Salin Artikel

Kisah Majalaya, Kota Dollar yang Pernah Berjaya di Industri Tekstil

KOMPAS.com - Kecamatan Majalaya di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pada beberapa dekade sebelumnya sempat menyandang predikat sebagai Kota Dollar.

Predikat Kota Dollar disematkan karena Majalaya pernah berjaya sebagai sentra industri tekstil yang sukses di tanah air.

Saat itu, produk tekstil yang dihasilkan di Majalaya yang tidak hanya menguasai pasar domestik, namun juga berhasil menembus pasar dunia.

Masa Kejayaan Industri Tekstil di Majalaya

Dilansir dari laman ppid.bandungkab.go.id, sejarah industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di wilayah ini berawal pada pertengahan abad ke-19.

Saat itu berdiri industri-industri tekstil yang dimotori oleh orang-orang Belanda. Namun kondisi itu tidak bertahan lama akibat krisis keuangan yang menimpa dunia yang berimbas pada perekonomian Hindia-Belanda.

Walau demikian, pada pertengahan abad ke-20 tepatnya tahun 1930-an muncul pengusaha-pengusaha lokal seperti Ondjo Argadinata yang mendirikan industri tenun rumahan menggunakan tustel (alat tenun bukan mesin).

Keterlibatan buruh-buruh di pabrik-pabrik tenun di awal tahun 1930-an kemudian memberi bekal mereka untuk membuka usaha tenun sendiri.

Saat pasar semakin terbuka, pabrik-pabrik tenun ini dengan mudah mengambil kesempatan tersebut karena modal yang diperlukan untuk membeli alat tenun masih murah dan bahan baku bisa diperoleh dari para pengusaha.

Hal ini yang membuat pada masa-masa berikutnya, industri tenun rumahan di Majalaya semakin menjamur di mana-mana.

Hampir setiap penduduk Majalaya memiliki peralatan tenun dan membuka usaha tenun sendiri.

Pada tahun 1937, industri tekstil Majalaya memulai fase baru yang lebih baik dengan berdirinya pabrik yang menggunakan alat tenun mesin (ATM) pertama di Majalaya, yaitu pabrik Tawakal milik H. Abdul Ghani.

Ketika jalur kereta api dari Bandung ke Majalaya diperluas, perkembangan industri tekstil Majalaya juga semakin membaik.

Kondisi ini kemudian disikapi oleh para pengusaha Cina sebagai peluang untuk berinvestasi dengan membangun beberapa pabrik tekstil di Majalaya.

Saat itu, pabrik Cina pertama yaitu "Bintang Tujuh" berdiri yang kemudian diikuti oleh pabrik-pabrik milik pengusaha Cina lainnya.

Di masa ini, sejarah Majalaya sebagai Kota Tekstil bermula. Industri tekstil di Majalaya mampu menghasilkan aneka ragam produk tekstil seperti sarung, kain untuk bahan pakaian, handuk, benang, kain kasur dan lain-lain.

Industri tekstil Majalaya sempat memburuk ketika di tahun 1942,  saat terjadi penjajahan Jepang atas Indonesia.

Jepang sempat melarang masuknya impor bahan baku dan bahan pewarna, serta melakukan pengambilalihan semua industri tekstil di Majalaya.

Masa kelam itu berlalu setelah Indonesia merdeka, di mana Majalaya dijadikan sebagai pusat tekstil nasional guna memenuhi kebutuhan sandang yang waktu itu masih ditopang oleh barang impor.

Oleh karena itu pada masa pasca-kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1960-an, industri tekstil Majalaya sempat bangkit kembali.

Dalam penelitian Matsuo H (The Development of Javaneses Cotton Industry, 1970) disebutkan bahwa industri tenun Majalaya mencapai puncaknya pada awal 1960-an.

Dengan menguasai 40 persen dari total produksi kain di Indonesia, Majalaya menguasai 25 persen dari 12.882 alat tenun mesin (ATM) di Jawa Barat pada akhir 1964.

Namun jika ditelusuri, pada saat yang sama para pengusaha tenun lokal sudah mulai kehilangan pengaruhnya.

Sehingga untuk mempertahankan kelangsungan produksi, banyak perusahaan lokal yang beralih ke sistem maklun.

Industri tenun rumahan juga sudah mulai tergeser dan bangkrut karena tidak mampu bersaing dengan produk yang dihasilkan oleh ATM.

Sementara dilansir dari pemberitaan Kompas.id (05/06/2023), masa keemasan Majalaya terjadi pada dekade 80-90-an.

Saat itu, sangat mudah menjual tekstil karena permintaan datang terus-menerus setiap hari. Pabrik juga tidak pernah kekurangan permintaan dari pasar dalam negeri, begitupun untuk memasuki pasar ekspor juga tidak sulit.

Terlebih ketika terjadi gejolak moneter tahun 1998, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang melemah justru menguntungkan. Dengan volume ekspor yang sama, eksportir TPT di Majalaya dapat mendulang pendapatan yang berlipat.

Bahkan untuk memenuhi permintaan pasar saat Lebaran, pabrik sudah bersiap dari 6 bulan sebelumnya. Untuk itu, pabrik akan sibuk dengan pekerja yang lembur sejak siang hingga malam.

Selain itu, antrean truk yang membawa barang biasanya akan terlihat mengular di sepanjang jalan Majalaya.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Majalaya Aep Hendar menyebut bahwa julukan Kota Dollar saat itu memang tidak berlebihan.

”Kalau dulu Majalaya dijuluki Kota Dollar, ya, memang tidak berlebihan. Duitnya pengusaha tekstil itu dulu memang banyak,” ujar Aep, seperti dikutip dari Kompas.id.

Dulu, pabrik-pabrik di Majalaya ini memproduksi berbagai jenis TPT, mulai dari pakaian, celana, jaket, sarung, handuk, sprei, sorban, gamis, hingga kaus kaki.

Adapun kain sarung menjadi ciri khas produk TPT dari Majalaya,yang dahulu masih dikerjakan secara tradisional dengan alat tenun.

Penjualan produk TPT dari Majalaya pun pernah mencapai puncaknya. Produk tersebut tidak hanya dijual untuk memenuhi permintaan di seluruh penjuru Tanah Air, tetapi juga diekspor ke Asia Tenggara, Timur Tengah, Eropa, dan Amerika Serikat.

Untuk memenuhi permintaan tersebut, setiap pabrik rata-rata mempekerjakan 50-100 orang.

Namun, saat ini jumlahnya terus menurun karena banyak pabrik yang harus melakukan efisiensi dengan mengurangi jumlah hari produksi.

Julukan Kota Dollar yang Tinggal Kenangan

Kisah kejayaan industri tekstil Majalaya saat ini memang tidak semanis dulu. Beberapa menyebut julukan Kota Dollar hanya tinggal kenangan.

Saat ini, kondisi pabrik TPT di Majalaya memang sudah jauh berbeda dan tidak gemerlap seperti dulu.

Fenomena menurunnya industri TPT mulai terasa di tahun 2000-an saat negara-negara lain mulai kencang mengembangkan industri TPT di wilayahnya.

Tidak hanya itu, gempuran produk impor yang masuk ke dalam negeri di saat yang sama membuat posisi pengusaha industri TPT semakin terhimpit.

Pengusaha mulai menghadapi kesulitan akibat ongkos produksi yang terus naik, mulai dari kenaikan upah pekerja, tarif listrik, hingga harga bahan baku.

Belum lagi permintaan dari pasar menurun drastis, yang membuat banyak pabrik kecil kesulitan keuangan.

Hal ini membuat keuntungan semakin menipis yang kemudian membuat industri TPT di Majalaya terus meredup.

”Sudah lunturlah predikat Kota Dollar di Majalaya. Sekarang, jangankan panen foya-foya dollar AS, kami setengah mati menjaga agar pabrik ini bisa bertahan saja sudah bagus,” kata Aep.

Terdampak Predatory Pricing di Social Commerce

Dilansir dari pemberitaan tribunnews.com (25/9/2023), praktik predatory pricing di platform social commerce berdampak pada para pelaku usaha dan industri tekstil di Jawa Barat (Jabar), termasuk di Majalaya.

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan, predatory pricing ini memukul pedagang offline dari sektor produksi konveksi.

"Industri tekstil juga dibanjiri produk dari luar yang sangat murah," kata Teten dalam kunjungannya ke beberapa pabrik tekstil di Majalaya, Kabupaten Bandung, Jabar, dikutip dari keterangan tertulis, Senin (25/9/2023).

Teten mengatakan, para pelaku usaha tekstil mengalami penurunan permintaan, sehingga menekan omzet. Bahkan, hal ini juga mengakibatkan penurunan produksi dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi pegawai UMKM.

Ia menyebut bahwa hal itu yang kini terjadi di Majalaya, di mana biasanya para penduduk di situ menjalani usaha pertekstilan.

Teten turut mengatakan, produk tersebut kalah bersaing bukan karena kualitas, namun karena persoalan harga yang tidak masuk Harga Pokok Penjualan (HPP) pelaku UKM/IKM tekstil.

Menurutnya, hal itu terjadi juga karena didorong adanya aturan safe guard yang tidak berjalan dengan semestinya.

Maka dari itu, Teten memastikan pihaknya tengah berupaya membenahi dan berkoordinasi perihal ini dengan Menteri Sekretaris Negara untuk menentukan bagaimana langkah ke depan.

"Sebab sekali lagi, kewenangan ini ada di Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu)," katanya.

Ia mengatakan, Presiden Jokowi pun sudah mengatakan bahwa secepatnya ada Undang-Undang yang mengaturnya.

Mantan Kepala Staf Kepresidenan itu menyebut Jokowi sudah menyampaikan akan meninjau kembali perdagangan online, yang dalam waktu dekat akan dibahas.

"Itu termasuk yang sudah kita usulkan (dalam revisi) Permendag Nomor 50 Tahun 2020 dan sudah selesai, tinggal ditetapkan saja," kata Teten.

Lebih lanjut, Teten juga merasa perlu ada HPP khusus di produk tekstil. Sebab di China sendiri, mereka menerapkan model barang masuk di sana tidak boleh di bawah HPP.

"Kalau kita terapkan itu, bisa melindungi industri dalam negeri," kata Teten.

Sumber:
ppid.bandungkab.go.id  
antaranews.com  
kompas.id  
tribunnews.com  

https://bandung.kompas.com/read/2023/12/24/215757178/kisah-majalaya-kota-dollar-yang-pernah-berjaya-di-industri-tekstil

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke