Salin Artikel

Kiprah Bah Enjoem Melestarikan Kesenian Reak di Era Modern

Pria yang lahir di Bandung, Jawa Barat, 8 Agustus 1975 silam itu gemar menonton kesenian Reak sedari kecil. Ia mulai belajar kesenian Reak sejak 2000.

"Tidak sengaja, awalnya tidak mau (menggeluti). Cuman waktu kecil suka lihat (nonton) seni Reak," ujar Bah Enjoem saat ditemui, Kamis (21/9/2023).

Perlu diketahui, kesenian Reak berkembang pesat di wilayah Bandung Timur. Kesenian ini menggabungkan unsur musik dan atraksi kuda lumping dan bangbarongan atau barongan.

Para pemainnya kesurupan saat alunan musik yang berasal dari dog-dog, terompet, angklung dan alat musik tradisional lainnya dimainkan.

Bah Enjoem mengatakan, belajar kesenian ini dari akarnya dengan meneliti naskah-naskah kuno yang memuat asal-usul Reak di Tatar Sunda.

Selain itu, ia juga belajar ke para tokoh seni Reak yakni Aki Rahma dan Abah Juarta.

"Abah buka naskah, (Reak) ada sejak abad ke-17. Asalnya Reak dari Pantura dengan adanya seni berokan, kalau disini bangbarongan," kata bapak anak empat ini.

"Di Pantura dipakai sebagai tolak bala pada pesta laut. Lalu dibawalah oleh para pedagang ke wilayah Bandung Timur. Tahun 1960 muncul dua tokoh yakni Aki Rahma dan Abah Juarta yang keduanya mempunyai perbedaan ciri khasnya masing-masing," tambah Bah Enjoem.


Hingga akhirnya pada 2002, Bah Enjoem memutuskan membentuk grup Reak beranggotakan sekitar 30 remaja dari lingkungan sekitar rumahnya.

Bersama grupnya, ia mulai mementaskan Reak di lingkungan rumahnya di Kampung Jati, Kelurahan Pasir Biru, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung.

"Grup Abah awalnya gratis dulu sampai tujuh kali tampil. Terus mulai ada yang nanggap (mengundang) dibayar Rp600 ribu. Lalu tahun 2006, Abah bangun Sanggar Reak Tibelat di depan rumah," ucapnya.

Dicap arogan dan tukang mabuk

Bah Enjoem mengaku, alasan menggeluti kesenian Reak karena prihatian atas stigma negatif dari masyarakat yang mencap seni ini pada periode akhir tahun 1990-an hanya menampilkan kekerasan dan ajang mabuk-mabukan dalam setiap pentasnya.

"Seni Reak dicap seni arogan, seni tukang gelut (berkelahi), seni tukang mabok. Pokoknamah negatif ke seni Reak. Padahal bukan seniman Reaknya, tapi penontonnnya. Ini karena pengaruh dari budaya-budaya asing," ucapnya.

Dengan niatan ingin membersihkan citra kesenian Reak dari pandangan negatif masyarakat, Bah Enjoem mulai menggagas program berkelanjutan dari tahun 2012 dengan slogan Reak Layak Tampil, Layak Tonton, dan Layak Jual dan tahun 2014 Reak Harus Mendunia.

Sanggar Reak Tibelat pun mulai berkolaborasi dengan seniman lainnya seperti Tisna Sanjaya. Tawaran demi tawaran pentas terus berdatangan, dari mal hingga ke Galeri Nasional Indonesia.

Tidak sampai di situ, kesempatan mengenalkan kesenian Reak ke khalayak luas datang pada 2017. Sanggarnya diundang untuk tampil di Australia.

"Sekitar tiga mingguan di Australia sambutannya sangat baik. Apalagi penontonnya bule ada yang tanya-tanya dan kaget lihat atraksi kesurupan pada pemain Reak. Menurut mereka aneh karena siang-siang bisa kesurupan," ucap Bah Enjoem.

Namun yang terpenting dari semua pencapaian itu adalah pandangan masyarakat pada kesenian Reak mulai terbuka. Ditambah, beberapa kali mahasiswa dari dalam dan luar negeri datang ke sanggarnya untuk belajar kesenian buhun ini.

"Ada yang datang dari Australia sama negara lainnya sampai ke sini (sanggar). Ada juga mahasiswa Jepang datang untuk belajar caranya kesurupan. Di mata mereka aneh, kesurupan ini unik," terang Bah Enjoem.


Bah Enjoem mengungkapkan, kesenian Reak tidak dipungkiri sampai sekarang masih kalah pamor dengan kesenian modern.

Namun seiring berjalannya waktu, kesenian tradisional ini mulai kembali mendapatkan hati di masyarakat.

Hal ini bukan datang secara tiba-tiba, caranya dengan mengkreasikan pentas Reak tanpa mengubah dasar dari kesenian ini.

Menurutnya, agar pentas Reak bisa terus hidup diperlukan kreativitas dari para senimannya.

Selain itu, para seniman Reak juga harus ramah dengan kemajuan zaman. Salah satunya memanfaatkan teknologi informasi semisal media sosial dan lainnya sebagai wadah promosi.

Langkah yang dilakukan Bah Enjoem yakni bekerja sama dengan Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) sejak 2018.

Dibantu UNPAR, Sanggar Reak Tibelat mulai menjamah dunia maya atau digital dengan menghadirkan website, YouTube, Instagram dan lainnya.

"Disebut mati tidak, disebut hidup tidak. Kesenian ini hidup tergantung dari acara hajatan, kalau tidak ada yang nanggap pasti mati. Makanya diperlukan adanya kreativitas dari para seniman Reak agar bisa terus lestari," katanya.

Kondisi ini semakin diperparah saat Covid-19 melanda dunia pada Maret 2020.

Saat itu muncul kebijakan pemerintah pusat yang membatasi aktivitas masyarakat di ruang terbuka dalam rangka menekan kasus penyebaran Covid-19. Seluruh aspek kehidupan berubah total saat itu.

Akibatnya, tak sedikit sanggar Reak di Kota Bandung yang terpaksa tutup karena kesulitan ekonomi. Rata-rata sanggar Reak hanya mengandalkan pemasukan dari pesta hajatan.


Bah Enjoem mengatakan, sanggar miliknya pun terdampak saat itu.

Ada juga beberapa sanggar lain sampai menjual alat-alatnya untuk menutupi kebutuhan hidup lantaran minimnya pemasukan akibat tidak adanya panggilan untuk mengisi acara.

Meski demikian, ia terus berupaya melestarikan kesenian Reak dengan membuat Sekolah Lawang yang diperuntukan untuk anak-anak hingga remaja tanpa dipungut biaya.

Dalam sekolah ini, murid-muridnya diajarkan kesenian Reak dari tingkat dasar.

"Sekolah ini, Abah buat karena prihatin lihat anak-anak yang terus main gawai selama Covid-19. Khawatir mereka (anak-anak) terpapar konten negatif yang banyak berseliweran di internet (media sosial)," ucapnya.

Selain diajarkan seni, murid Sekolah Lawang juga dikenalkan tentang menjaga alam dan lingkungan sekitar. Pasalnya, kesenian Reak sangat erat dengan budaya agraris masyarakat Sunda.

"Alat-alat kesenian Reak ini berasal dari alam. Mereka (murid) diajak ke Gunung Manglayang menanam pohon, diajarkan menjaga alam. Tentunya untuk kebaikan mereka di masa depan," kata Bah Enjoem.

Bah Enjoem mengatakan, pada Covid-19 ia tidak sampai mengalami kesulitan ekonomi karena masih bekerja di Kantor Pajak Pratama Kota Cimahi sebagai pegawai pemerintah non pegawai negeri (PPNPN).

Berbanding terbalik dengan para nayaga atau anggota sanggarnya yang rata-rata tidak memiliki pekerjaan sampingan selain mengandalkan pentas Reak.

Ia pun kemudian berinisiatif mengkritik pemerintah daerah untuk memperhatikan para seniman tradisional selama Covid-19.

"Sempat bikin tulisan kritik di Facebook kepada pemerintah karena para seniman tradisional terdampak sekali akibat Covid-19. Terus tulisan Abah di-up beberapa media massa," katanya.

"Di Agustus 2020, Pemprov Jabar melalui Dinas Pariwisata dan Budaya (Disparbud) memberikan bantuan sebesar Rp 10 juta untuk membuat pertunjukan secara virtual. Bantuan ini ada lagi di tahun 2021. Bantuan ini juga diberikan bagi seniman lainnya di Jabar," tambah Bah Enjoem.


Meski bersifat sementara, Bah Enjoem menerima bantuan tersebut. Dananya kemudian dibelikan sembako untuk para anggota sanggarnya.

Ia juga mendorong, anggota sanggarnya untuk mandiri, salah satunya memanfaatkan media sosial untuk mencari tambahan penghasilan.

"Abah ngedorong nayaga jadi YouTuber unggah video pentas Reak di YouTube, pakai Instagram sebagai alat mencari tambahan uang pas Covid-19," katanya.

Ia berharap, pemerintah daerah kedepannya bisa memperhatikan nasib para seniman tradisional bukan hanya saat Covid-19 saja.

Menurutnya, para pelaku seni tradisional ini memberikan pengaruh besar bagi kemajuan sektor pariwisata.

"Pariwisata bisa besar karena ada seni pertunjukan di dalamnya. Wisatawan tidak akan mau datang kalau mereka tidak disuguhkan kesenian tradisional. Kesenian inilah yang menjadi salah satu faktor majunya pariwisata," kata Bah Enjoem.

Konsistensi Bah Enjoem dalam melestarikan serta mengembangkan kesenian Reak ini akhirnya berbuah manis pada Agustus 2023.

Ia mendapatkan penghargaan Anugerah Budaya dari Pemerintah Kota Bandung atas kiprahnya pada bidang kesenian tradisional.

Penghargaan ini tidak membuat Bah Enjoem jumawa. Bahkan ia merasa belum laik mendapatkan penghargaan tersebut.

Menurutnya yang paling penting kesenian Reak ini bisa terus ada sampai generasi selanjutnya.

"Padahal Abah belum layak dapat Anugerah Budaya masih banyak seniman-seniman lain yang memiliki potensi," pungkasnya.

Dukungan dari pemerintah

Sementara itu, Kepala Disparbud, Benny Bachtiar mengatakan, selama pandemi Covid-19 pihaknya beberapa kali memberikan bantuan kepada para seniman dan budayawan yang terdampak. Bantuan ini ada yang berupa uang hingga bahan sembako.

"Dulu kita kuatkan dalam KPED (komite pemulihan ekonomi daerah) waktu itu support, anggarannya dari Biaya Tak Terduga (BTT). Tapi sekarang bantuannya sudah tidak ada," katanya.

Untuk saat ini, Disparbud Jabar masih memberikan dukungan kepada seniman dan budayawan. Namun bentuknya bukan berupa uang, lebih pada pemanfaatan fasilitas milik Disparbud untuk membantu para seniman menggelar pertunjukan.

"Sekarang kita lebih pada bagaimana mendorong seniman dan budayawan untuk berkreasi. Kita berikan ruang bagi mereka memanfaatkan aset milik kita. Apakah untuk menampilkan pagelaran yang sifatnya berbayar atau sebagainya, kita fasilitasi," ucap Benny.


Ihwal dana abadi, Benny menjelaskan belum ada program bantuan tersebut di Jabar. 

Namun, Pemprov Jabar menghadirkan program Riksa Budaya Sunda untuk melestarikan nilai-nilai budaya Sunda dalam bentuk pentas seni, musik dan lainnya.

"Kita setiap Tahunnya ada Riksa Budaya. Kita tampilkan dari tiga budaya yang ada di Jabar, budaya Sunda Betawi, Sunda Priangan dan Cirebon. Setiap tahun menyelenggarakan berpindah-pindah kabupaten kota. Tahun ini di Kabupaten Cirebon, Purwakarta dan Tasik," katanya.

"Salah satu upaya pelestarian budaya itu dan kita biayai. Salah satu mempertahankan warisan budaya tak benda (WBTP) karena WBTP itu akan dievaluasi setiap tahunnya, betul tidak ini dipertahankan atau dilestarikan. Kalau tidak dilestarikan nanti sertifikatnya dicabut lagi oleh pemerintah pusat," tambah Benny.

Ditambahkannya, Disparbud terus berupaya membantu para seniman dan budayawan. Terkini, pihaknya telah bekerjasama dengan pihak-pihak terkait.

"Kita kemarin di West Java Festivak (WJF) kerjasama dengan GASS (Gabungan Artis Seniman Sunda). Mereka akan memberikan bantuan asuransi pada seniman Sunda. Kolaborasi seperti apa, dananya berasal dari masyarakat sumbangan untuk para seniman dan budayawan," pungkasnya.

https://bandung.kompas.com/read/2023/09/22/173211178/kiprah-bah-enjoem-melestarikan-kesenian-reak-di-era-modern

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke