Salin Artikel

Kisah Pedagang Baju di Bandung "Babak Belur" oleh "Marketplace", Tutup Kios dan Jual Murah

BANDUNG, KOMPAS.com - Sudah berbulan-bulan para pedagang pakaian di Pasar Tradisional Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, mengeluhkan sepinya pembeli.

Bahkan, tak sedikit dari mereka yang menutup kiosnya. Mereka beralih berdagang sayuran atau yang lainnya.

Ria Kartika Dewi (28) salah seorang pedagang pakaian anak dan tas mengatakan, kondisi tersebut sudah ia rasakan sejak awal 2023.

Sejak saat itu, kondisi pasar lebih sepi dari biasanya. Bahkan, barang-barang yang  dipajang, banyak yang tidak terjual.

"Kalau saya rasa sepi mulai dari awal tahun, memang enggak drastis penurunan, yang paling terasa ya sekarang," katanya ditemui di kiosnya, Rabu (20/9/2023).

Biasanya, dalam jangka satu bulan, suplai barang baik pakaian anak atau tas datang untuk kembali menawarkan produk baru.

Namun sudah hampir tiga bulan ia terpaksa menunda suplai barang, lantaran barang yang sebelumnya, masih belum terjual.

Ia menjelaskan, satu kali belanja barang baru untuk dijual bisa mencapai Rp 5 juta.

"Sekarang saya udah beberapa kali minta ditunda, karena kan yang barang lama belum terjual," tuturnya.

Sepinya pembeli yang datang, imbas dari lapak dagang online atau marketplace. Ia mengatakan, perbandingan harga di marketplace sangat jauh dan menjatuhkan harga pedagang konvensional.

"Sekarang berapa banyak tuh marketplace, terus harganya juga murah banget, apalagi TikTok," ujarnya.

Selama berbulan-bulan, ia kehilangan omzet yang cukup besar. Biasanya dalam satu bulan ia bisa meraup keuntungan Rp 12 juta.

"Kalau ditanya hilang berapa persen, kayanya banyak banget berlipat-lipat," tuturnya.

Kondisi pasar yang sepi, memperlihatkan bagaimana pedagang konvensional babak belur oleh pedagang online.

Bagaimana tidak, saat ini, dalam sehari dirinya hanya bisa mendapatkan uang Rp 250 ribu.

"Memang beda-beda, kadang ada yang sehari dapet Rp 250 ribu, kadang dapet Rp 500 ribu, tergantung, tapi angka segitu kecil dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, ini enggak nutup," jelas dia.

Pantauan di lapangan, toko milik Ria bisa dikatakan memiliki lokasi yang strategis. Toko miliknya berada di koridor kedua dari pintu masuk pasar.

Berbagai jenis pakaian anak berjejer rapi. Pun dengan tas anak dan dewasa yang dijualnya, sejak pagi hingga siang hari masih tertata seperti sediakala, seolah tak tersentuh pembeli.

Sepinya kios, terlihat juga dari jumlah plastik dan keranjang yang kerap digunakan untuk membungkus barang terjual. Tak terlihat satu pun yang diambilnya untuk membungkus barang.

"Kondisinya kaya gini, ini semua itu barang lama, belum ngambil barang yang baru karena sepi, siang tadi saya dapet penglaris Rp 75 ribu dan sudah dibayarin untuk logistik jaga, kalau enggak ya ngirit aja," beber dia. 

Toko Tutup dan Barang Dijual Murah 

Atin Ningsih (37) pedagang sepatu dan seragam sekolah membenarkan jika keberadaan marketplace merusak pedagang konvensional.

Berdagang online, sambung Atin, memang mudah dan tidak memerlukan lapak atau tempat. Namun, ada yang hilang di marketplace, yakni kepercayaan pembeli.

"Kalau saya melihat gitu, orang yang datang ke sini ke toko, kayanya orang yang belum bisa beli online sama yang masih percaya dengan melihat barangnya, kalau di online kan itu cuma lihat foto saja," kata Atin.

Sayangnya, harga di marketplace merusak harga barang yang ada di toko konvensional.

"Saya lihat di TikTok atau yang lainnya sampai jauh sekali perbandingan harganya, ini ngeri dan merusak," tutur dia.

Atin mengaku kehilangan banyak keuntungan dan sulit bersaing dengan pedagang online.

"Saya akui kita semua di sini kalah, omzet juga udah turun banyak, apalagi nanti ke depannya," kata dia.

Atin membeberkan, jika beberapa pedagang pasar pakaian, sepatu, tas, seragam sekolah, kerudung, dan yang lainnya berada di titik nadir, termasuk dirinya.

Tak sedikit pedagang yang memilih menutup tokonya dan berdagang yang lain.

"Banyak tuh yang asetnya dijual dan mereka dagang sayuran di belakang, ini kan imbas juga, kaya semacam nunggu giliran aja," katanya.

Baginya, pilihan berdagang secara konvensional masih harus dipertahankan. Pasalnya untuk berubah menjadi pedagang online perlu tahapan panjang.

"Begini, bukan kami enggak mau, mau-mau saja, tapi gimana tahapannya menurut saya sama saja kaya dagang gini, panjang. Sementara enggak semua bisa menjalankan aplikasi online atau enggak semuanya mudah paham," kata Atin.

Untuk mempertahankan kios dan dagangannya, Atin mesti menjual barang dengan harga murah bahkan jauh dari biasanya.

"Nih kaya sepatu sekolah, biasanya saya jual bisa sampai Rp 180 atau Rp 200 ribu untuk sepatu anak, modalnya hanya Rp 100 ribu sekarang saya jual Rp 120 ribu atau Rp 115 ribu yang penting ada buat bertahan hidup dulu aja," jelasnya.

Ditanya soal omzet, Atin hanya tersenyum kecil. Omzetnya sudah anjlok sejak Covid-19.

"Kalau ditanya omzet, waktu Covid katakanlah masih bisa bertahan, sekarang mah haduh sudah anjlok banget," bebernya.

Hal serupa dirasakan Wildan (43), pedagang seragam sekolah. Ia mengungkapkan, pembeli yang datang terkadang membandingkan dengan harga di marketplace.

"Jadi secara enggak langsung kita juga dikasih contoh sama pembeli, bahwa saingan kita itu toko online," kata Wildan.

Menurutnya, nasib dia sebagai pedagang seragam jauh lebih memprihatinkan dari pedagang lain.

"Gini, kalau saya pasti ada musimnya yaitu waktu masuk sekolah atau tahun ajaran baru lah, sesudah itu dari mana? Karena seragam bukan pakaian sehari-hari," ujar Wildan.

Wildan berharap jika pedagang konvensional sepertinya tidak diperhatikan, ia meminta pemerintah menutup aplikasi online.

"Tutup saja, karena kita juga kesulitan di sini, enggak semua masyarakat melek terhadap teknologi," kata dia.

Tak hanya itu, ia meminta pemerintah baik tingkat pusat, provinsi, dan daerah memerhatikan nasib pedagang konvensional.

"Seharusnya ada solusi lah, minimal di harga itu sama dengan di lapangan, kalau seenaknya kaya gini, kita mau bagaimana," pungkas dia. 

https://bandung.kompas.com/read/2023/09/20/163452578/kisah-pedagang-baju-di-bandung-babak-belur-oleh-marketplace-tutup-kios-dan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke