Salin Artikel

Kasus KDRT di Bogor 2023 Meningkat, Didominasi Kekerasan Fisik

BOGOR, KOMPAS.com - Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Bogor menerima 85 laporan kasus kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT selama Januari-November 2023.

Angka ini meningkat jika dibandingkan data 2019 atau sejak Covid-19 sebesar 63 kasus. 

"Trend angkanya naik, termasuk yang terakhir ini laporan kasus (KDRT) dokter Qory, total di 2023 jadinya ada 85 kasus," kata Ketua P2TP2A Kabupaten Bogor, Euis Kurniasih Hidayat saat ditemui di kantornya, Rabu (22/11/2023).

Dari laporan itu, Euis merinci, kasus KDRT pada 2019 berjumlah 63 kasus, kemudian naik pada 2020 sebanyak 72 kasus, 2021 turun sedikit ke 68 kasus.

Kemudian pada 2022 kembali naik sebanyak 81. Kemudian Januari-November 2023 naik menjadi 85 kasus.

Menurut Euis, beberapa kasus yang dialami istri terdiri dari kekerasan verbal dan fisik, pelecehan, hingga kasus penelantaran.

Dari total kasus tersebut, jenis kekerasan yang paling dominan adalah kekerasan fisik hingga mengakibatkan patah tulang.

"Paling fatal ada pada 2020 di Rumpin dan itu tidak perlu kita sebutkan (detail) karena pelayanan kita senyap dengan pertimbangan kita untuk menjaga trauma korban, psikisnya," ungkapnya.

Euis mengatakan, pemicu kasus KDRT terjadi karena berbagai faktor seperti ekonomi, perselingkuhan, hingga penelantaran anak.

Adapun tempat terjadinya kasus KDRT terbanyak, berada di lingkungan rumah tangga dan sekitarnya.

"Yang perlu diperhatikan dari korban kekerasan itu, pertama medisnya. Kalau babak belur dibawa kemana, kedua psikisnya, ketiga hukumnya harus dilaporkan. Jadi ketiga hal ini mana sih yang dominan. Kalau trauma baru dibawa ke P2TP2A seperti itu. Yang babak belur dibawa ke RS untuk diobati lalu visum, masuk ranah hukum dan nanti bikin laporan, baru nanti dari polres dibikin pengantar," ucap dia.

Euis mengungkapkan, meningkatnya jumlah kasus yang diterima P2TP2A merupakan salah satu indikasi bahwa masyarakat sudah lebih berani melapor.

Artinya, semakin banyak kasus merupakan indikasi keberhasilan sosialisasi yang dilakukan oleh petugas di lapangan.

Ia pun mengapresiasi warga yang berani melaporkan kejadian kekerasan yang menimpanya seperti halnya dokter Qory.

"Jadi bukan angkanya meningkat karena banyak kejahatan, tapi masyarakat sudah lebih menyadari bahwa mereka kalau menjadi korban kekerasan harus melapor," ungkapnya.

Dia menegaskan, tidak semua kasus yang menyangkut kekerasan harus berujung pada penyelesaian hukum.

Sejauh ini, ada upaya mediasi sesuai dengan aturan undang-undang yang berlaku.

Jika yang dibutuhkan korban merupakan penanganan trauma, maka petugas akan memberikan layanan psikolog.

Begitu pula dengan pendampingan hukum, semuanya akan didampingi oleh tim dari P2TP2A.

Jika ingin berakhir ke perceraian, prosesnya berbeda-beda dan harus diselesaikan ke ranah polisi lalu ke pengadilan.

"Ada yang lanjut perceraian, ada yang tidak. Penyelesaian masalahnya memang bentuk penceraian, jadi ada juga yang rujuk. Kan kelakuan (kekerasan) itu kan menular, emosi sesaat, terus jadi damai lagi. Sudah sedemikian rupa mediasi memberikan pendampingan ke korban, akhirnya korban sadar (memaafkan) dan pelakunya juga sadar seterusnya," bebernya.

Ia mengimbau kepada siapapun untuk tidak takut melaporkan kejadian kekerasan ke P2TP2A.

Laporannya bagaimana, yaitu datang ke kantor dan bisa dijemput dengan menghubungi terlebih dahulu nomor layanan. Terutama ke call center P2TP2A Kabupaten Bogor.

https://bandung.kompas.com/read/2023/11/22/200122978/kasus-kdrt-di-bogor-2023-meningkat-didominasi-kekerasan-fisik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke