Salin Artikel

Cerita Yani Selamat dari TPPO, Gemetar dan Menangis Saat Diberi Tahu Polisi

Yani hendak diterbangkan ke Qatar melalui Bandara I Gusti Ngurah Rai Denpasar, Bali pada 26 Juni 2023 lalu. Tak hanya dia, tiga kawan lainnya pun turut serta terselamatkan. 

Gemetar dan menangis

Kepada awak media, Yani mengaku kaget saat petugas kepolisian di bandara memberhentikan mereka. 

Pasalnya, oknum (calo) yang menawarkan pemberangkatan ke Qatar menyebut pemberangkatan mereka bersifat legal atau resmi.

Petugas kemudian memberi tahu Yani dan tiga temannya bahwa mereka akan dijual atau dengan kata lain menjadi korban TPPO.

"Ya kami kaget aja. Karena sebelumnya yang saya tahu ya resmi aja. Soalnya tujuan saya mau kerja, tiba-tiba kok begini. Saya dikasih tahu sama polisi di Bali bahwa itu adalah ilegal. Jadi saya dan teman saya mau dijual perdagangan manusia. Di situ saya gemetar sampai nangis dan mau pingsan. Tapi pak polisi di sana menenangkan saya," kata dia saat ditemui di Kecamatan Pacet, Rabu (27/12/2023). 

Menurut Yani, kedua orang calo yang memberangkatkan mereka, mengiming-imingi dengan sejumlah uang. 

Yani mengatakan ditawari uang sebesar Rp 15 juta. Lantaran, terimpit persoalan ekonomi, ia mengaku tergiur. 

Uang tersebut, kata Yani, akan dibayarkan secara full kepadanya, jika Yani terbukti sehat dan siap dipekerjakan di Qatar. Namun, hingga kini, ia hanya menerima uang Rp 10 juta. 

"Ya diiminginya kalau hasilnya fit, akan dikasih uang Rp 15 juta. Jadi uang itu kalau saya sehat. Karena saya medicalnya lulus, saya sempat dikasih uang. Dikasihnya pertama Rp 1,5 juta, kedua Rp 3,5 juta, pas mau berangkat ngasih Rp 5 juta. Jadi yang masuk ke saya Rp 10 juta," jelas dia.

Selain itu, ia juga dijanjikan mendapat gaji sebesar Rp 6,5 juta per bulan. 

"Saya enggak ngeluarin seperser pun ke dia. Cuma dijanjiin kerja di Qatar sebagai Asisten Rumah Tangga (ART) dengan gaji minimal 1.500 Riyal satu bulannya," terang dia. 

Usai melakukan perjanjian, Yani dan ketiga rekannya langsung diberangkatkan ke Purwakarta, untuk selanjutnya menginap di Jakarta. 

"Terus ngekos semalam di Jakarta. Kemudian sekitar jam 12 malam berikutnya pergi ke Bali. Nyampai di Bali pagi-pagi. Terus jam 11 siang mau berangkat atau boarding ke Qatar," ujar dia. 

Sebelum kembali ke kampung halamannya, Yani mengaku sempat diperiksa oleh polisi di Denpasar. 

"Jadi sempat di BAP dulu di Denpasar. Terus langsung dianter oleh petugas BP2MI sampai rumah," ungkapnya. 

Yani mengatakan ini bukan pertama kalinya ia berangkat bekerja di luar negeri. 

Saat ini, keinginan Yani untuk menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) harus tertunda.

"Trauma sih gimana ya, pasti ada. Cuma karena memang saya pergi ke sana bukan pertama kali. Kalau rencana pergi belum ada. Soalnya paspor masih ditahan. Jadi bersyukur sekarang keburu ketahuan. Kalau ketahuannya saya saat di sana, duh enggak tahu deh nasib saya," paparnya. 

Sebelumnya, Yani mengatakan pernah bekerja di luar negeri empat kali di berbagai negara. Namun, perjalanan sebelumnya ia tempuh dengan jalur legal. 

"Saya pertama ke Jeddah dua tahun, Afwa dua tahun, di Oman dua tahun lebih, terus di Riyadh paling lama lima tahun enam bulan. Yang terakhir kelima keburu digagalkan, karena ternyata ilegal," kata dia. 

Perbedaan pemberangkatan legal 

Selain faktor ekonomi, alasan Yani tetap bersikukuh pergi ke Qatar lantaran sudah memiliki pengalaman. 

Hal itu juga yang membuatnya tidak melakukan kroscek terlebih dahulu terkait agen pemberangkatan. 

"Ya percaya karena saya juga bukan pertama kali. Udah empat kali, sama yang digagalkan kemarin yang ke lima kali. Jadi saya percaya aja. Saya udah pegang paspor sendiri. Jadi lima kali itu agen yang beda," tuturnya. 

"Saya enggak cek, soalnya yang saya kenalnya sponsor dalam. Cuma dikasih tahu katanya ada penjemputan dari agen. Kalau yang ke Riyadh resmi. Kalau yang ini enggak resmi. Jadi sisanya semua resmi," sambungnya. 

Yani mengungkapkan ada perbedaan antara pemberangkatan legal dan tidak, salah satunya soal pelatihan. 

Ia mengatakan, untuk pemberangkatan terakhir tidak ada pelatihan, berbeda dengan perjalanan sebelumnya. 

"Enggak ada pelatihan. Kalau dulu mah ada pelatihan," bebernya. 

Selain itu, perbedaan syarat pun, kata dia, menjadi hal yang mencolok. 

"Ya jauh berbeda. Surat-suratnya enggak komplit, cuma diminta paspor doang. Kalau sebelumnya ada surat izin orang tua, atau izin suami. Kalau ini mah enggak," ungkap dia. 

Kendati, begitu ia mengatakan tidak ada perbedaan soal pemberangkatan. 

"Justru itu enggak ada yang beda. Enggak ada syarat khusus, cuma diminta paspor doang," kata Yani. 

Yani berharap tidak ada lagi warga yang menjadi korban TPPO.

"Pesan buat teman-teman yang akan berangkat. Ya sekarang mah harus teliti aja, apa persyatannya. Jangan sampai tergiur sama uang Fit yang gede, yang diiming-imingi. Jangan sampai ada korban lagi seperti saya," pungkasnya.

https://bandung.kompas.com/read/2023/12/27/192735678/cerita-yani-selamat-dari-tppo-gemetar-dan-menangis-saat-diberi-tahu-polisi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke