Salin Artikel

Nasib Petani Perkebunan Teh Margawindu Sumedang dari Masa ke Masa

Tubuhnya menunduk berpayung dudukuy (alat penutup kepala agar terlindungi dari panas dan hujan, bahasa Sunda) dan bermodal arit.

Dia tak lelah mengayunkan tangannya, memangkas daun-daun hijau tua yang tampak di depannya.

Perempuan itu adalah adalah Ilah (57), ibu dua anak asal Desa Citengah, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.

Saat ditemui Kompas.com pada Rabu (26/7/2023), Ilah tengah memetik teh di Perkebunan Teh Margawindu, dan aktivitas memetik teh seperti itu sudah dilakukannya sejak 1985.

"Dulu, awal tahun 1985-an saya sudah mulai jadi buruh petik teh di perkebunan ini sejak masih dikelola PT Cakra. Setelah perusahaannya pailit, lahan garapannya diserahkan negara ke masyarakat, jadi sekarang saya punya lahan garapan 1 hektar," ujar Ilah di Perkebunan Teh Margawindu.

Pada 1997, Ilah mulai menggarap lahan seluas 1 hektar di Perkebunan Teh Margawindu.

"Lahannya punya negara, saya hanya garap saja. Jadi lahan ini saya garap sendiri, dulu waktu masih sehat, bapak (suami) juga sering membantu. Tapi, sudah beberapa tahun ini yang garap cuma saya sendiri, karena suami sudah tua, sakit-sakitan," tutur Ilah.

Sejak suaminya sakit, kata Ilah, ia menggarap lahan tersebut seorang diri.

Mulai dari memangkas rumput ilalang yang tumbuh di areal perkebunan teh, sampai memetik teh.

"Iya, ngored (memangkas ilalang) sendiri, metik sendiri, angkut sendiri. Kalau metik itu jadwalnya tiap hari Senin sampai Kamis, Sabtu-Minggu dipakai buat "ngored", jadi liburnya cuma sehari, hari Jumat," sebut Ilah.


Ilah mengatakan, meski sejak 1997 tersebut statusnya sudah tidak sebagai buruh pemetik teh, dengan menjadi penggarap lahan, tapi hasil yang didapat juga nyaris sama dengan ketika menjadi buruh.

"Ya dalam seminggu itu, dari hasil jual teh ke pengepul paling banyak cuma dapat Rp 200.000. Itu teh kotor, karena kita juga harus beli pupuk dan kebutuhan lainnya," ujar Ilah.

Meski hasil yang didapat jauh lebih kecil dan tidak sebanding dengan keringat yang diperas. Namun, Ilah tetap bertahan demi membantu perekonomian keluarga.

"Kalau dulu suami kerja serabutan, tapi sekarang karena sudah tua jadi enggak kerja. Karena itu, sekarang pemasukannya hanya dari hasil metik teh ini, jadi ya saya bertahan meski hasil yang didapat memang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Yang penting masih ada buat makan," tutur Ilah.

Di sela-sela percakapan dengan Kompas.com, Ilah sempat mengeluh kondisi ekonomi hidupnya.

Dia mengaku, hingga saat ini, tidak pernah menerima bantuan sosial dalam bentuk apa pun dari pemerintah.

Ilah hanya berharap, ke depan, pemerintah lebih memerhatikan nasib petani penggarap perkebunan teh seperti dirinya.

"Ya, harapannya, ibu bisa terus sehat. Pemerintah harus baik juga ke petani, lebih perhatian, program apa aja biar petani kayak kita itu hidupnya lebih sejahtera," harap Ilah.

Lahan perkebunan diurus turun temurun

Petani penggarap Perkebunan Teh Margawindu lainnya, Henhen Juhaena (42), mengakui jika penghasilannya sebagai penggarap lahan perkebunan teh tak mampu mencukupi kehidupan sehari-hari.

Henhen mengaku, untuk menutupi kebutuhan hidupnya, selain menjadi penggarap lahan, ia juga bekerja di salah satu objek wisata yang ada di Desa Citengah.

"Ya karena enggak cukup (penghasilan dari menggarap kebun teh), jadi ikut kerja, bantu-bantu di tempat wisata," ujar Henhen kepada Kompas.com.

Sebelumnya, lahan garapan dikelola sang ayah, yang kemudian diteruskan olehnya.

Ido Miskanda (39), yang juga menjadi penerus lahan garapan di Perkebunan Teh Margawindu sejak 2000-an, juga masih jauh dari kata sejahtera.

Seperti halnya penggarap lahan lainnya, Ido harus menghabiskan waktu dari Senin-Kamis untuk panen teh dan menjual hasilnya ke pengepul.

"Karena sejak perusahaannya bangkrut, di sini sudah tidak ada lagi pabrik teh. Jadi sekarang ini, dari hasil panen langsung kita jual ke pengepul," ujar Ido yang tergabung dalam Kelompok Tani Margawindu.

Sejarah Perkebunan Teh Margawindu dan nasib penggarapnya kini

Selain Ido, penggarap lahan lainnya yang tergabung dalam kelompok yang sama, Asep Suprianto (58), menyebutkan, lahan Perkebunan Teh Margawindu memiliki luas total 578 hektar.

Namun, dari total tersebut, yang saat digarap oleh petani hanya 200 hektar terdiri dari 20 blok.

"Digarapnya oleh 200-an petani sini, ada yang awalnya kerja di PT Cakra (Perusahaan yang mengelola Perkebunan Teh Margawindu), ada juga warga sekitar di Desa Citengah ini," ujar Asep.

Asep mengatakan, Perkebunan Teh Margawindu dengan luas lahan 578 hektar ini berlokasi di satu desa, yaitu Desa Citengah.

"Awalnya lahan ini dibuka dan digarap oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, lahan Perkebunan Teh Margawindu menjadi tanah negara," tutur Asep.

Kemudian, kata Asep, sejak 1980-an, Pemerintah Indonesia menyerahkan Hak Guna Usaha (HGU) kepada PT Cakra, untuk mengelola salah satu lokasi perkebunan teh terbesar di Kabupaten Sumedang.

Sejak digarap PT Cakra, perkebunan teh ini terus berkembang dan mempekerjakan ratusan buruh atau petani teh yang berasal dari berbagai daerah di Jawa Barat mulai dari Kabupaten Cianjur; Ciwidey dan Pangalengan, Kabupaten Bandung; hingga Purwakarta.

"Akan tetapi, pada tahun 1997, PT Cakra mengalami pailit hingga Pemerintah Indonesia menyerahkan lahan garapan ini kepada para petani yang kemudian menetap di sekitar areal perkebunan ini dan mulai menggarapnya," sebut Asep.


Asep menuturkan, dari 20 blok yang ada di Perkebunan Teh Margawindu, Blok Cisoka menjadi yang paling terkenal.

Karena, Blok Cisoka yang mulanya hanya hamparan kebun saja, sejak dikelola PT Cakra menjadi bedeng para buruh pemetik teh yang berasal dari berbagai daerah di luar Sumedang.

"Dulunya Cisoka itu bedeng buruh perusahaan, dihuni oleh puluhan kepala keluarga. Lahan hunian ini pun sampai sekarang masih ada dan diwariskan secara turun temurun, hingga akhirnya, sekarang, warga Cisoka ini menjadi orang Sumedang, dengan KTP Sumedang," ujar Asep.

Harapan petani: pupuk murah dan mudah, hasil panen teh diolah dari hulu sampai hilir

Asep mengatakan, meski masih jauh dari kata sejahtera, namun ratusan petani penggarap lahan di Perkebunan Teh Margawindu berharap pemerintah lebih peka terhadap nasib petani.

"Kendala kami saat ini pupuk mahal, ada pupuk murah tapi ribet dan terbatas juga, tidak mencukupi kebutuhan untuk lahan garapan. Selain itu, peralatan yang kami gunakan juga masih seadanya, kami belum punya peralatan canggih seperti di perkebunan teh lainnya," ujar Asep.

Selain itu, kata Asep, sebagai petani ia juga berharap, ke depan ada pabrik pengolahan yang dikelola oleh para petani secara langsung.

"Hasil panen kami, dalam sehari bisa menghasilkan daun teh mencapai 3 ton dari 200 hektare lahan yang kami garap. Itu masih sedikit karena, keterbatasan pupuk dan peralatan yang kami gunakan," sebut Asep.

Di tempat yang sama, Ida Suparman (64), salah seorang tokoh masyarakat Cisoka mengatakan, meneruskan menggarap lahan di Perkebunan Teh Margawindu dari keluarganya.

"Asli dari Pangalengan (Bandung), garap lahan di Cisoka ini sejak tahun 1997. Saya mulai menetap di sini sejak saat itu sampai sekarang dan sudah menjadi warga Sumedang," ujar Ida kepada Kompas.com di Blok Cisoka, Rabu (26/7/2023).

Sebagai petani penggarap lahan perkebunan teh di Margawindu, baik Ilah, Henhen, Ido, Asep, maupun Ida berharap, pemerintah lebih memerhatikan nasib mereka yang telah turun temurun menjadi petani penggarap lahan tersebut.

"Sekarang ini, kami agak waswas dengan status lahan di Margawindu ini. Karena statusnya lahan negara itu, kami khawatir lahan ini kembali dikelola oleh perusahaan atau investor luar," ujar Ida.

Namun, di sisi lain, para petani juga bersyukur karena Presiden Joko Widodo memiliki program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).

"Jadi harapan kami itu, lahan garapan kami ini bisa masuk program TORA yang didengung-dengungkan oleh Pak Presiden buat para petani. Soal ini, sudah sejak lama kami mengajukannya kepada pihak Kementerian, dan Alhamdulillah, beberapa waktu yang lalu, ada dari Kementerian yang telah melakukan survei ke sini. Harapan kami, ini bisa terealisasi sehingga kami jadi tenang karena lahan ini sudah memiliki kepastian hukum (legalitas) dari negara," kata Ida dan petani lainnya kepada Kompas.com di Blok Cisoka.

https://bandung.kompas.com/read/2023/07/28/114429878/nasib-petani-perkebunan-teh-margawindu-sumedang-dari-masa-ke-masa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke