Salin Artikel

Cerita Mantan Anak Berhadapan Hukum, Berjuang Lawan Stigma dan Diskriminasi

Harapan yang sudah dipendamnya sejak lama, kini berbuah nyata. Akun telah resmi meletakan beban sebagai anak yang berhadapan dengan hukum (ABH).

Tiga tahun lalu, ia mesti berurusan dengan hukum. Sebuah kondisi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Bahkan, tak pernah tercatat dalam peta pribadinya meraih cita-cita.

Namun, dunia luar yang diidamkannya sejak di dalam tahanan, kini tak seramah seperti yang ia kiranya.

Stigma ABH, dan pelaku kriminal ternyata tak cepat luntur meski sudah setahun kembali ke lingkungan masyarakat.

Di usia yang terbilang muda, Akun mesti merasakan jarak sosial yang tak hanya membebani dia, namun juga keluarganya.

"Sekarang mah beda, sohib (teman) juga enggak kaya dulu," katanya ditemui di Rancaekek, Jumat (25/8/2023).

Kepada Kompas.com, Akun tak keberatan bercerita secara singkat soal kasus hukum yang menjeratnya tiga tahun lalu.

Saat itu, ia masih duduk di kelas 8 Sekolah Menengah Pertama (SMP) di salah satu sekolah swasta di Kabupaten Bandung.

Di pertengahan 2020, saat siswa seusianya tengah mempersiapkan ujian akhir, Akun justru harus mempersiapkan mental untuk merasakan dinginnya dinding sel tahanan.

Dia terlibat kasus pembegalan dengan kekerasan beserta kawan-kawannya diluar lingkungan sekolah. Penganiayaan itu menyebabkan korbannya mengalami luka berat.

"Kasusnya mukulin orang sampai parah (luka berat), tapi enggak sama temen sekolah, ini teman di luar," jelasnya.


Ia mengakui, tergabung dalam salah satu kelompok motor yang kerap berurusan dengan aparat penegak hukum.

Lingkungan serta beban keluarga, membuatnya harus mencari ruang ekspresi. Katanya, kala itu, ia menemukan jati dirinya di kelompok tersebut.

Alkohol hingga obat-obatan, menjadi teman akrabnya selepas menanggalkan seragam sekolah.

Alih-alih sekolah dalam program Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) waktu senjang itu, membuat Akun lepas kendali.

"Waktu itu kan masih Covid-19, belajar juga juga jarang di sekolah. Waktunya banyak main saja, ya kitu we lah (gitu saja) semakin enggak kendali," bebernya.

Kendati tergolong anak yang nakal versi masyarakat, Akun mengaku tak pernah berbuat ulah di lingkungan sekolah.

Pasalnya, kata dia, sekolah banyak memberinya pertolongan terutama dalam sisi pembiayaan.

"Enggak, saya di sekolah termasuk aman, ya kalau main di lingkungan sekolah SMP dulu saya suka main sama yang 'nakal', tapi enggak pernah  sampai bikin masalah. Saya sadar juga banyak dibantu, saya tuh kalau dibilang nakalnya ya di luar," ujar Akun.

Lahir di keluarga pas-pasan, membuat ia harus mencari uang jajan tambahan dari jalur lain.

Selepas ayahnya meninggal pada 2017, kehidupan ekonomi keluarganya semakin merosot.

Idam sang Ayah, kata Akun, tak meninggalkan apa-apa. Ayahnya merupakan satpam di salah satu pabrik di Rancaekek.


Sedangkan, Kaka pertamanya hanya berprofesi sebagai pembuat kandang dan menjual pakan burung. Kakak keduanya, hanya berprofesi sebagai tukang ojek.

Belum lagi keadaan Covid-19 yang membuat roda perekonomian masyarakat di bawah semakin tercekik membuat situasi di rumah tak lagi nyaman dan hanya uang yang membuat kondisi di rumah semakin harmonis.

"Kalau dibilang ya serba butuh, Bapak sudah enggak ada, Ibu di rumah enggak kerja atau usaha, jadi kita bertiga yang cari duit sekarang. Saya dulu juga sekolah cari duit tambahan di luar," bebernya.

Latar belakang hidup yang tidak berjarak dengan garis kemiskinan menyebabkan Akun harus berpikir ekstra untuk mencari biaya tambahan, untuk bekal sekolah.

Lantaran merasa besar di kelompok motornya. Akun memanfaatkan jaringan untuk sekedar mendapatkan rupiah, kala itu ia mengaku sempat menjadi juru parkir.

"Parkir di mini market pernah, terbilang sering. Tapi paling seringnya saya malakin anak sekolah lain, karena itu tadi merasa punya beking kelompok saya, saya manfaatin itu," tuturnya.

Sesuatu yang dianggapnya menyenangkan serta menjadi solusi kala itu, justru membuatnya harus berurusan dengan hukum.

Akun terlibat dalam kasus pembegalan dengan kekerasan yang menyebabkan ia harus mendekap di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandung selama 3 tahun 6 bulan.

"Dulu juga melakukan itu karena terpaksa, butuh uang buat yang di rumah. Tapi enggak tahu harus gimana, akhirnya itu kriminal jatuhnya," terang dia.

Akun tak berkenan menceritakan bagaimana kehidupan selama tiga tahun menjalani masa kurungan.

Ia hanya menyebut, tiga tahun membuat dirinya trauma dan tak mau lagi berurusan dengan hukum.

Ditanya terkait fasilitas pendidikan dan konseling, Akun mengatakan mengikuti pendidikan Paket C (setara SMA).

"Lucunya, selama tiga tahun saya ya katakanlah lulusan di dalem (istilah lain penyebutan penjara), enggak mau lagi, cukup," katanya.

Diskriminasi dan stigma yang melekat

Usai menjalani masa tahanan, Akun mengaku tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya yakin, situasi dan kondisi di lingkungannya akan seperti semula. Sama seperti dulu.

Ia hanya memupuk mental agar bisa bersikap biasa saja tanpa memikirkan kembali apa yang telah dijalaninya. Pun dengan pikiran orang-orang, ia berharap tak ada perubahan sedikit pun.

"Atoh atuh, kabayang geus lila (Senang sekali, hal yang sudah dibayangkan sejak lama) tapi, ternyata enggak mudah juga, berubah semuanya," kata dia.


Namun, harapannya selama di dalam tahanan tak seperti yang ia jalani selepas keluar.

Masyarakat seolah memandangnya sebelah mata, bahkan ada pula yang menutup mata atas kepulangannya.

Lingkungan yang diidamkannya itu, kini tak menerimanya dia sepenuhnya.

Sebutan "residivis", pembuat onar, atau mantan kriminal seolah menjadi papan nama yang menggantung di lehernya.

"Enggak bisa ngapa-ngapain, kalau sudah kaya gini," bebernya.

Padahal, kata dia, ia sudah berjanji ingin berubah dan tak berniat untuk menjenguk masa lalunya.

Tapi pagar stigma dan gerbang diskriminasi menjadi tembok besar yang menghalangi niatnya.

Akun mengungkapkan, selama satu tahun banyak perubahan besar yang dirasakannya, terutama perlakuan masyarakat kepada dia.

"Kalau soal dibedakan (diskriminasi) sama masyarakat mah, saya enggak diajak jadi panitia Agustusan, enggak diajak kalau ada pengajian atau kegiatan di RT atau RW, intinya kepanitian di kegiatan besar di masyarakat enggak pernah lagi dilibatkan, jauh waktu SMP dulu, saya pasti dilibatkan dan diminta tenaganya, karena Bapak udah meninggal dan kakak semua kerja," ujarnya.

Tak hanya itu, bahkan ada beberapa pengurus desa, kata dia, yang sempat memberhentikan bantuan sosial dari Pemerintah Kabupaten Bandung (Pemkab) untuk ibunya.

"Pernah tuh, waktu itu bantuan untuk ibu saya enggak cair, hanya karena saya mantan residivis, kan enggak adil. Harusnya ke saya saja, jangan ke ibu saya," kata dia sambil menahan air mata.

Tidak berhenti di situ, teman-teman sejawatnya di lingkungan rumah hingga sekolah SMP dulu terkesan membangun jarak dengannya.

Kondisi itu seperti pil pahit yang mesti ditelannya usai trauma masa tahanan.

Harapannya untuk kembali mengabdikan diri di lingkungan masyarakat harus terkikis pelan-pelan.

"Tadinya mikir bisa diterima dengan mudah, tahunya enggak gampang juga," kata Akun.

Saat ini, Akun kembali  menjadi juru parkir di salah satu mini market yang jauh dari tempat tinggalnya.

Ia mengatakan, tawaran bekerja menjadi juru parkir datang dari temannya satu sel dulu.

Paruh waktu, ia bekerja sebagai seorang tukang sablon, itu pun tawaran dari rekam sesama rekan satu kamar dulu.

"Sekarang kembali lagi jadi tukang parkir dari temen di dalem, dari pagi sampai siang, lanjut nyablon sama dari teman di dalam juga. Kalau temen SMP atau lingkungan rumah mah enggak ada, sempat sih ada tawaran tapi ya kayanya cuma basa-basi saja," kata dia.


Akun menuturkan, keahlian sablon didapatkannya ketika sedang berada di tahanan.

Meski fasilitas belajar sablon merupakan bagian dari perhatian negara kepadanya.

Namun, setelah keluar dari tahanan bahkan hingga hari ini tawaran pekerjaan dari pemerintah tak kunjung datang.

"Enggak pernah ada, ya udah keluar ya keluar aja. Kalau kerja dapet dikasih dari teman waktu di dalam iya, kalau dari pemerintah belum ada, kemarin aja bantuan buat Ibu saya yang jelas bukan yang menjalani hukum enggak di cariin, apalagi ke saya enggak ada perhatiannya," ujar dia.

Diskriminasi tak hanya datang dari orang luar. Keluarga terdekat pun kerap melakukannya. Hal itu seolah melegitimasi bahwa Akun seperti tak diperbolehkan lagi hidup layak, paling tidak diterima di kalangan masyarakat.

"Kalau saudara ya ada saja, kayanya kalau ketemu terus membicarakan yang sudah-sudah, kadang itu bikin saya down juga. Padahal, setahun ini saya enggak ngapa-ngapain, sudah fokus nyari duit buat keluarga," tambahnya.

Akun menyebut, pemerintah seharusnya memberikan bimbingan konseling lanjutan pada ABH.

Pasalnya, ia merasakan sendiri bagaimana hidup berdampingan dengan stigma dan harus berdamai dengan perilaku diskriminatif, dalam jangka waktu yang lama.

Bebas dari tahanan, kata dia, pilihan hidupnya hanya dua, kembali ke masa lalu atau hidup berdampingan dengan stigma dan diskriminasi.

Meski berat ia memilih pilihan kedua, pasalnya pihak-pihak terkait tak memberikan pilihan lain.

Sekalipun, lanjut dia, kawan-kawan dari kelompoknya memintanya untuk kembali bergabung dan memberi peluang kembali, ia tetap merelakan dirinya berteman dengan kondisi lingkungan yang diskriminatif.

"Lain pilihan nu gampang (bukan pilihan yang gampang) tapi saya lebih milik gini saja, dari pada balik lagi ke yang dulu tapi berisiko masuk tahanan lagi," ujar dia.

Menata kembali cita-cita 

Bukan hanya stigma dan diskriminasi yang harus ia telan pelan-pelan. Upayanya untuk mewujudkan cita-cita sebagai seorang desain grafis profesional perlahan luntur. 

"Kalau keahlian ya sebetulnya saya punya kemampuan menggambar tangan baik lah. Dulu mah cita-cita pengen jadi pelukis, kalau sekarang mungkin desainer, tapi gimana kondisi kaya gini susah juga," kata dia.

Meski mengaku masih memelihara harapan tersebut, ia mengatakan tak ingin gegabah, apa yang ada hari ini , kata dia, dijalani untuk bisa bertahan hidup sehari-hari.

"Kalau ditanya masih pengen ya masih lah, salah satu kenapa saya mau jadi tukang sablon sekarang sekalipun jarak dan bayaran enggak gede, saya berharap masih ada gitu peluang," beber dia.

Namun untuk saat ini, kata dia, menutupi kebutuhan sehari-hari sambil kembali merakit mimpinya seperti sediakala lebih penting.

Pasalnya, ia sadar tak ada bantuan apapun dari orang lain atau pemerintah bagi masyarakat sepertinya yang pernah tersandung atau berurusan dengan hukum.

"Bukan menafikan, tapi memang enggak ada bantuan apa-apa, kemudahan pekerjaan, atau apa lah, enggak ada, saya murni cari sendiri," imbuhnya.


Saling menguatkan 

Iwan (25) kakak kedua dari Akun mengatakan, usai adik bungsunya keluar dari tahanan ia hanya berupaya menguatkan sang adik.

Ia mengaku kerap berdiskusi dengan kaka pertama dan ibunya soal nasib sang adik pasca keluar dari tahanan.

Tak hanya itu, Iwan mengungkapkan jika diskriminasi kerap dirasakan keluarganya saat adik bungsunya menjalani masa tahanan.

"Kalau mau bilang kita juga sama dibedakan, ada aja pandangan negatif ke kita mah. Tapi mau gimana juga itu adik saya, enggak mungkin saya juga menyalahkan. Yang penting dia mau taubat," kata Iwan ditemui di lokasi yang sama.

Iwan menjelaskan, kondisi sang adik ketika baru saja keluar. Akun yang terbilang cukup rama karena pergaulan di luar yang sangat intens, kata Iwan, mendadak berubah drastis.

"Kalau diceritain kasihan juga, biasanya anaknya sering sapa sama orang lain sekarang enggak, awal-awal dia enggak mau keluar. Sekarang saya bersyukur dia dapet pekerjaan sekalipun kecil paling tidak ada aktivitas dan enggak membawa dia ke dunia yang dulu," jelas Iwan.

Dia mengakui jika sampai saat ini, masih saja ada warga masyarakat yang menganggap adiknya seorang kriminal.

"Kalau ditanya sekarang masih kaya gitu situasinya, ya jelas. Karena ini sudah setahun lah adik saya keluar tapi tetap saja seperti itu, ada lah selentingan mah. Kalau mau diambil sakit hati, saya sakit hati, tapi sudah lah," beber Iwan.

Kini baik Iwan dan Akun serta anggota keluarga yang lain hanya bisa saling menguatkan agar bisa bertahan di tengah persoalan hidup termasuk serangan stigma dan diskriminasi. 

Saat ini, bagi Akun terwujudnya rasa keadilan bukan bukan lagi soal kesejahteraan ekonomi.

Diakui keberadaanya di tengah masyarakat serta mendapatkan hak hidup sudah sangat disyukuri.

"Sekarang mah jalani saja, harapan terus dijaga, dan tidak lagi terjerumus udah itu saja," kata Akun.

https://bandung.kompas.com/read/2023/08/25/133216978/cerita-mantan-anak-berhadapan-hukum-berjuang-lawan-stigma-dan-diskriminasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke