Salin Artikel

Petani Menjerit karena Tengkulak, Terjepit karena Lahan Menyempit

Menurut warga Pamokolan, Karangtengah, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat ini, kondisi pertanian telah berubah drastis kurun dua dasawarsa terakhir.

Dibandingkan sekarang, Unar mengaku kondisi dulu masih lebih baik. Petani memperoleh hasil panen yang melimpah dengan harga jual gabah yang tinggi.

Tak hanya itu, pupuk juga mudah didapat, tidak seperti sekarang yang harganya selangit.

Kalaupun bisa mendapatkan pupuk dengan harga murah atau yang bersubsidi, petani harus mengikuti sejumlah regulasi dan dibatasi.

Selain masalah klasik tersebut, luas sawah juga semakin menyempit akibat alih fungsi lahan yang masif serta minat masyarakat yang menurun drastis.

Di lingkungan Unar sendiri, nyaris tidak ada petani dari kalangan muda atau usia produktif. Rata-rata mereka berusia setengah abad bahkan sudah lanjut usia.

“Paling sekarang yang tersisa tinggal 20 orang-an saja. Kalau dulu masih banyak, yang muda-muda juga pada mau nyangkul. Sekarang mah kayaknya pada gengsi,” kata Unar kepada Kompas.com, Senin (4/3/2024) petang. 

Sistem tengkulak

Unar menilai, menurunnya ketertarikan masyarakat untuk bertani atau menjadi petani bukan tanpa sebab.

Alasan utamanya dari penghasilan. Terlebih, petani juga masih belum bisa berdikari karena belum bisa lepas dari sistem tengkulak. 

Para tengkulak ini tak hanya membeli gabah dari petani saat musim panen, tetapi juga memposisikan diri sebagai pemodal. 

“Kadang petani diberi modal dulu buat biaya tanamnya. Tapi, nanti hasil panennya harus dijual ke sana. Kalau kita dapatnya (untung) ya dari selisih hasil panen itu,” ucap Unar. 

"Idealnya memang kita yang jual langsung. Kalau dulu itu masih bisa dan banyak yang begitu, kalau sekarang kayaknya susah, ya itu tadi kondisinya (sistem tengkulak),” sambung dia. 

Unar mencontohkan, untuk biaya produksi termasuk belanja bibit dan pupuk dengan lahan setengah hektare, dibutuhkan biaya sebesar Rp 5 juta. 

Besaran modal tersebut, setengahnya merupakan pinjaman dari tengkulak. 

“Kalau lahannya sewa, ya lebih besar lagi biayanya. Rata-rata sewanya Rp 12 juta per hektare untuk satu kali musim tanam. Kalau saya sendiri tidak sewa, tapi maparo, bagi hasil (panen) sama yang punya lahan," ujar Unar.

Namun, sawah setengah hektar itu bukan miliknya, melainkan sewa.

Dindin harus mengeluarkan biaya Rp 6 juta untuk sewa lahan selama musim tanam atau hingga lima bulan ke depan.

Namun, Dindin tak membayarnya langsung di muka. Biaya sewa tersebut akan dibayar dengan gabah saat panen nanti.

Alhasil, saat panen tiba, Dindin mengaku kadang sama sekali tidak mendapatkan hasil, terlebih ketika harga jual gabah anjlok.

“Setiap musim panen rata-rata bisa dapat Rp 1,5 juta untuk luasan setengah hektare itu. Tapi kadang malah nombokan (minus), sering malah,” kata Dindin.

Pasalnya, penghasilannya itu masih harus dikeluarkan sebagai penambah modal untuk musim tanam berikutnya.

“Makanya kalau tidak punya penghasilan sampingan, ya petani-petani seperti kita ini repot,” ucapnya.

Karena itu, selama masa tanam, Dindin juga menanam sayuran dan palawija, bahkan terkadang kerja serabutan menjadi buruh bangunan.

Dindin dan Unar berharap, pemerintah lebih peduli terhadap nasib petani yang selama ini dirasakan mereka masih termarginalkan, baik oleh regulasi maupun kondisi ekonomi dan sosial yang ada.

https://bandung.kompas.com/read/2024/03/05/054200078/petani-menjerit-karena-tengkulak-terjepit-karena-lahan-menyempit

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke