Salin Artikel

Menyoal Tawaran ITB untuk Mahasiswa Bayar Kuliah Pakai Pinjol, Bunga Capai 20 Persen

Menurut Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPR) Ubaid Matraji, skema ini berpotensi menjerat mahasiswa dalam lilitan utang yang ketika gagal bayar dapat berujung pada praktik intimidasi.

"Orang yang jelas-jelas tidak mampu itu punya hak dibantu, tapi ini tidak. Dibikin celah pinjol supaya mereka secara sistemik terbelit utang dan tidak bisa bayar, apalagi ada intimidasi. Itu seni pemerasan,” kata Ubaid kepada wartawan BBC News Indonesia, Jumat (26/01).

Senada dengan itu, seorang mahasiswa ITB yang tidak mau disebutkan namanya mengaku kini terancam tidak bisa menuntaskan studinya. "Nggak bisa bayar, ya nggak bisa kuliah," katanya.

Kerja sama ITB dan Danacita menjadi perbincangan di media sosial setelah akun @ITBfess mengunggah cuitan kritik atas skema pinjol itu di aplikasi X, dulu bernama Twitter.

Akun itu mengkritik skema pinjol dalam dunia pendidikan karena memiliki bunga yang disebut besar. Kebijakan UKT ITB juga disebut ‘mencekik’ mahasiwa.

Kepala Biro Komunikasi dan Hubungan Masyarakat ITB, Naomi Haswanto, menolak tudingan yang diungkapkan oleh Ubaid Matraji.

“Apakah Pak Ubaid sudah membaca atau membuka platform Danacita? Di sana ada PTN dan PTS lain yang bekerja sama dengan lembaga tersebut,” katanya.

Selain itu, Naomi menambahkan, sistem tersebut menguntungkan mahasiwa karena mendapat kemudahan dalam membayar uang kuliah sesuai dengan kemampuan.

Kini dia terancam tak bisa menuntaskan studinya.

"Sekarang saya lagi menunggu keputusan pihak kampus untuk mendapat kepastian apakah bisa lanjut..." paparnya kepada BBC News Indonesia, Jumat (26/12).

Mahasiswa ITB ini bercerita keputusan masuk ke universitas tersebut "agak nekat" lantaran kondisi finansial keluarganya tidak terlalu mapan.

Kedua orang tuanya membuka usaha sendiri sehingga tak memiliki penghasilan tetap. Ketika pandemi Covid-19 melanda, usaha keluarganya goyah dan dampaknya masih terasa sampai sekarang.

Tapi yang membuat Budi berkeras ingin masuk ITB karena ada komitmen tak tertulis yang digaungkan kampus bahwa "ITB tidak akan pernah mengeluarkan mahasiswanya karena masalah ekonomi".

Untuk diketahui, Uang Kuliah Tunggal (UKT) per semesternya mencapai belasan juta rupiah.

Semula, dia sanggup membayar UKT secara teratur. Namun pembayaran mulai tersendat di semester tengah. Ia pun terpaksa mengajukan penangguhan biaya perkuliahan dan disetujui pihak kampus.

Sebelum mengajukan penangguhan itu, dia sempat minta keringanan biaya kuliah. Hanya saja, setiap kali mendaftar, gagal.

"Hampir setiap semester saya mengajukan keringanan lewat sistem, tapi enggak bisa di-submit. Cuma bisa unggah dokumen saja."

"Padahal saya sudah berikan semua surat-surat yang dibutuhkan, karena kondisi saya memang pantas mendapatkan keringanan, apalagi kena goncangan ekonomi post-covid."

Budi mengaku cukup beruntung karena pada masa itu, meskipun diberikan penangguhan, tapi tetap bisa mengikuti perkuliahan.

Situasinya berubah ketika ada peraturan baru yang menyebut bahwa mahasiswa harus membayar dulu UKT setidaknya 40% untuk bisa mengikuti kelas.

"Kalau nggak bisa bayar, ya nggak bisa kuliah. Orang tua saya jadi harus pinjam sana-sini untuk bayar."

Dengan besaran tunggakan UKT yang mencapai puluhan juta rupiah, Budi mengaku bingung lantaran terancam tak bisa menyelesaikan studinya.

Di saat itulah pihak kampus menyarankannya mengajukan pinjaman online lewat platform Danacita.

Ia pun tak punya pilihan lain. "Meski saya tahu ini bukan langkah yang cerdas, tapi saya tidak punya solusi lain."

"Jadi saya ajukan pinjaman sebesar tunggakan tersebut dengan tenor terpanjang yakni 12 bulan. Saya hitung-hitung, selisih utang dan uang yang harus saya kembalikan sekitar 20%."

Dia menilai skema pinjol tidak etis diberlakukan oleh institusi pendidikan. Apalagi sampai kerja sama dengan platform yang menerapkan bunga yang disebutnya "sangat menjerat dan seperti diperas".

"Student loans di luar negeri memang diadaptasi, tapi pengembaliannya panjang, tidak 12 bulan... bahkan ada sampai 10 tahun kerja."

"Ini tenornya tidak manusiawi dan bunganya besar. Padahal ini kan untuk pendidikan."

Kini, dia hanya berharap ada orang yang berbaik hati bersedia meminjamkan uang dan sebagai gantinya ia siap mengganti dengan ketentuan yang disepakati bersama.

Selain itu @ITBfess juga mengkritik kerja sama itu karena memberatkan mahasiswa, “bajigurr, solusi yang ditawarin itb! , gede lagi anjir bunganya”

Dilansir dari situs Danacita, setiap pinjaman untuk cicilan 12 bulan dikenakan biaya bulanan platform 1,75% dan biaya persetujuan 3%. Kemudian, cicilan enam bulan dikenakan biaya bulanan platform 1,6% dan biaya persetujuan 3%.

Artinya, jika meminjam Rp15 juta, maka estimasi total pengembalian selama enam bulan sebesar Rp16.890.000, sedangkan 12 bulan menjadi Rp18.600.000, dan 18 bulan yaitu Rp20.310.012, serta 24 bulan sebesar Rp22.650.000.

Selain ITB, Danacita juga berkerja sama dengan banyak universitas baik swasta maupun negeri, serta lembaga kursus lainnya.

Danacita merupakan platform dengan solusi pendanaan bagi pelajar, mahasiswa, maupun tenaga profesional untuk menempuh studi di lembaga pendidikan tinggi dan program kejuruan.

“Kami bertujuan untuk memberikan akses pendidikan untuk semua dengan menghadirkan pendanaan pendidikan terjangkau bagi para pelajar, mahasiswa, maupun tenaga profesional yang ingin meningkatkan kapasitas diri,” tulis dalam situsnya, menyebut telah berizin dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), anggota dari AFPI, dan PSE terdaftar di Kominfo.

Akar masalah yang terjadi di ITB

Ketua Kabinet Keluarga Mahasiswa (KM) ITB, Yogi Syahputra mengatakan, munculnya skema pinjol berakar dari kebijakan ITB yang dia sebut “tidak berprikemanusiaan”, yaitu memaksa mahasiswa yang tidak mampu bayar terancam cuti kuliah.

Yogi mengatakan, kini banyak mahasiswa yang tidak bisa memilih mata kuliah untuk semester berikutnya karena memiliki tunggakan di semester sebelumnya.

“ITB memaksa cuti teman-teman yang masih memiliki tunggakan dan tidak bisa membayar UKT-nya, bahkan beberapa teman-teman kita ada yang tunggakannya sampai Rp50 juta, sampai Rp100 juta yang bahkan gaji orang tuanya itu cuma UMR,” kata Yogi.

Di tengah tunggakan itu, kata Yogi, ITB lalu menawarkan opsi kepada mahasiswa untuk melakukan pinjol.

Alih-alih memberi manfaat, kata Yogi, skema pinjol itu malah memberikan bunga yang sangat besar dan memberatkan mahasiswa.

“Ini sampai 20%. ITB ini kan lembaga pendidikan, bukan lembaga keuangan, kok tega sih memperlakukan mahasiswanya kayak gini,” katanya.

Untuk itu, kata Yogi, KM ITB menolak segala bentuk komersialisasi dari mekanisme pembayaran UKT yang ada di ITB.

“Prioritas ITB seharusnya adalah pada membantu mahasiswanya dengan ragam mekanisme yang meringankan, bukan malah mencari keuntungan dengan bekerja sama dengan lembaga pinjaman online berbunga,” katanya.

Undang-Undang tersebut, kata Ubaid, telah mengubah status perguruan tinggi negeri sebagai badan hukum publik yang otonom atau disebut Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH).

Yang artinya kampus diberikan hak penuh untuk melakukan komersialisasi dalam mengelola keuangan.

"Jadi apa saja kegiatan yang berpotensi menghasilan profit, diperbolehkan, termasuk menarik uang per semester dengan jumlah berapa juga boleh..." ujar Ubaid Matraji kepada BBC News Indonesia, Jumat (26/12).

Tapi dengan lahirnya UU Pendidikan Tinggi telah menggeser arah pendidikan di Indonesia ke privatisasi dan komersialisasi, jelas Ubaid.

Imbasnya, kata Ubaid, mahasiswa yang kurang dan tidak mampu mengalami kesulitan dalam mengakses pendidikan tinggi lantaran besarnya uang kuliah yang ditetapkan pihak kampus.

Salah satu contoh kasus dari buruknya sistem PTNBH, sambungnya, terjadi pada awal Januari 2023.

Kala itu, seorang mahasiswa di Universitas Negeri Yogyakarta yang tidak mampu membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT), terpaksa cuti kuliah untuk bekerja demi membayar UKT semester. Namun di pertengahan jalan, mahasiswa itu sakit dan akhirnya meninggal dunia.

Kasus lainnya, kata dia, banyak mahasiswa yang telah lulus kuliah tak bisa mengambil ijazah karena ditahan pihak kampus lantaran belum melunasi tunggakan UKT.

"Jadi kita harus menyadari dari pendidikan yang menuju komersialisasi ini akan ada banyak anak-anak bangsa yang tidak mampu untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, itu pasti."

"Karena akses pada perguruan tinggi akan menjadi barang mewah dan hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang punya ekonomi cukup."

Pasal 76 ayat 2 menyebutkan, pemenuhan hak mahasiswa sebagaimana dimaksud seperti di atas, dilakukan dengan cara memberikan:

  1. beasiswa kepada mahasiswa berprestasi;
  2. bantuan atau membebaskan biaya pendidikan, dan/atau;
  3. pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus atau memperoleh pekerjaan.

Akan tetapi menurut Ubaid, pasal tersebut adalah "jebakan" terutama di poin terakhir.

Sepanjang pengetahuannya tidak ada skema atau platform yang bisa meminjamkan dana 'tanpa bunga'.

"Tidak ada [skema pinjaman dana tanpa bunga]. Itu hanya pasal pemanis. Bank syariah saja ada bunganya. Pasal itu kamuflase terhadap keberpihakan kampus kepada mahasiswa," jelasnya.

Bagi Ubaid, jika benar ITB melakukan kerja sama resmi dengan pihak ketiga dan menerapkan skema seperti itu, maka sama saja kampus melakukan "pemerasan".

"Karena dilakukan secara sistemik dan korbannya banyak. Ini jelas pemerasan."

"Orang yang jelas-jelas tidak mampu punya hak dibantu, tapi ini tidak. Dibikin celah pinjol supaya mereka secara sistemik terbelit utang dan tidak bisa bayar, apalagi ada intimidasi. Itu seni pemerasan,” katanya.

Apa yang harus dilakukan pemerintah?

Ubaid berkata selama tidak ada perubahan di UU Pendidikan Tinggi dan kampus diberikan hak otonom mengelola keuangan sendiri, maka modus-modus "pemerasan" seperti ini akan terus terjadi.

Itu mengapa dia berharap ada kelompok mahasiswa yang berani mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi yang mengembalikan peran serta tanggung jawab pemerintah dalam hal pendidikan.

Dalam jangka pendek, dia mendesak Kemendikbud-Ristek-Dikti untuk segera menggelontorkan dana Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah kepada mahasiswa yang benar-benar tidak mampu di ITB.

Berbarengan dengan itu, pemerintah harus mendata uang berapa banyak mahasiswa yang masuk kategori perlu mendapatkan beasiswa KIP Kuliah.

Pendataannya, kata Ubaid, harus benar yakni dimulai dari pengajuan yang dilakukan sendiri oleh mahasiswa dan diverifikasi.

"Sehingga datanya bukan top-down lagi, tapi mahasiswa bisa ajukan diri."

“Apakah Pak Ubaid sudah membaca /membuka platform Danacita? Di sana ada PTN dan PTS lain yang bekerja sama dengan Lembaga tersebut.”

“Bunga bank lembaga pembiayaan non-bank diatur oleh OJK. Jadi kalau Pak Ubaid 'mengkritik ITB' bagaimana dengan PTN-PTS yang bekerja sama dengan LKBB tersebut, artinya semua kena kritik ya?” kata Naomi.

Naomi menjelaskan, ITB bekerja sama dengan sebuah lembaga keuangan bukan bank (LKBB) atau non-bank yang terdaftar dan diawasi OJK, serta secara khusus bergerak di bidang pendidikan.

“Selain ITB terdapat banyak PTN atau PTS yang bekerja sama dengan LKBB yang dimaksud,” kata Naomi.

Naomi mengeklaim kerja sama itu tentu menguntungkan masyarakat dan mahasiswa karena mereka akan mendapatkan kemudahan dalam membayar uang kuliah.

“Selain melalui beragam bank yang dapat dipilih; melalui virtual account (VA) dan kartu kredit master/visa, juga menyediakan opsi pilihan (system financial technology) LKBB yang akan membantu masyarakat atau mahasiswa yang tidak dapat membayar langsung melalui fasilitas cicilan,” kata Naomi.

Selain itu, Naomi menegaskan bahwa pinjol adalah satu dari bermacam opsi yang disediakan oleh ITB untuk dipilih oleh mahasiswa.

“Semua pilihan ada di tangan mahasiswa atau yang bersangkutan… Sebagai catatan, ITB sudah berumur 104 tahun di tahun ini. ITB memiliki reputasi, jadi tidak akan gegabah. ITB selalu berkontribusi untuk membangun bangsa dengan mendidik mahasiswa-mahasiswa terbaik bangsa,” katanya.

Naomi menyebut, pada Desember 2023 ada 1.800 mahasiswa yang mengajukan keringanan UKT.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.492 mahasiswa diberikan keleluasaan untuk mencicil, 184 orang mahasiswa diberikan kebijakan penurunan besaran UKT untuk satu semester, dan 124 orang mahasiswa diberikan penurunan besaran UKT secara permanen sampai yang bersangkutan lulus dari ITB.

Reportase tambahan oleh wartawan Yuli Saputra di Bandung, Jawa Barat.

https://bandung.kompas.com/read/2024/01/30/060000278/menyoal-tawaran-itb-untuk-mahasiswa-bayar-kuliah-pakai-pinjol-bunga-capai-20

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke