Salin Artikel

Cerita Pengusaha Tekstil Kabupaten Bandung Bertahan dari Himpitan Pasar Digital dan Impor

Usaha tekstil yang dirintisnya sejak bertahun-tahun itu, kini seperti di ujung tanduk. Harga pasar online yang tak mengenal kawan atau lawan semakin menggerogoti usahanya.

"Kalau awalnya kami lihat pasar online sebagai peluang, tapi lambat laun ternyata seperti ini," katanya ditemui, Senin (25/9/2023).

Meski dalam keadaan terjepit, Nandi tak memungkiri bahwa usahanya sudah membawanya ke puncak rantai industri tekstil, yaitu sebagai produsen kerudung, baju koko serta perlengkapan muslim lainnya.

Pasar domestik, mulai dari pasar Andir, pasar ITC Kebon Kalapa Kota Bandung, hingga pasar Tanah Abang Jakarta sudah menjadi ladang tempat Nandi mendistribusikan barangnya.

Tak hanya pasar domestik raksasa yang ia jajaki. Pasar tradisional hingga ruko-ruko di beberapa Kota dan Kabupaten se-Jawa Barat pun menjadi ladang baginya.

Nandi mengatakan, setiap kali terjadi keterlambatan barang, dipastikan HP miliknya langsung dibanjiri pesan dari para pedagang.

"Katakanlah dulu bisa seperti itu. Apalagi kalau pas momentum hari besar Islam, barang enggak boleh telat," ujar dia.

Bermula dari konveksi rumahan

15 tahun lalu, Nandi mulai merintis usaha di Kecamatan Solokanjeruk, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Awalnya Nandi membeli sebidang tanah kosong untuk membesarkan usahanya itu.

Kegigihan dan ketekunan Nandi di dunia tekstil patut diacungi jempol. Sebab, awalnya hanya konveksi rumahan kemudian kini sudah menjadi pabrik.

"Kalau diceritain panjang, cuma ya selama belasan tahun itu saya bisa mencapai titik ini. Ya kalau di sebut pabrik terkesan besar, ini masih kecil lah," tuturnya.

Omset yang terus bertambah tiap tahun pernah dia rasakan. Tak tanggung-tanggung, ratusan juta Rupiah pernah dikantongi setiap bulannya dengan jumlah karyawan mencapai 150 orang.

Memiliki omset besar dengan ratusan karyawan tak pernah terpikirkan sebelumnya. Menurutnya, membuat pasar domestik menerima produknya merupakan bayaran mahal.

"Kalau dulu omset saya bisa sampai Rp 300 juta lah dalam sebulan, ya kalau diakumulasikan setahun bisa sampai miliaran, tapi itu kotor, kemudian angkanya juga fluktuatif, tapi saya akui sempat sampai segitu (Miliar)," terangnya.

Namun kini semua berubah.

Gedung usaha berukuran sekitar 30x20 meter itu terlihat sepi pegawai. Ratusan mesin produksi, mulai dari mesin jahit, mesin border, hingga mesin potong seolah seperti pajangan.

Dia mengaku baru memberlakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara bertahap.

"Ya sekarang sekitar 50 orang yang masih bekerja di sini, sisanya sudah saya rumahkan," bebernya.

Sementara di gedung sebelah, tumpukan bahan serta hasil produksi tampak berdebu.

"Gini situasinya, paling barang yang keluar sebagian saja ke ruko atau toko yang memang butuh. Kalau, pasar domestik yang gede-gede lagi stop karena enggak laku barang di tokonya," kata Nandi.

Dipukul Pandemi

Sebelum pandemi Covid-19 melanda, Nandi sudah mulai merambah ke pasar online. Dia melihat market place sebagai peluang untuk mengembangkan usaha.

"Membayangkan seperti peluang, jadi saya masuk ke toko konvensional terus masuk juga ke toko online. Kalau orang bisnis kan lihatnya peluang," tuturnya.

"Dulu ada lumayan banyak pelanggan, kaya reseller atau yang baru mulai bisnis online. Kemudian yang awalnya punya toko terus jadi bikin usaha online, saya suplai," sambungnya.

Meski pernah merasakan manisnya pasar online, permintaan mulai menurun saat Pandemi Covid-19.

"Mereka itu minta partai besar, tapi dengan kualitas bahan yang pas-pasan bahkan terbilang jelek, tapi kan saya juga bisnis itu mempertimbangkan kepercayaan, agak sulit juga saya kalau harus menurunkan kualitas. Secara otomatis di masa pandemi, berkurang tuh (permintaan) karena pada nyari ke pengusaha tekstil yang lain," imbuhnya.

Pada masa Pandemi Covid-19, ia hanya menyuplai barang ke toko online sebanyak 30 persen dan sisanya ke toko konvensional.

Babak belur oleh barang impor

Belum selesai dengan tsunami harga Market Place, kini ia harus berhadapan dengan badai barang impor.

Menurut Nandi, masuknya barang impor lebih mengerikan dibanding pasar online.

"Kalau di sana (market place) katakanlah yang jual bahan itu sedikit terus hitungannya juga sama dengan beli konvensional, orang juga butuh kepercayaan, katakanlah kita masih menang. Nah, dengan adanya barang impor ini kan rata-rata barang bahan,"katanya yang hanya menjual produk jadi di market place.

Menurutnya, badai barang impor lebih terasa karena langsung menyasar produsen yang merupakan bagian dari hilir industri textile.

"Yang terdampak dari barang impor ini (adalah) kami yang di hilir. (Menyebabkan) permintaan di online atau pasar konvensional seperti pasar Tanah Abang berkurang permintaannya. Itu terdampak ke kami," jelasnya.

Nandi pun mengatakan, data dari Asosiasi Konveksi Jawa Barat, banyak industri tekstil gulung tikar bahkan tutup karena masuknya barang impor.

"Jadi memang Jabar ini sudah banyak sekali, udah bukan hitungan satu atau dua tapi sudah ribuan, mungkin pengaruh dampaknya pengangguran sudah jutaan, ini dua bulan ini sedang merosot," ujar Nendi.

Menurutnya, berkompetisi dengan harga barang impor yang lebih murah lebih sulit dibanding mempertahankan diri dari himpitan market place.

"Kita tidak akan bisa bertahan lama nih, ketika impor ini membanjiri ke kita ya, ke dalam negeri, ya mohon maaf ini akan terjadi pengangguran yang luar biasa. Angka pengangguran kalau secara real IKM itu susah ya, tapi ada. Di setiap daerah itu laporan ke Organisasi, contoh kalau di sini itu ada satu kampung yang memang dia memproduksi piyama, itu sudah memang sudah tidak beroperasi sekarang," tutur dia.

Nendi membenarkan jika wilayah Kabupaten Bandung hampir 60 persen pelaku IKM.

"Kalau di Jabar paling banyak itu di kabupaten Bandung IKM. Kabupaten Bandung itu 60 persen pelaku IKM. Kalau yang tutup mah menyebar ke berbagai daerah, ke Cirebon gamis. Jadi IKM konveksi itu sudah banyak penutupan," ungkapnya.

Ikut berdagang demi bertahan

Ia menuturkan, untuk bisa bertahan dari gempuran barang impor, Nendi terpaksa harus ikut berdagang dengan membuat akun market place.

"Akhir-akhir ini maraknya barang impor untuk barang tersebut, kami kesulitan untuk menjual sehingga mau enggak mau kita ikut berjualan," kaya Nendi.

Baginya, langkah tersebut merupakan suatu pantangan. Namun, apa boleh buat, ikut berjualan menjadi cara agar barang yang tertahan di pabriknya bisa terjual.

"Stok kami menumpuk sampai sekarang 1,5 juta meter ya, produksi masih berjalan enggak tahu sampai kapan kami masih bisa produksi. Kebayang awalnya produsen kini menjadi pedagang, harus beradaptasi lagi," ujarnya.

Meski sempat menjadi pengusaha yang cukup sukses, kini Nendi hanya bisa berupaya memperpanjang nafas para karyawannya.

Keluhan pada Pemerintah, melalui jalur organisasi sudah ditempuhnya, bahkan ia sudah lupa berapa kali mempertanyakan regulasi yang bisa membentengi usahanya dari ganasnya digitalisasi dan aktifitas Impor.

"Saya enggak mikir omset harus naik signifikan, sekarang agar bisa bertahan, barang terjual, karyawan ke bayar, keuntungan pas-pasan juga diterima. Wah kalau bantuan, ya di mohon dibantu aja untuk perlindungan pasar kami," pungkasnya.

https://bandung.kompas.com/read/2023/09/25/171631878/cerita-pengusaha-tekstil-kabupaten-bandung-bertahan-dari-himpitan-pasar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke