Salin Artikel

5 Tahun Kepemimpinan Ridwan Kamil, Kemiskinan di Jabar ibarat Menutup Jurang, tetapi Tak Rata

BANDUNG, KOMPAS.com – Masa jabatan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil akan berakhir 5 September 2023. Pada kepemimpinannya ini, angka kemiskinan di Jabar bisa ditekan.

Hal itu disampaikan Ridwan Kamil belum lama ini. Ia mengatakan, selama setahun terakhir, angka kemiskinan di Jabar turun 182 ribu orang.

Apabila dibagi ke dalam 52 minggu, maka setiap pekan, 3.500 warga miskin naik status menjadi lebih sejahtera.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin di Jawa Barat mengalami penurunan pada Maret 2023. Pada bulan tersebut, persentase penduduk miskin di Jabar ada di angka 7,26 persen atau 3,89 juta orang.

BPS mencatat, jika persentase penduduk miskin pada Maret 2023 tersebut menurun 0,36 persen terhadap September 2022 dan turun sebesar 0,44 persen terhadap Maret 2022.

Jumlah penduduk miskin pada Maret 2023 sebesar 3,89 juta orang, menurun 165,02 ribu orang terhadap September 2022 dan turun 182,39 ribu orang terhadap Maret 2022.

Secara umum, periode Maret 2017-Maret 2023, tingkat kemiskinan di Jawa Barat menunjukkan tren menurun baik dari sisi jumlah maupun persentasenya.

Akan tetapi, sejak Maret 2020 sampai September 2020, terjadi kenaikan kemiskinan yang disebabkan pandemi Covid-19. Kemiskinan kemudian turun kembali pada Maret 2021-Maret 2023.

Meski terbilang berhasil, Pengamat Ekonomi Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung, Setia Mulyawan menyebut, di masa kepemimpinan Ridwan Kamil, beberapa wilayah di Jawa Barat sempat terindikasi jatuh ke level kemiskinan ekstrem.

"Angka kemiskinan selama kepemimpinan Ridwan Kami itu kan sempat ada indikasi bahwa 17 daerah di Jawa Barat itu masuk pada angka kemiskinan ekstrem ya," katanya, Jumat (1/9/2023).

Di satu sisi, kata Setia, pemerintahan Ridwan Kamil berhasil membangun daya topang indikator kemiskinan itu sendiri. Sehingga menyebabkan angka kemiskinan relatif lebih turun.

Daya topang kemiskinan, lanjut dia, berada pada Bantuan Sosial (Bansos). Menurutnya, pemerintahan Jabar di bawah Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum selama lima tahun berupaya memperbaiki data masyarakat penerima bantuan.

"Jadi ada perbaikan data pada masyarakat penerima bantuan sosial sehingga efektivitas dari penerima sosial sehingga bisa mendongkrak angka kemiskinan, tapi tentu karena program ini tidak seterusnya di jalankan," ujar dia.

Namun, Pemerintahan Emil, tak memikirkan dampak dari Bansos. Bansos pada level tertentu akan berdampak tidak baik bagi produktivitas masyarakat.

Pasalnya, masyarakat akan terus dimanjakan oleh pendapatan yang diberikan pemerintah.

"Sehingga ke depan itu ya perlu ditopang oleh sektor real yang pertumbuhan itu ditopang oleh kemandirian masyarakat," ucap Setia.

Setia mengatakan, nilai Investasi di Jawa Barat merupakan yang tertinggi secara nasional. Seharusnya, disamping menjalankan program bersifat Bansos, Investasi yang masuk pun harus dioptimalkan.

"Kalau program mungkin banyak, OPOP salah satunya, termasuk investasi yang masuk ke Jawa Barat harus dioptimalkan sehingga berdampak secara ekonomi terhadap perekonomian Jawa Barat," beber dia.

4 Juta Rakyat Jabar Masih Menganggur

Sementara, anggota DPRD Provinsi Jawa Barat Komis IV dari Partai Gerindra Daddy Rohanady membantah keberhasilan Pemerintah Provinsi Jawa Barat menurunkan angka kemiskinan selama satu tahun terkahir.

Daddy mengatakan, data terakhir angka kemiskinan di Jawa Barat masih 8,31 persen.

"Saya kira begini, angka terkahir sampai tahun 2022 ini kan nanti cek data terakhirnya, kalau kata Tim nya Pak Gubernur memang katanya sampai bulan Februari turun agak besar, tapi data yang saya pakai itu sampai akhir 2022 dan angkanya Jabar masih 8,31 persen, atau kira-kira 4 juta rakyat Jawa Barat masih tingkat pengangguran terbuka itu PR nya," ujarnya.

Menurutnya, 4 juta jumlah pengangguran terbuka dari kurang lebih 50 jumlah penduduk Jawa Barat merupakan persoalan yang mesti diperhatikan.

"Cuma yang jadi masalah adalah dengan jumlah penduduk kurang lebih 50 juta penduduk itu 8,32 persennya jadi 4 juta itu kan jadi soal," kata Daddy.

Ia menyebut, jangan sampai pemerintah Jawa Barat membandingkan dengan wilayah lain seperti misalnya Yogyakarta yang jumlah penduduknya relatif lebih kecil.

"Kalau hitungan-hitungannya 5 persen, barangkali sepanjang masa pemerintahan, menurut saya bisa jadi, karena sisa persentasenya itu di tahun 2022. Kalau misalkan dibandingkan Yogyakarta, memang persentasenya tinggi tapikan jumlah penduduknya kecil. Kalau optimistisnya iya betul kita kecil, tapi untuk jumlah kita relatif lebih tinggi," jelas dia.

Tak hanya itu, Daddy menilai jumlah kemiskinan di Jabar dalam setahun terakhir turun 182 ribu orang tak sesuai dengan kondisi di lapangan.

"Saya sampai hari ini masih mengurusi orang yang anaknya sekolah tapi masih punya tunggakan, 21 juta, artinya menunjukan itu masih ada. 7,89 persen penduduk miskin kita ya hampir mendekat 4 juta juga," ungkap dia.

Ketidaksinkronan soal kemiskinan lainnya, kata Daddy, ada pada klaim yang menyebut 60 persen penduduk Jawa Barat adalah petani.

Ia menjelaskan, sampai saat ini nilai tukar petani masih di angka Rp 99,75. Itu artinya, di Jawa Barat menjadi petani bukanlah pekerjaan yang menjanjikan.

"Artinya apa menjadi petani belum menjadi sesuatu yang menjanjikan karena orang keluarkan Rp 100 baliknya cuma Rp 99,75 itu kan tandanya belum menjadi pilihan pekerjaan yang menjanjikan," ungkap dia.

Menurutnya persoalan kemiskinan tidak bisa hanya ditutup dengan data saja. Pemerintah Provinsi Jabar perlu meningkatkan kinerja dengan tujuan mensejahterakan masyarakat Jawa Barat.

"Persentase penduduk miskin itu makin persentasenya bisa ditekan, makin sejahtera, kan logika sederhana begitu. Sekali lagi kalau ditanya ada yang sudah dilakukan, ya betul ada, tapi ada PR berikutnya untuk lebih giat lagi bekerja mensejahterakan masyarakat Jawa Barat, karena kalau menaikan dengan persentase Jawa Barat yang lebih kecil otomatis ya masa kita membiarkan 4 juta anak bangsa Jawa Barat terus dibilang masyarakat pengangguran terbuka itu, itu PR," bebernya.

Beban Kepemimpinan Selanjutnya

Meski Gubernur Ridwan Kamil mengklaim sudah banyak yang ditangani. Daddy lebih senang menyebutkan sudah ada yang dikerjakan, namun masih meninggalkan soal.

"Ibarat kita mau mengurug jurang supaya jadi rata, ini belum rata benar masih ada ceruk yang harus kita urug lagi," tuturnya.

"Kalau dibilang ada peningkatan barangkali benar ada peningkatan, saya yakin ada peningkatan, hanya saja, PR buat kita dengan jumlah penduduk yang besar itu naik setengah persen saja itu bertambahnya banyak sekali," ungkapnya.

Daddy mengungkapkan, dengan realita di lapangan tentang kemiskinan yang masih jauh berbanding data akan menjadi beban bagi pemerintahan selanjutnya.

Melihat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Barat yang masih berada di peringkat 10 nasional, menjadi satu persoalan kepemimpinan di kemudian hari.

"Ini menjadi PR buat siapapun gubernurnya, siapapun DPRD-nya yang akan datang. Ini selalu saya sampaikan," tutur dia.

Salah satu warga Bungbulang, Kabupaten Garut, Jabar, Siti Nurhasanah mengatakan, bantuan terkadang ia terima. Namun ada kalanya ia tidak menerima bantuan.

Ibu dari 5 anak ini tinggal di rumah panggung yang sudah lapuk. Untuk menjalankan kehidupannya, ia berjualan keliling.

“Abdi mah saha wae ge pimpinanna, nu penting tiasa tuang (saya itu siapapun pemimpinnya, yang penting bisa makan),” pungkasnya.

https://bandung.kompas.com/read/2023/09/04/050300478/5-tahun-kepemimpinan-ridwan-kamil-kemiskinan-di-jabar-ibarat-menutup-jurang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke