Salin Artikel

Duduk Perkara Kejaksaan Hentikan Kasus Pria Bunuh Pencuri di Banten, Sebut Bentuk Pembelaan Terpaksa

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten melihat bahwa apa yang dilakukan M merupakan bentuk pembelaan diri. Polres Serang Kota yang menyidik kasus itu menerima keputusan kejaksaan.

Sebelumnya, pihak keluarga berharap agar M dibebaskan karena ia berupaya membela diri dari serangan pencuri. M dituduh melakukan penganiayaan berat terhadap pencuri di kandang kambingnya hingga meninggal.

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD ikut mengomentari kasus ini. Menurutnya, seseorang yang melakukan tindak pidana dalam rangka membela diri atau karena keadaan terpaksa, tidak bisa dipidana.

Tapi sekali lagi, ia menekankan ini tergantung pembuktian: "Apakah betul dia terpaksa?“

Pakar hukum pidana menilai polemik dalam kasus-kasus belapaksa disebabkan karena "penegak hukum tidak paham konsep hukum belapaksa“, termasuk belum ada kerangka kerja yang jelas untuk menentukan kasus dalam koridor ini.

"Tidak dapat dipidana karena pembelaan terpaksa"

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten memutuskan untuk menghentikan kasus pembunuhan yang dilakukan oleh M dan tidak melimpahkannya ke pengadilan, dengan mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2).

Berdasarkan hasil ekspose atau gelar perkara, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Banten Didik Farkhan mengatakan bahwa apa yang dilakukan M merupakan bentuk pembelaan terpaksa.

"Karena setelah dilakukan penggalian jaksa dan kami sesuai pasal 49 KUHP ada satu tidak dapat dipidana atau bahasanya noodweer karena pembelaan terpaksa. Jadi berdasarkan pasal itu sesuai juga dengan pasal 139 KUHAP, kita nyatakan perkara itu close dan kita tidak limpahkan ke pengadilan," kata Didik di Banten, Jumat (15/12).

Di tempat yang sama, Kapolresta Serang Kota Kombes Pol Sofwan Hermanto mengatakan menerima keputusan yang telah dikeluarkan oleh jaksa. Ia mengajak masyarakat agar bisa menghormati keputusan yang sudah ditetapkan.

"Semua keputusan tentunya kami serahkan kepada kejaksaan dan mari kita sama hormati dan patuhi keputusan ini," katanya.

Lebih lanjut, Didik mengatakan, berdasarkan hasil visum et repertum disimpulkan bahwa terduga pencuri itu meninggal dunia akibat pendarahan, bukan secara langsung karena perbuatan M yang menusukkan gunting ke bagian dada korban.

Dari berkas perkara terungkap bahwa korban sempat meminta bantuan seorang saksi (terpidana yang melakukan pencurian yang sudah dijatuhi pidana selama satu tahun penjara) untuk menolongnya, akan tetapi karena tidak ditolong maka korban meninggal di area persawahan.

Selain itu, merujuk pada berkas perkara juga diperoleh fakta bahwa M melakukan perlawanan karena merasa terancam oleh korban yang membawa sebilah golok.

Saat didatangi wartawan Yandhi Delastama yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, pria 58 tahun sedang duduk lesu di atas tikar. Sesekali ia mengelus dadanya karena terbatuk-batuk.

M sempat mendekam di Rutan Klas IIB Serang selama satu pekan, sebelum akhirnya penahanannya ditangguhkan Rabu (13/12) kemarin.

"Dari sana [penjara], keluar, sakit nge-drop. Batuk-batuk saja semalaman, pas pulang dari sana. Terus berobat, didiagnosis paru-parunya kambuh,” kata sang istri, Rosehah, Jumat (15/12).

Rosehah kembali menceritakan peristiwa kelam Februari lalu, saat suaminya M bertarung mempertahankan kambing yang dijaganya dari dua orang maling.

“Bapak di sana. Ada maling. Satu menunggu di pintu. Satu lagi masuk. Pas maling bawa [kambing], [sempat] cabut golok. Kan bapak bela diri itu. Terus [malingnya] langsung kabur,” kata Rosehah tanpa menyebut detail bagaimana salah satu maling terluka, dan ditemukan tewas di sawah siang harinya.

Ia hanya berharap suaminya dibebaskan karena upaya yang dilakukan adalah "bela diri”.

"Harapannya ingin bebas, kalau ditahan, [dia] itu tulang punggung keluarga kami sehari-harinya. Makan cari dulu, baru makan,” tambah Rosehah.

Ia menambahkan bahwa kasus yang dialami suaminya sama dengan kasus bela diri dari begal.

Sebelumnya, Kepolisian Serang Kota mengatakan proses hukum pria Banten berinsial M, yang ditetapkan sebagai tersangka pembunuh seorang pencuri akan segera masuk persidangan.

“Saat ini telah dilimpahkan di kejaksaan, karena dinyatakan berkas telah P21, untuk putusannya apakah saudara M tersebut bersalah atau tidak, kami serahkan di pengadilan,” kata Kapolres Serang Kota, Kombes Pol Sofwan Hermanto kepada wartawan Yandhi Delastama yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (15/12).

Kasusnya terjadi 24 Februari 2023 silam.

Menurut kepolisian pencurian terjadi sekitar pukul 03.24 dini hari. Saat itu, M mendengar bunyi dari tali yang dipasang di kandang kambing yang dijaganya.

Kemudian, M memergoki pelaku berinisial W sedang memegang leher kambing.

"Hasil keterangan dari saudara M, saudara M mengambil gunting yang ada di dekatnya, menghampiri dan mendekati saudara W, dan menusukkan gunting di bagian dada,“ kata Sofwan Hermanto.

"Namun, sampai saat ini kami belum mendapatkan keterangan saksi yang mendukung keterangan saudara M, yang mana saksi pada saat itu, hanya saudara P atau rekan yang diajak mencuri oleh saudara W,“ tambah Sofwan.

"Menurut keterangan dari saudara P, kondisi malam itu sangat gelap, bahkan tidak bisa melihat.“

Dari hasil penyelidikan, kepolisian mengumpulkan alat bukti berupa keterangan para saksi dan petunjuk berupa kroscek keterangan dari para saksi. Sementara barang buktinya adalah hasil otopsi, dan visum yang didukung keterangan ahli.

“Ini yang menjadi pertimbangan kita menetapkan tersangka,“ kata Sofwan.

Di sisi lain, pengacara M, Syeh Hendrawan berkesimpulan saat peristiwa terjadi kliennya dalam keadaan terdesak dan terancam nyawanya.

"Hasil dari pada analisa kami, pada saat Pak M melihat di kandang kambing, ia sudah melihat dari pihak pelaku itu mengeluarkan senjata tajam dari serangkanya,“ katanya.

Menurut versi pengacara, pelaku pencurian yang tewas itu sebelumnya sudah menunjukkan indikasi serangan.

"Akan tetapi dari Pak M sendiri lebih sigap dari pada korban. Pada akhirnya, Pak M memenangkan duel,“ katanya, seraya menambahkan bahwa peristiwa ini terjadi di pekarangan milik M.

Hendrawan mengatakan, pihaknya sudah menyiapkan argumentasi dan alat bukti yang menguatkan kliennya tidak bisa dipidana.

"Dari alat bukti dan saksi-saksi, di mana saat terjadi di lokasi TKP, itu tidak ada saksi yang melihat adanya penusukan yang disengaja oleh Pak M,“ katanya.

Menurutnya, seseorang yang melakukan tindak pidana dalam rangka membela diri atau karena keadaan terpaksa, tidak bisa dipidana.

"Jadi orang melakukan tindak pidana karena, satu, membela diri. Dua, karena keadaan terpaksa, menurut hukum tidak bisa dipidana," kata Mahfud Md kepada media, Jumat (15/12).

Ia memberi contoh kasus yang pernah melibatkan korban begal di Kota Bekasi, Jawa Barat, Irfan Bahri dan Ahmad Rofik. Keduanya membela diri dari begal bercelurit, sampai berakhir si pelaku tewas pada peristiwa 2018.

Baik Irfan dan Rofik ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan. Tapi saat itu, Mahfud MD melaporkan peristiwa ini ke Presiden Joko Widodo apa yang ia sebut, "Ini enggak benar".

Setelah mendapat perhatian dari Istana, status tersangka Irfan dan Rofik dicabut. Keduanya justru mendapat piagam penghargaan dari polisi karena berani melawan begal.

"Saya lapor ke presiden, Pak ini enggak benar. Menurut undang-undang, orang yang begini tidak dihukum, malah kemudian ketika itu mendapat perhatian Istana," kata Mahfud.

Dalam kasus yang terbaru melibatkan pria Banten, kata Mahfud, tergantung dari pembuktiannya.

"Apakah betul dia terpaksa. Tapi kalau orang membela diri, melindungi hartanya, melindungi jiwanya itu, tidak boleh dihukum," katanya.

Sejauh mana KUHP melindungi orang yang membela diri dari ancaman?

Peneliti hukum dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitah Sari mengatakan, Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lama maupun hasil revisi, tetap mengakomodir konsep daya paksa (overmatch) dan pembelaan terpaksa (noodweer).

“Secara teori itu sudah clear,“ katanya.

KUHP yang baru termuat dalam Undang Undang No. 1 tahun 2023 tentang KUHP. Dalam Pasal 42 mengatakan:

"Setiap orang yang melakukan Tindak Pidana, tidak dipidana karena: a. dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan; atau, b. dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari.“

Dalam KUHP yang lama, penjelasan soal ini ada juga dalam Pasal 48 yang berbunyi:

"Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana."

Lalu, dalam konsep pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer-exces) di KUHP terbaru termuat dalam Pasal 34 (dalam KUHP lama hal ini termuat dalam Pasal 49):

"Setiap orang yang terpaksa melakukan perbuatan yang dilarang tidak dipidana, jika perbuatan tersebut dilakukan karena pembelaan terhadap serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan dalam arti kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain.“

Dan, Pasal 43 KUHP teranyar berbunyi:

"Setiap orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum, tidak dipidana.“

Menurut Ifti, kemunculan polemik kasus seperti di Banten lantaran adanya persoalan dalam penetapan perkaranya oleh aparat penegak hukum.

Dia menambahkan, tidak seluruh aparat penegak hukum memiliki latar belakang pendidikan hukum yang mumpuni di tingkat penentapan kasus.

"Kalau bicara kepolisian, itu tidak semuanya sarjana hukum. Bahkan, mereka tidak diwajibkan jadi sarjana hukum kayak jaksa,“ katanya.

Selain itu, kata Ifti, "Kita masih belum punya framework [kerangka kerja] yang jelas juga, misalnya menentukan daya paksa, ada indikasinya, maka dia, bisa langsung dihentikan [kasusnya]“.

Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Ganjar Laksmana Bonaprapta mengatakan ada sejumlah syarat tindakan pidana yang tidak bisa dipenjara, apa yang disebut "belapaksa“. Syarat itu antara lain:

  • Ada serangan/ancaman serangan;
  • yang melawan hukum;
  • Seketika itu;
  • Ditujukan kepada (keselamatan tubuh) diri sendiri atau orang lain, atau keselamatan harta benda sendiri atau orang lain, atau kehormatan kesusilaan diri sendiri atau orang lain.

"Selain itu ada syarat tambahan yaitu proporsionalitas perbuatan dibanding serangan, dan subsidiaritas perbuatan karena tidak ada pilihan selain beladiri,“ kata Bona – sapaan Ganjar Laksmana Bonaprapta – dalam keterangan tertulis kepada BBC News Indonesia.

Menurutnya, polemik tentang kasus belapaksa yang berakhir pada pembunuhan terhadap pelaku pencurian terjadi karena "penegak hukum tidak paham konsep hukum belapaksa.“

"Masyarakat juga enggak paham. Tapi kalau masyarakat kita maklumi. Kalau penegak hukum?!" tambahnya.

Sofwan menyebut kasus ini berbeda dari kasus-kasus serupa, termasuk yang juga disinggung oleh Mahfud MD.

"Berbeda dari peristiwa di beberapa tempat tentang pembelaan diri, karena sudah terbukti akan melakukan penyerangan,” katanya.

Kepolisian, kata dia, juga mempertimbangkan jalur keadilan restoratif bagi M.

Akan tetapi setelah mendalaminya, kasus M tidak masuk dalam kategori keadilan restoratif karena "menghilangkan nyawa orang lain”.

"Atas dasar itu, sehingga kami meningkatkan prosesnya menjadi penyidikan supaya perkara ini terang benderang,” tambah Sofwan.

Kapolres Serang Kota juga menegaskan pihaknya telah menjalankan kasus ini sesuai prosedur, KUHAP dan Peraturan Kepolisian.

"Kami sudah berjanji dengan saudara M akan mendampingi, mengawal kasus ini, supaya M mendapatkan hukuman yang seringan-ringannya,” katanya.

Kasus korban kriminalitas dijadikan tersangka

Seperti disinggung Mahfud MD, penetapan tersangka terhadap korban pencurian yang membela diri pernah terjadi di Bekasi pada 2018.

Kasus serupa juga pernah terjadi pada 2019 di Kabupten Malang, Jawa Timur yang melibatkan seorang pelajar berinisial ZA, 17 tahun.

Beda nasib dengan kasus di Bekasi, di mana korban yang membunuh karena terancam memperoleh piagam penghargaan dari polisi, ZA justru menjadi anak yang berhadapan dengan hukum.

Pengadilan menyatakan ZA bersalah melakukan penganiayaan yang berujung kematian. Ia dihukum satu tahun pembinaan.

Kasus ini berawal saat ZA bersama teman dekatnya, V didatangi Misnan dan gerombolannya. Misnan hendak membegal ZA dan mengancam memperkosa V. ZA lantas mengambil pisau, dan menusuk Misnan hingga tewas.

Selain itu, kasus serupa pernah terjadi di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang melibatkan korban begal berinsial AS pada 2022. AS ditetapkan tersangka karena membunuh orang yang akan membegalnya.

Kasus ini sempat ramai diberikan yang ujungnya membuat Polda NTB menghentikan kasus AS. Peneliti hukum menilai kasus-kasus ini membuktikan "kepolisian perlu dibenahi".

https://bandung.kompas.com/read/2023/12/16/180000078/duduk-perkara-kejaksaan-hentikan-kasus-pria-bunuh-pencuri-di-banten-sebut

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke