BANDUNG BARAT, KOMPAS.com - Provinsi Jawa Barat (Jabar) menjadi primadona bagi perusahaan baik Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), hal itu terbukti dari tingginya nilai investasi yang ditanam di Jabar.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, sepanjang tahun 2022 angka investasi yang terserap di Jawa Barat mencapai Rp174,6 triliun, angka itu terhitung sebagai angka investasi tertinggi nasional dengan persentase 14,46 persen dari total realisasi investasi nasional.
Di bawah Jabar, DKI Jakarta mengikuti dengan menempati peringkat kedua dengan realisasi investasi Rp143 triliun, selanjutnya di peringkat ketiga ada Sulawesi Tengah Rp111,2 triliun.
Kepala DPMPTSP Jabar Nining Yuliastiani menyatakan, selama kepemimpinan pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum pada periode tahun 2018 sampai 2022 capaian realisasi investasi secara konsisten melampaui target yang ditetapkan BKPM dan berturut-turut menempati peringkat satu nasional.
DPMPTSP memprediksi, angka investasi di Jabar akan semakin moncer pada 2023 ini. Hal itu dilihat dari realisasi investasi di Jabar yang sudah mencapai Rp103,6 triliun atau separuh lebih dari target investasi yang dicanangkan meski baru setengah tahun 2023.
"Melihat perkembangan pemulihan perekonomian Jabar tentunya kami optimis tahun 2023 capaian realisasi dapat kembali memenuhi target nasional dan mempertahankan reputasi Jabar dengan capaian realisasi investasi tertinggi di Indonesia," ujar Nining beberapa waktu lalu.
Meski mampu menyerap investasi dengan persentase tertinggi di Indonesia, namun Jabar menempati posisi kedua setelah Sulawesi Tengah pada penyerapan investasi asing dengan persentase penanaman modal asing (PMA) sebesar 14,3 persen dan berada di ranking kedua setelah DKI Jakarta pada Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dengan angka 14,6 persen.
Angka investasi yang tinggi itu diklaim menjadi capaian Pemerintah Provinsi Jawa Barat di bawah kepemimpinan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum selama 1 periode.
Investasi tinggi tapi tak mengurangi pengangguran
Jabar memang menjadi primadona bagi investor, namun tingginya investasi nyatanya tidak mengubah angka pengangguran secara signifikan.
BPS merilis rata-rata angka tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Jawa Barat pada tahun 2023 sebanyak 7,89 persen atau 2,03 juta masyarakat Jabar nganggur. Angka tersebut turun 0,07 persen dibanding Agustus 2021 sebesar 8,35 persen atau 2,07 juta penganggur.
Dengan jumlah pengangguran sebanyak itu, Jawa Barat tercatat sebagai provinsi dengan pengangguran terbanyak nomor dua setelah Provinsi Banten dengan angka 7,97 persen pada tahun 2023.
"Dari data itu, apakah betul investasi di Jawa Barat pekerjanya orang Jawa Barat. Jangan sampai investasinya ada tapi yang menikmati bukan warga Jawa Barat," ujar Ketua Umum DPD Konfederasi Serikat pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jawa Barat Roy Jinto saat dihubungi, Selasa (5/9/2023).
Investasi yang kini digadang-gadangkan nyatanya belum menjawab persoalan pengangguran di Jabar.
Selama 5 tahun Kang Emil menjabat Gubernur belum terlihat penyerapan tenaga kerja secara signifiksasi.
"Boleh dibuka datanya di BPS, selama pak Ridwan Kamil menjabat angka pengangguran Jawa Barat selalu tinggi, selalu berada di urutan tiga besar nasional," kata Roy.
Data tersebut menjadi ukuran mengenai gagal atau berhasilnya suatu kepala daerah dalam memecahkan persoalan kesejahteraan sosial. Selama 5 tahun ini faktanya investasi di Jawa Barat menempati posisi tertinggi namun tidak mengurangi jumlah pengangguran.
"Di sisi lain Jawa Barat adalah wilayah Industri, wilayah yang mendapatkan investasi terbesar, tapi penganggurannya tertinggi yakni nomor dua di Indonesia. Maka tentu perlu diperhatikan dengan masuknya investasi, siapa yang bekerja di Jawa Barat," tutur Roy.
Didominasi oleh PMDN
Secara teori, minimnya penyerapan tenaga kerja disebabkan karena industri hanya menyerap sedikit pekerja. Jika nilai investasinya tinggi, maka penyerapan tenaga kerja juga besar.
Pakar Ekonomi Unpad, Bayu Kharisma mengatakan, penanaman modal di Jawa Barat saat ii masih didominasi oleh PMDN, tercatat Kabupaten Bekasi menempati posisi ketiga secara nasional pada sektor industri tersebut.
"Nomor satu ada Surabaya, kedua Jakarta Selatan, dan Selanjutnya Bekasi, itu yang PMDN. Sementara PMA, Jawa Barat menempati posisi kelima secara nasional dengan urutan pertama yakni Sulawesi Tengah," ungkap Bayu.
Namun, jika jumlah PMDN dan PMA di Jawa Barat disatukan maka angka investasi Jawa Barat terhitung paling tinggi dengan realisasi sebesar Rp174,6 triliun per Agustus tahun 2022 lalu.
Menurutnya, ada daerah dengan industri padat modal yang dominan, ada pula daerah yang banyak menyerap tenaga kerja untuk industri padat karya.
"Seperti Bekasi, Subang, Purwakarta, industrinya padat karya sehingga menyerap tenaga kerja cukup besar. Tapi kalau Kabupaten Karawang sebaliknya, di sana lebih didominasi oleh industri padat modal. Sehingga di Karawang tidak banyak terserap tenaga kerja," kata Bayu.
Oleh karena itu, BPS menunjukkan data pengurangan pengangguran di Jawa Barat bergerak tipis-tipis meski nilai investasi cukup fantastis. Meski ada pengurangan angka pengangguran, pada 2023 ini Jawa Barat menduduki peringkat kedua dengan jumlah pengangguran terbesar di Indonesia.
Alasan Jawa Barat jadi Primadona Investor
Getolnya pembangunan infrastruktur di Jawa Barat cukup menggoda investor untuk emnanamkan modalnya. Akses yang mudah dan cepat menjadi pelicin perputaran ekonomi.
Setidaknya ada 9 Tol baru dibangun di era Ridwan Kamil, beroperasinya Bandara Ketajati, hadirnya Kereta Cepat Jakarta-Bandung, dan wacana Segitiga Rebana di utara Jawa Barat lebih dari cukup untuk merayu investor.
"Pertama yang dilihat investor adalah infrastrukturnya. Proyek-proyek infrastruktur ini sebetulnya adalah akses untuk memudahkan menjalankan kegiatan industri," papar Bayu.
Selain infrastruktur yang memadai, sumber daya manusia (SDM) yang produktif juga menjadi poin bagi investor untuk menanamkan modalnya di Jawa Barat.
"Di kita ini SDMnya sangat produktif. Semakin produktif maka upahnya akan semakin mahal. Hemat saya, investor tidak begitu memandang upah kerja minimum sebagai perhitungan penanaman modal, tapi menghitung dari seberapa produktif SDMnya," jelas Bayu.
Poin selanjutnya yang cukup merayu investor mau menanamkan modal di Jawa Barat yakni dengan mudahnya pelayanan perizinan. Kemudahan perizinan ini terkadang tidak mereka dapatkan di daerah lain.
"Alasan ketiga, kemudahan dalam mengurusi perizinan. Ini yang menurut saya jadi daya tarik investor juga. Pemerintahnya mendukung, disambut dengan infrastruktur yang memudahkan akses dan SDM yang produktif," tandasnya.
https://bandung.kompas.com/read/2023/09/05/145632978/5-tahun-jabar-juara-investasi-tetapi-pengangguran-masih-tinggi