nailufar)

https://bandung.kompas.com/read/2023/07/25/231747978/pemberontakan-kartosoewirjo-latar-belakang-tokoh-dan-dampak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke