Salin Artikel

Jualan Nasi Kuning ala Jusuf Hamka, Nilai Filosofis dan Pengalaman Masa Kecil

CIANJUR, KOMPAS.com – Di sela kesibukannya mengurus bisnis konstruksi, Jusuf Hamka masih menyempatkan diri meninjau usaha kulinernya, yakni jualan nasi kuning.

Bahkan, bos jalan tol ini kadang terjun langsung melayani pembeli seperti yang dilakukan di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Warga sendiri harus rela mengantre untuk mendapatkan seporsi nasi kuning yang dibanderol Rp 3.000 itu lengkap dengan aneka menu pilihan.

Sejauh ini, sudah ada 12 cabang Nasi Kuning Babah Alun yang tersebar di wilayah Jabodetabek, Bandung, dan Cianjur.

Di Cianjur sendiri, Nasi Kuning Babah Alun telah beroperasi sejak Maret 2023 atau selama tujuh bulan.  

“Di Cianjur kita buka di dua tempat. Di sini (toko Borobudur) dan satunya lagi yang baru buka, di kawasan Jebrod,” kata Denny Fung (30), pengelola Nasi Kuning Babah Alun, kepada Kompas.com, Senin (2/10/2023).

Denny menyebutkan, setiap hari menyediakan 300 hingga 700 porsi, dan hanya dalam hitungan jam, Nasi Kuning Babah Alun ini ludes terjual.

“Pak Jusuf dalam beberapa kesempatan suka datang ke sini, kadang ikut melayani pembeli juga,” ujar dia.

Cerita di balik nasi kuning

Bagi Jusuf Hamka, usaha kulinernya ini tak semata bisnis apalagi untuk mencari keuntungan. Namun upaya bersedekah dengan cara memberdayakan pedagang kecil atau pelaku UMKM.

Karena itu, Jusuf memesan nasi kuning dari pedagang setempat untuk kemudian dijual dengan harga di bawah normal.

“Beli dari pedagangnya Rp 10.000 per porsi, lalu dijual Rp 3.000 supaya bisa lebih menjangkau semua lapisan masyarakat,” kata Jusuf kepada Kompas.com di Cianjur.

Jusuf menceritakan, menggaungkan nasi kuning ini karena ingat dengan masa kecilnya yang tak lepas dari makanan khas Nusantara ini.

“Saya anak Samarinda, di sana itu terkenal nasi kuning dan ikannya gabus. Sewaktu kecil ibu saya jualan nasi kuning, dan itu jadi sarapan kami. Saat itu hidup saya banyak dari bantuan orang,” kenang Jusuf.

“Karena sekarang sudah sedikit mampu, ingin berbagi kepada orang lain. Saya tidak ingin ada saudara kita yang tidak bisa makan,” sambung dia. 

Makna filosofis harga Rp 3.000

Menurut Jusuf, harga Rp 3.000 tak semata banderol yang murah meriah, tetapi memiliki makna filosofis tersendiri.

Melibatkan banyak pihak dari berbagai golongan, antar kalangan bahkan lintas etnis, Jusuf berharap, usahanya ini bisa mempersatukan semua kalangan.

“Sebagaimana sila ke-3 Pancasila, Persatuan Indonesia. Semoga dapat menyatukan semua elemen masyarakat tanpa memandang golongan, suku, etnis, dan agama,” ujar dia.

Karena itu, Jusuf bertekad untuk terus memperluas jaringan usahanya ini dengan menggandeng lebih banyak lagi pelaku usaha dan pedagang kecil.

"Semakin banyak yang ikut berkolaborasi akan semakin meringankan beban antar sesama, sehingga persatuan semoga akan semakin erat terjalin," ungkap Jusuf.

Tidak digratiskan

Upaya babah Alun alias Jusuf Hamka ini merupakan sedekah yang dikemas dalam usaha jualan nasi kuning.

Namun, kendati mengusung konsep amal, dia tak ingin menggratiskan. Masyarakat tetap harus membeli kendati dengan harga yang sangat murah.

“Kalau dikasih gratis semua pahalanya buat kita. Tapi, kalau dijual mereka juga bisa bersedekah. Sedekah tidak boleh dimonopoli, dan kita tetap menjaga martabat dan harga diri mereka," ungkapnya.

Jusuf pun bertekad suatu saat nanti bisa mendirikan "rumah emas" di berbagai tempat yang bisa memberi makan sedikitnya 1.000 orang setiap harinya.

“Jika itu terwujud, tentunya akan semakin banyak lagi yang mendapatkan berkah. Kaum duafa yang termarjinalkan dapat berkahnya, pedagang kecil dan pelaku UMKM juga dapat berkahnya,” ujar Jusuf. 

https://bandung.kompas.com/read/2023/10/03/085211978/jualan-nasi-kuning-ala-jusuf-hamka-nilai-filosofis-dan-pengalaman-masa-kecil

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke