Salin Artikel

Kisah Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Cirebon, Rela Nyawa Terancam demi ABH

KUNINGAN, KOMPAS.com – Seorang Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas I Cirebon Jawa Barat, menatap penuh optimis.

Di usianya yang sudah lebih dari setengah abad, dia masih sangat bersemangat. Baginya, menjadi profesi PK bukanlah sekedar kerja, melainkan panggilan jiwa. Di jalan ini, dia bersama PK lainnya berusaha memperjuangkan masa depan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) agar lebih baik.

Dialah Ari Susanto (51), seorang Pembimbing Kemasyarakatan Tenaga Ahli Muda yang bekerja di Bapas Kelas I Cirebon. Pengalamannya di dunia pendampingan anak melatihnya matang dalam bersikap, menangani tiap kasus yang melibatkan ABH.

Menurutnya, bekerja menjadi PK sangat unik. Di mana pendampingan PK menggunakan ilmu sosial untuk kepentingan hukum dan penegakan hukum dengan memperhatikan aspek sosial. Dua aspek yang menjadi satu itu membuat hukum untuk ABH tidak hitam putih.

“Pada dasarnya, orang baik itu bukan orang yang tidak pernah berbuat salah. Semua orang pasti pernah berbuat salah. Tapi orang yang baik itu, ketika berbuat salah, dia akhirnya mengakui kesalahanya, siap menanggung konsekuensi atas kesalahannya, dan dia siap memperbaiki ke depan. Itu fungsi bapas. Aspek kebaikan,” kata Ari memulai wawancara pada Kamis (24/8/2023).

Pria yang sudah memiliki empat orang anak ini mulai bergabung di Bapas sejak 1992. Dia berproses menjadi pegawai biasa, dan mulai menjadi seorang Pembimbing Kemasyarakatan di tahun 1999 dengan ikut kursus dan pendidikan. Usai lulus, Ari semakin tertarik dan dipercaya menjadi PK sejak tahun 2001.

Di tahun inilah, Ari mulai mengembara menjalani tugasnya mendampingi ABH yang tak hanya tinggal di wilayah III Cirebon (Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan), melainkan hingga ke Sumedang, Tasik, Pangandara, dan Ciamis.

“Pendampingan ABH sampai ke sana. Inilah suka dukanya. Kalau ada kasus, ya sana, ke polsek-polsek, polres, kejaksaan, pengadilan. Naik motor. Kadang berangkat subuh, pulang malam, ada yang ngikutin. Saya berhenti, dia berhenti. Ga taunya sama-sama takut begal, akhirnya pulang bareng,” kata Ari sambil menertawakan pengalamannya.

Dalam perjalanan yang memakan waktu dan jarak tempuh yang tidak dekat itu, tidak sekali dia tiba-tiba diberhentikan di tengah jalan. Ari ditodong senjata, diminta uang dan barang-barang. Tak ada solusi lain, kecuali memberikan uang kepada mereka, agar tetap dapat selamat.

Suka duka yang kian beragam justru membuat Ari semakin mencintai pekerjaanya. Baginya Bapas adalah profesi yang membutuhkan kemampuan intelektual untuk mendampingi ABH dari mulai pra-ajudikasi, ajudikasi, hingga post-ajudikasi.

“Kayaknya, Bapas satu-satunya penegak hukum yang terlibat dari awal hingga akhir. Kita lihat, penyidik, setelah diserahkan ke penuntut, tugas penyidik selesai. Penuntut, ke pengadilan, setelah putusan, diserahkan ke lapas. Lapas di akhir. Tapi Bapas itu dari awal, sampai akhir sampai keluar dari Bapas kita bina dengan program,” ungkapnya.

Atas dasar itu, bagi Ari, menjadi Bapas membutuhkan banyak hal, yakni intelektual, stamina fisik, mental, memahami aspek sosial, kultur, pendidikan, psikologi, dan semuanya harus digali.

Dia juga menyebut, dengan melihat semua latar belakang itu, hukum kepada ABH tidaklah hitam putih, melainkan hal yang paling tepat pada tiap kasusnya.

Oleh karena tugas yang berat itu, Ari mengkritisi pemberian waktu tugas pembuatan Litmas kepada PK yang hanya 3x24 jam sejak mendapat laporan awal, analisa, hingga mengeluarkan bahan rekomendasi.

Menurutnya, waktu 3x24 jam adalah waktu yang sangat singkat bagi seorang PK untuk meneliti kondisi ABH hingga masuk ke lingkungan keluarganya, serta lingkungan lainya.

“Ini yang sering saya kritisi dalam beberapa pertemuan, undang-undang ini sepertinya hasil direvisi. Bagaimana kita menghasilkan kesimpulan yang pas, betul betul mengacu pada yang terbaik bagi anak, belum lagi dengan penolakan warga, keluarga ABH menutup diri, dan lainya,” tambah Ari.

Contohnya di Kabupaten Majalengka, kasus perbuatan cabul yang dilakukan anak di bawah usia 12 tahun, dengan korban tiga orang yang masing-masing berusia 4, 3 dan 7 tahun. Terjadi friksi antara dua keluarga yang bertetangga, sehingga butuh waktu dan proses untuk mendinginkan suasana semua pihak.

Masih di Kabupaten yang sama, pelaku ABH berusia 11 tahun, sedangkan korban berusia 5 tahun. Kedua keluarga menutup diri dan menolak, sementara PK harus bisa menjembatani kepentingan terbaik bagi kedua anak.

Ada satu momen di mana tidak ada tanggal merah dalam hidupnya saat itu. Ari mendapatkan perintah untuk segera menemui tim polres terkait kasus anak menganiaya anak dengan menempelkan knalpot motor ke wajah tahun 2021 lalu.

“Saya kondisi saat itu sedang libur, ditelepon oleh pimpinan, diminta segera menghadap Kapolres Cirebon Kota karena berkenaan dengan ABH. Akhirnya karena pulang agak jauh, saya langsung ke Polres dengan pakaian seadanya, bukan pakaian kerja,” tambah Ari.

Ari menjelaskan, kasus saat itu, adalah seorang pelaku anak berusia 15 tahun menganiaya korban anak berusia 9 tahun. Kekerasan terhadap anak itu mengakibatkan luka bakar.

Hasil visum korban ada, namun pelaku sampai akhir pemeriksaan tetap tidak pernah mengakui melakukan hal itu.

“Tetapi pelaku bersikeras, tidak pernah mengakui telah melakukan penganiayaan itu. Dalam penggalian data, ternyata sudah ada konflik antara dua keluarga tersebut,” tambah Ari. Ari berusaha mencari cara lain dengan meminta aparat desa memberikan pengertian kepada keluarga anak pelaku.

“Ketika saya baru keluar dari desa, tiba-tiba beberapa rombongan motor datang, gerung-gerung, wah kaget juga saya. Daerah sana kan keras. Nyamper ke saya, ada apa pak? bapak mau apa?,” kata rombongan itu kepada Ari sambil mengulang cerita.

Mereka, kata Ari, sudah pasang wajah menyeramkan, dan jumlahnya cukup banyak. Ari merasa secara mental tertekan, namun dia tetap berusaha memberikan informasi ke mereka, hingga seluruhnya menyadari tugas-tugas PK.

Menurutnya, seorang PK harus berpikir cepat dalam kondisi kondisi terdesak. Karena kalau salah langkah, upaya membuat Litmas malah berujung konflik. Kecepatan dalam bertindak bagi PK juga sangat penting, ini skill, adanya di jam terbang, bukan sekedar knowledge.

Namun, karena keluarga tertutup, upaya mendapatkan banyak keterangan kembali batal, termasuk upaya diversi yang dijembatani oleh perangkat desa, aparat, dan lainnya. Dan sang pelaku anak tetap tidak mau mengakui perbuatanya, hingga akhirnya mendapatkan putusan hakim.

Ari tidak menyerah, meski akhirnya, sang anak mendapatkan hukuman dan dihukum di lapas. Namun, ada momen dramatis, saat mendampingi ABH tersebut setelah beberapa waktu di lapas anak. Sang ABH tiba-tiba menangis dan mengakui semua perbuatanya.

Ari kemudian menggunakan program asimilasi agar ABH dapat menjalani kehidupan normal seperti sebelumnya. Dia menghabiskan waktu enam hinga tujuh bulan untuk mendampingi ABH ini, yang tidak hanya satu orang diri. Karena bagi Ari, orang baik adalah yang mau mengakui kesalahannya, menanggung resiko yang telah dibuatnya, serta berjanji tidak melakukanya lagi.

https://bandung.kompas.com/read/2023/08/29/084351678/kisah-pembimbing-kemasyarakatan-bapas-cirebon-rela-nyawa-terancam-demi-abh

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke