Salin Artikel

Tradisi Munggahan Jelang Ramadhan Khas Masyarakat Sunda Jawa Barat

Masyarakat Sunda khususnya di wilayah Bandung, Jawa Barat, ada tradisi munggahan yang rutin dilakukan oleh warganya setiap menjelang Ramadhan.

Kekinian, sepintas tradisi munggahan ini mirip seperti botram atau makan bersama dengan sanak keluarga hingga orang terkasih.

Seperti yang dilakukan oleh keluarga Rifki Maulana Dirgantara (29) yang menggelar tradisi munggahan sehari sebelum bulan Ramadhan 1445 Hijriah di kediaman orang tuanya di Jalan Cisaranten Kulon, Kecamatan Arcamanik, Kota Bandung.

Tak hanya dengan keluarga, Rifki menggelar tradisi tersebut dengan mengundang tetangga untuk makan bersama sebelum pelaksanaan ibadah puasa.

Menu yang disajikannya pun cukup simple yakni masakan khas Sunda yang terdiri dari sambel, lalapan, ikan asin, oseng kangkung serta tahu dan tempe.

Walapun terkesan sederhana, namun bagi Rifki bersama keluarga kecilnya yang tinggal merantau di Yogyakarta, kebersamaan makan bersama orang terkasih ini tidak bisa ditemuinya setiap hari.

Dia mengaku, acara munggahan yang digelarnya itu tidak rutin dilakukan setiap tahun. Namun pada tahun ini, datangnya bulan Ramadhan bertepatan dengan libur panjang, sehingga Rifki tak menyiakan momen ini.

"Tidak setiap tahun ada acara munggahan. Kebetulan hari ini libur besoknya mau puasa jadi bikin acara munggahan," ujarnya kepada Kompas.com pada Senin (11/3/2024).

Tradisi munggahan yang digelar oleh keluarga Rifki cukup santai dan tak banyak seremoni sebelumnya.

Dalam suasana yang sangat hangat dan akrab, acara munggahan itu pun berlangsung dengan penuh gelak tawa. Tak jarang sesekali, ada yang melempar candaan saat sedang makan.

Meski berjalan santai penuh keriangan dan keceriaan, acara munggahan itu bagi Rifki tidak melunturkan nilai kesakralannya.

Menurut dia, hal utama dalam acara tersebut yakni untuk saling mempererat tali silaturahmi antara keluarga dan orang terdekat.

"Maknanya untuk mempererat silaturahmi, saling maaf-maafan sebelum menjalankan puasa," ucapnya.


Sejarah tradisi munggahan

Munggahan adalah tradisi masyarakat Islam suku Sunda menyambut datangnya bulan Ramadhan atau sebelum ibadah puasa selama 30 hari.

Kata munggahan berasal dari bahasa Sunda 'munggah' atau 'unggah' yang bermakna naik atau meningkatkan.

"Dalam konteks Ramadhan yakni usaha kita meningkatkan ke alam kesucian karena selama sebulan penuh akan melaksanakan ibadah shaum atau puasa," ujar Budayawan Sunda, Taufik Faturohman dikantornya di Jalan Setiabudi, Kota Bandung, Kamis (13/3/2024).

Tradisi yang sudah berlangsung selama beberapa generasi ini, dahulu tidak hanya soal makan bersama seperti saat ini. Tetapi ada beragam kegiatan di dalamnya.

Kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Sunda zaman dulu dalam tradisi munggahan ini mulai dari mandi di sungai, mengirimkan makanan ke orang tua, meminta maaf kepada orang tua, hingga ziarah kubur yang dilakukan sehari sebelum berpuasa Ramadhan.

"Tradisi munggah itu untuk membersihkan diri, mensucikan diri agar kita bisa melaksanakan ibadah di bulan suci," kata Taufik.

"Ditandai dengan mandi bersama di sungai, cuma sekarang berubah jadi makan bersama ada persegeran makna dan kebiasaan," tambahnya.

Menurut Taufik, adanya pergeseran dan perubahan kebiasaan dalam tradisi ini terjadi seiring dengan kemajuan zaman dari analog ke modern, yang ditandai kecanggihan teknologi komunikasi.

Misalnya, saja tradisi saling maaf-memaafkan yang kekinian dilakukan dengan mengiriminkan pesan singkat melalui aplikasi pada perangkat gawainya.

Namun demikian, dia memaklumi hal tersebut sebagai sebuah bentuk adaptasi dari sesuatu tradisi untuk bisa bertahan di era modern saat ini.

"Budaya dan bahasa itu dinamis tidak statis. Artinya mengikuti apa yang ada di sekitar kita, mulai dari perubahan ekonomi, teknologi dan lain sebagainya," terang Taufik.

Akan tetapi, Taufik menilai walaupun tradisi munggahan sudah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Tetapi makna filosofis yang terkandung didalamnya tidak pernah berubah sepanjang waktu.

"Kesakralan masih terjaga tapi tergantung niat kita, apakah untuk mensucikan diri atau hanya sekedar berhura-hura sambil makan. Itu berpulang ke diri masing-masing," katanya.

"Niatnya betul-betul mensucikan diri, bernawaitu mensucikan saya kira kesakralan tetap terjaga," tambah Taufik.

https://bandung.kompas.com/read/2024/03/15/032600978/tradisi-munggahan-jelang-ramadhan-khas-masyarakat-sunda-jawa-barat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke