Salin Artikel

Soal Larangan "Social Commerce", Konsumen: Aturannya Diperketat, Bukan Langsung Tutup

Warga Cianjur, Jawa Barat, ini memilih social commerce karena bisa mendapatkan banyak keuntungan.

Selain cara belanja yang mudah dan efisien, harga yang ditawarkan juga menggugah dengan kualitas produk yang tidak mengecewakan. 

“Seperti di TikTok ya, apalagi kalau yang live itu harganya sangat murah. Kualitas barang-barangnya juga bagus,” kata Fithri kepada Kompas.com, Rabu (27/9/2023). 

Sebagai konsumen, sejauh ini Fithri tidak pernah kecewa saat menggunakan TikTok.

Ini karena sebelum memutuskan membeli, dia terlebih dahulu mengecek reputasi toko atau penjual dan mencermati deskripsi produk.

"Termasuk melihat ulasan-ulasan produknya juga. Nah, kalau belanja yang di live itu kelebihannya kita bisa melihat detil barangnya,” ujar dia.

Karena itu, Fithri keberatan dengan keputusan pemerintah yang melarang transaksi jual beli di platform media sosial tersebut.

Menurut dia, langkah tersebut kurang tepat, bahkan bisa merugikan masyarakat tertentu. 

“Jelas tidak setuju. Pemerintah tidak bisa serta merta menutup atau melarang. Harusnya win-win solution kebijakannya,” kata dia.

Fithri menilai pemerintah sejatinya harus mencari cara atau kebijakan yang lebih solutif dalam menyikapi tren ini, karena bagaimana pun perilaku konsumen juga telah berubah drastis.

“Aturannya diperketat saja, bukan langsung ditutup seperti itu. Kan yang jualan di sana juga banyak yang juga pelaku UMKM, berarti sama saja mematikan usaha mereka,” ujar Fithri.

Hal senada disampaikan warga Cianjur lainnya, Ani Noviasari (43). Dia menilai, langkah yang diambil pemerintah tidak esensial dan bisa mematikan kreativitas pelaku usaha.

"Pedagang-pedagang jajanan saya lihat pada live sekarang, itu kan sangat kreatif. Namun, tiba-tiba akan ditutup seperti ini. Harusnya kreativitas mereka lebih difasilitasi oleh pemerintah,” ujar Ani.

Pemerintah juga seharunya mempertimbangkan suara konsumen yang selama ini mendapatkan kemudahan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari melalui belanja online tersebut.

“Ini juga kan soal perkembangan teknologi yang tidak bisa diabaikan yang turut mengubah perilaku konsumen dalam berbelanja,” kata dia.

Ani memilih belanja kebutuhan rumah tangga secara online karena pertimbangan kemudahan dan lebih efisien.

"Kalau (pertimbangan) harga tentunya, ya, bisa setengahnya. Karena ada banyak promo dan skema diskon yang ditawarkan. Biasanya belanja pakaian, tools, kosmetik, dan barang lainnya juga," kata Ani .

Kendati begitu, ia bukan tidak pernah dikecewakan saat belanja online. Namun, hal itu disikapinya sebagai bagian dari risiko berbelanja online.

Sebelumnya diberitakan, pemerintah melarang social commerce, seperti TikTok Shop, Facebook, dan Instagram, untuk bertransaksi jual beli secara langsung.

Pemerintah hanya memperbolehkan platfom media sosial tersebut mempromosikan produk.

Aturan itu masuk dalam revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE). 

https://bandung.kompas.com/read/2023/09/27/100451678/soal-larangan-social-commerce-konsumen-aturannya-diperketat-bukan-langsung

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke