Salin Artikel

Setahun Gempa Cianjur, Nasib Para Penyintas yang Masih Hidup di Tenda

Hingga kini, pria berumur 65 tahun itu  masih tinggal di dalam tenda darurat.

Sejak Maret, warga Desa Cijedil, Kecamatan Cugenang, Cianjur ini menempati tenda yang didirikan di atas lahan bekas bangunan PAUD di tepi Jalan Raya Cugenang, bersama istrinya.

“Sebelumnya, awal-awal setelah gempa sempat tinggal di tenda pengungsian di daerah Lemburtengah, Cianjur."

"Empat bulan di sana lalu pindah ke sini sampai sekarang,” ucap Maman kepada Kompas.com saat ditemui di tendanya, Senin (20/11/2023).

Maman terpaksa menjalani kehidupannya dengan kondisi serba darurat, karena rumahnya hilang digerus longsor.

“Hilang tertmbun berikut isi-isinya, yang tersisa waktu itu, ya cuma pakaian di badan,” ujar Maman.

Namun, Maman bersyukur masih diberikan keselamatan, bersama seluruh anggota keluarganya.

“Saya dan keluarga sempat tertimbun, tapi bisa keluar dan menyelamatkan diri, alhamdulilah,” kata Maman.

Bagi Maman, tinggal di tenda selama setahun bukan tanpa risiko. Dia pun sudah tiga kali jatuh sakit dan harus berobat ke puskesmas terdekat. “Batuk, radang, demam, macam-macamlah,” ucap dia.

Saat ini, Maman ditemani istri dan anak-anaknya, serta puluhan warga lain yang bernasib sama.

“Katanya saya dapat hunian relokasi di tahap tiga di Babakan Karet. Anak saya suka ke sana lihat perkembangannya, semoga bisa secepatnya pindah,” imbuh Maman.

Selain Maman, sejumlah penyintas juga masih tinggal di tenda dan hunian darurat. Misalnya di Kampung Barukaso, Desa Sukamulya, Cugenang.

Pemandangan pada Minggu (19/11/2023), memperlihatkan dari puluhan hunian darurat yang berdiri di atas lahan perkebunan di kaki Gunung Gede itu, beberapa di antaranya masih ditempati warga.

Beberapa di antaranya adalah Edah (72), Selvi (30), dan Mastufah (36).

Ketiganya masih tinggal bersama keluarganya sembari menunggu pembangunan rumah mereka selesai.

“Rencananya hari ini mau mulai angkut-angkut barang, mau pindahan, tapi bukan ke rumah, mau ke habitat,” kata Edah.

Edah menjelaskan, habibat dimaksud adalah hunian sementara (huntara) yang dibangun pihak swasta atau donatur di samping rumahnya.

“Mau coba tinggal di sana biar bisa lebih dekat ke rumah. Tapi, barang-barang masih di sini (hunian darurat),” ucap dia.

Senada dengan Edah, Mastufah juga masih bertahan di hunian darurat karena rumahnya belum selesai dibangun.

"Mau bagaimana lagi, meskipun panas dan gerah karena tidak ada tempat lain," ucap dia.

Mastufah mengaku, peristiwa gempa bumi yang mengguncang kampungnya tahun lalu telah mengubah hidupnya dan kehidupan sosial masyarakat.

Terlebih, di kampungnya hampir semua bangunan dan rumah warga hancur porak-poranda.

“Di sini juga ada beberapa warga yang meninggal waktu gempa itu. Kita sekarang jadi lebih peduli dengan sesama,” ujar Mastufah.

https://bandung.kompas.com/read/2023/11/21/085709778/setahun-gempa-cianjur-nasib-para-penyintas-yang-masih-hidup-di-tenda

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke