BANDUNG, KOMPAS.com - Angkutan kota (angkot) di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, masih mencoba eksis di tengah impitan moda transportasi online dan angkutan umum lainnya.
Meski terseok-seok, wilayah Kabupaten Bandung masih mengandalkan angkot sebagai alat transportasi publik.
Pelbagai upaya dilakukan oleh pengusaha angkot untuk dapat bersaing dengan moda transportasi massal lainnya.
Umar Sopandi (56) pengusaha angkot asal Kabupaten Bandung mengaku sudah kehabisan cara untuk bisa bersaing dengan moda transportasi massal saat ini.
Dari sisi finansial, kata Umar, angkot sudah tak menjadi primadona seperti beberapa tahun ke belakang. Secara otomatis, pendapatan yang didapatkan sopir angkot pun berkurang.
"Kalau bicara zaman dulu ya, kita bisa dikatakan jaya lah ya, sekalipun ada taxi waktu itu tapi tetap kita yang dominan. Kalau sekarang, wah susah," katanya dihubungi melalui telepon, Minggu (29/10/2023).
Menurutnya, para pengusaha angkot bukan tak memiliki ide untuk membuat angkot kembali menjadi angkutan umum yang disukai publik. Hanya saja saat ini kehadiran angkutan massal yang begitu masif menjadi kendala tersendiri.
Ia mencontohkan, jauh sebelum adanya kendaraan online, ada angkutan massal seperti bus. Jika, saat itu, sistem peremajaan sopir angkot dialihkan menjadi sopir bus, kondisi masih bisa diselamatkan.
"Kalau seandainya, pengusaha angkot dilibatkan dalam pembentukan bus dalam kota, kalau di sini mungkin dulu DAMRI, kalau sekarang banyak lah namanya, mungkin regenerasinya baik. Sopir angkot jadi sopir bus, si pengusahanya juga dibawa dalam skema bisnis nya, ini kan enggak kaya gitu," ujarnya.
Ia menuturkan, semestinya pemerintah dulu melihat kondisi tersebut. Pengusaha angkot terbilang banyak, apalagi jumlah sopirnya.
Jumlah tersebut, kata Umar, bisa meringankan pemerintah dalam mengupayakan alat transportasi massal.
"Katakanlah luas Bandung Raya kan gede tuh, bisa dibagi-bagi. Dalam satu bus kan ada sopir, ada kondektur, artinya bisa dimanfaatkan para pengusaha dan sopir angkot itu. Sisanya masih dipertahankan di angkot, karena kita tahu, enggak semua jalur bus bisa terjangkau oleh bus," bebernya.
Jika melihat kondisi saat ini, untuk mengubah angkot menjadi primadona, ibarat mencari jarum dalam jerami.
Pasalnya, moda transportasi online, serta kemudahan mendapatkan kendaraan pribadi sudah merajalela.
"Kita lihat persentasenya, kendaraan pribadi di Bandung Raya sudah banyak bahkan bikin macet, terus online, ini terus numpuk persoalan nya kita juga kesulitan," ungkap dia.
Ia melihat, saat ini pemerintah seperti terus memberikan persoalan, baik untuk pengusaha angkot atau sopir angkot.
Seandainya dulu, ketika sosialisasi angkutan massal masif dan pengusaha angkot atau supirnya dilibatkan, kata dia, hari ini tinggal bicara soal kendaraan online.
"Ini kan jadi nambah terus persoalannya, yang bus dulu belum selesai, sampai akhirnya DAMRI bertransformasi jadi apa karena enggak laku banget. Terus ada online, terus ada Trans-Trans baru, ada kendaraan motor yang banyak, ada kita juga, ini kan persoalannya ditambahkan tanpa ada solusi konkret," tutur Umar.
Umar menambahkan, kondisi pengusaha angkot sudah sangat memprihatinkan. Bahkan, tak sedikit yang gulung tikar.
Ia menuturkan, pandemi Covid-19 merupakan momen yang paling buruk bagi pengusaha angkot.
"Wah kacau, saya juga semaksimal mungkin bertahan, karena kasihan banyak yang cari makan di saya, saya juga bukan usaha lain. Betul, waktu Covid itu paling terasa banget," ujarnya.
Dulu, sambung Umar, dalam satu bulan ia bisa meraup keuntungan hingga puluhan juta.
Namun, saat ini untuk mendapatkan Rp 2 juta per bulan, ia mengaku harus ekstra memecut semangat para sopir angkot.
"Saya akui kalau dulu bisa mencapai kurang lebih Rp 30 juta, itu udah dipotong biaya operasional kaya onderdil gitu, sopir udah aman. Kalau sekarang wah sudah jauh lah, dapet Rp 1 juta atau Rp 2 juta sudah beruntung," kata dia.
Awalnya Umar memiliki 40 kendaraan angkot jurusan Tega Lega - Banjaran, Cicaheum - Cileunyi, dan Leuwi Panjang - Soreang.
Namun saat ini hanya tersisa 15 angkot saja. Sisanya, ia jual dan sebagian ada yang diubah menjadi mobil bak terbuka.
"Sekarang sisa yang panjang trayeknya, Tega Lega - Banjaran dan Leuwi Panjang - Soreang. Sudah dijual, dan ada yang jadi mobil bak, buat angkut yang pindah rumah atau ke pasar suplai apa gitu," ungkapnya.
Wajib Beradaptasi
Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) Kabupaten Bandung Hilman Kadar mengatakan, selama bertahun-tahun pihaknya telah mendorong agar angkot di Kabupaten Bandung bisa beradaptasi dengan zaman.
Secara regulasi, kata Hilman, bahwa setiap pemilik angkutan umum itu harus terhimpun dalam sebuah koperasi.
Sejauh ini, ada 41 koperasi yang sudah terbentuk dan langsung di bawah Dishub Kabupaten Bandung.
"Nah, dulu memang secara regulasi bahwa setiap angkutan umum di Kabupaten Bandung itu harus terhimpun dalam koperasi dan kita sudah bentuk koperasi di Kabupaten Bandung, tetapi mungkin jalannya kurang bagus yang terbentuk itu ada 41 koperasi angkutan umum di kita," kata Hilman dihubungi melalui selular.
Pembentukan koperasi tersebut, merupakan sebuah langkah yang sudah sesuai dengan indikator kinerja utama Dinas Perhubungan.
Melalui koperasi tersebut, kata dia, pihaknya bisa membaca setiap perkembangan angkot di Kabupaten Bandung, terutama penilaian masyarakat.
"Kita dulu sudah mengembangkan, kita punya target indikator kinerja utama Dishub itu adalah sejauh mana masyarakat akan menggunakan angkutan umum, secara otomatis layanan angkutan umum yang diberikan itu harus baik, aman, nyaman, lancar, selamat," jelasnya.
Meski demikian, Hilman menyadari perkembangan angkutan berbasis online mejadi tantangan bagi pengusaha angkot.
Pasalnya, transportasi berbasis online memberikan pelayanan lebih baik. Menurutnya, persoalan transportasi tidak pernah lepas dari persoalan pelayanan.
"Nah, namun kenyataannya bahwa saat ini seiring waktu bahwa terdapat keanggotaan angkutan yang berbasis online yang mereka memberikan pelayanannya mungkin lebih, bisa dikontak langsung, bisa on time, layanannya lebih bagus dan mungkin kenyamanannya lebih bagus, sehingga angkutan umum pada saat ini jika tidak bisa bersaing dengan mereka maka tentu saja jumlah penumpangnya itu akan semakin menurun ya. Saat ini yang terjadi seperti itu," jelas Hilman.
Selain itu, Hilman membenarkan bahwa kemudahan produsen kendaraan umum menyebabkan angkot semakin melemah.
Ia mengatakan, tak sedikit masyarakat yang bernai mencicil kendaraan pribadi, lantaran dipermudah oleh pihak produsen kendaraan pribadi.
"Namun, sebuah keniscayaan bahwa jumlah penduduk sudah bertambah, kebutuhan masyarakat sudah semakin meningkat jadi sudah banyak juga pengusaha ataupun banyak produsen kendaraan roda dua yang memberikan kemudahan untuk membeli tanpa uang muka, sehingga masyarakat itu berfikir dari pada naik angkot, berhenti, lama, tidak nyaman, maka mereka lebih memilih untuk mencicil kendaraan roda dua itu menjadi sebuah masalah," tuturnya.
Meminimalisasi ketertinggalan angkot, kata Hilman, pihaknya telah berupaya melakukan pembinaan baik dengan Organda atau dengan koperasi.
Pembinaan tersebut dilakukan untuk mendorong agar koperasi yang sudah terbentuk mampu membiayai operasional pengusaha angkot.
"Kita Dishub berkewajiban untuk melakukan sebuah pembinaan-pembinaan baik dengan Organda dengan Koperasi juga, agar mereka koperasinya dibesarkan sehingga bisa membiayai operasional, salah satunya mendukung operasional pengusaha-pengusaha angkutan umum, misalnya dalam hal onderdil, perbaikan perbengkelan," katanya.
Saat ini, di Kabupaten Bandung terdapat 42 trayek, dan 11 trayek merupakan trayek yang berbatasan dengan kota atau kabupaten lain.
"Di Kabupaten Bandung ini ada 42 trayek aktif dan 11 trayek perbatasan, misalnya antara Kabupaten Bandung dengan Garut dan Kabupaten Bandung dengan Cianjur dan kurang lebih dari jumlah 41 trayek aktif dan 11 trayek perbatasan itu ada 2.000 angkutan umum yang beroperasi di Kabupaten Bandung," pungkasnya.
https://bandung.kompas.com/read/2023/10/31/103601878/cerita-pengusaha-angkot-kabupaten-bandung-dipaksa-beradaptasi-di-tengah-era