Salin Artikel

Kadinkes Jabar: Tidak Ada Rekayasa Genetika soal Nyamuk Wolbachia

Penegasan ini disampaikanKepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Provinsi Jawa Barat Vini Adiani Dewi, di Bandung, Rabu (22/11/2023) seperti dikutip Antara.

Dia mengatakan, berdasarkan pada beberapa ilmu yang dipahaminya, bakteri Wolbachia merupakan bakteri alami yang ada pada sekitar delapan serangga, salah satunya lalat limbah.

"Dan ternyata, setelah diselidiki kalau nyamuk Aedes Aegypti diberikan bakteri Wolbachia maka si virus itu tidak hidup."

"Jadi tidak ada rekayasa genetik karena bakterinya alamiah, hanya dipindahkan dari tubuh serangga lain dalam hal ini Aedes Aegypti," kata Vini.

Vini mengatakan, penerapan bakteri Wolbachia ini untuk memutus rantai penularan virus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Jawa Barat, khususnya di Kota Bandung.

Program pemutusan rantai virus di Kota Bandung ini dipersiapkan sejak tahun 2021, dengan menjadikan ibu kota Jawa Barat ini daerah percontohan pengembangbiakan nyamuk Wolbachia bersama Jakarta Barat (DKI Jakarta), Semarang (Jawa Tengah), Bontang (Kalimantan Timur), dan Kupang (NTT).

"Jadi sebetulnya penerapan pemutusan rantai penularan DBD itu di Kota Bandung sudah dilaksanakan sejak tahun 2021 persiapannya, jadi sudah dilatih petugas, beberapa masyarakat dan sudah keluar Permenkesnya juga," ucap Vini.

Meski demikian, Vini mengaku masih akan menunggu arahan pemerintah pusat dalam pengembangbiakan nyamuk Wolbachia di tiap kota/kabupaten di Jabar, terlebih masih ada polemik terkait hal ini.

"Ini kan sebetulnya strategi nasional jadi pada prinsipnya kami menunggu arahan pusat dan arahan pimpinan ke depannya."

"Sementara ini memang di antara kota/kabupaten (DBD) tertingginya itu adalah Kota Bandung yang juga sudah komitmen untuk melaksanakannya," ujar Vini.

Yang pasti, kata Vini, apabila pengembangbiakan Wolbachia bermanfaat bagi kesehatan khalayak banyak Pemprov Jabar akan mendukung program tersebut.

"Kalau itu bermanfaat kenapa tidak, kita amit-amit misalnya kena TBC lebih tenang karena sudah ada obatnya tinggal bagaimana kita mengobati dengan baik."

"Typus atau demam tifoid sudah ada obatnya tapi kalau DBD kan belum ada," tutur dia.

Berdasarkan cara kerjanya, Vini berpendapat, pengembangbiakan Wolbachia lebih baik dari pada menggunakan sistem fogging, karena dapat memengaruhi sistem kekebalan nyamuk, sehingga kurang efektif.

"Kalau ini alamiah. Orang berpikiran nyamuk tetap ada betul karena itu alur rantai makanan jadi insyaallah ini tidak akan merusak siklus rantai makanan," ucap dia.

Sementara itu, Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat Bey Triadi Machmudin menilai penggunaan nyamuk Wolbachia untuk memutus mata rantai DBD aman.

Sebab, kata dia, hal ini telah melalui berbagai pengujian klinis secara ilmiah oleh Kementerian Kesehatan.

"Itu sudah melalui uji sebetulnya dan tujuannya baik, tentunya kita jangan terlalu reaktif (atas kritikan), jadi itu sudah diuji dulu sebelumnya."

"Tentunya nanti ada keuntungannya, kita percaya Kementerian Kesehatan sudah melakukan ujicoba dan aman," ucap Bey di Gedung Sate Bandung, Selasa (21/11/2023).

Karena itu, menurut Bey, sosialisasi perlu diperluas terutama di daerah yang diujicobakan, sehingga masyarakat bisa menerima metode Wolbachia untuk menangkal DBD.

Wolbachia merupakan bakteri yang bisa tumbuh di tubuh serangga kecuali nyamuk Aedes Aegypti.

Melalui serangkaian percobaan, peneliti dunia berhasil memasukkan bakteri Wolbachia yang mampu mencegah replikasi virus dengue, ke dalam tubuh nyamuk Aedes Aegypti.

Sehingga apabila nyamuk Aedes Aegypti menghisap darah manusia mengandung virus dengue, maka dia akan resisten dan tidak akan menyebarkan ke dalam tubuh manusia yang lain.

Bakteri Wolbachia bisa ditransfer melalui telur dan aman untuk manusia.

Apabila nyamuk betina ber-wolbachia kawin dengan jantan tak berwolbachia, seluruh telurnya akan ber-wolbachia.

Jika nyamuk jantan ber-wolcahia kawin dengan betina tak ber-wolbachia, maka telurnya tak akan menetas.

Jika jantan dan betina ber-wolbachia kawin, maka keturunannya otomatis akan ber-wolbachia.

Namun demikian, epidemiolog Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengingatkan Kementerian Kesehatan berhati-hati dengan penggunaan metode Wolbachia untuk mencegah DBD, karena berpotensi membentuk mutasi baru.

Dinkes Jabar mencatat dari Januari-Juni 2023 ada 7.512 kasus DBD di Jabar, 49 di antaranya meninggal dunia.

Kota Bandung penyumbang kasus DBD terbanyak di Jabar dengan 1.021 kasus, sedangkan yang paling sedikit Kota Banjar 20 kasus.

https://bandung.kompas.com/read/2023/11/23/053000678/kadinkes-jabar--tidak-ada-rekayasa-genetika-soal-nyamuk-wolbachia

Terkini Lainnya

Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Regional
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com