Salin Artikel

27 Ekor Kambing Warga Karawang Dimakan Macan Tutul, Warga Resah

KARAWANG, KOMPAS.com - Sebanyak 27 ekor kambing warga di kaki pegunungan Sanggabuana, Karawang, Jawa Barat, mati diduga karena dimangsa macan tutul Jawa.

Sebanyak 27 ekor domba milik warga di Kampung Taneh Bereum, Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Karawang itu dimangsa satwa liar selama satu bulan terakhir.

Laim, Kepala Dusun Taneuh Beureum, Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan mengatakan, kejadian ternak diserang satwa liar pertama kali diketahui di ladang penggembalaan. Lokasinya sekitar 500 meter dari kebun warga bernama Eli.

“Awalnya ada suara teriakan kambing 3 kali. Sore hari kira-kira jam 3 sore ketika disamperin ditemukan ternak kambing warga sudah mati dengan luka di leher samping. Juga bekas jejak-jejak binatang lain," kata Laim saat dihubungi melalui pesan singkat, Selasa (4/6/2024).

Laim menjelaskan, setelah kejadian pertama pada 19 Maret 2024, peristiwa serupa berulang pada 17 April. Kemudian terjadi lagi 24 Mei 2024, dengan total ternak yang dimangsa 27 ekor.

Laom menyebut, pada kejadian terakhir, warga Taneuh Beureum yang juga peternak, Ali, mengaku dipanggil oleh temannya bernama Karna yang melihat salah satu ekor kambing dimangsa macan ditarik ke dalam sebuah gua batu kecil.

Namun saat didatangi, macan yang memangsa kambing tersebut lari ke hutan meninggalkan mangsanya.

"Masyarakat melaporkan satwa yang ditemuinya adalah macan dengan corak tutul," kata Laim.

Banyaknya serangan macan ini membuat warga resah. Mereka sempat mengumpulkan warga lainnya yang mempunyai senjata untuk memburu macan tersebut.

Selain karena rugi, warga juga khawatir diserang macan di kebun atau hutan. Sebab mereka banyak beraktivitas di sana. 

Komarudin, anggota Sanggabuana Wildlife Ranger (SWR) dari Sanggabuana Conservation Foundation (SCF) mengaku telah mendatangi lokasi bersama Direktur SCF Deby Sugiri dan Kepala Desa Tamansari Ai Ratnaningsih, Bhabinkamtibmas Polsek Pangkalan Brigadir Dede Saeful Anwar, dan Babinsa dari Koramil Serka Dade Sukarna.

“Awalnya kami mendapat laporan dari anggota BPBD Kecamatan Pangkalan, Sdr Kiwong perihal keresahan warga ini. Juga ada niatan untuk memburu satwa liar yang memangsa ternak. Jadi bersama perangkat desa didampingi Pak Bhabin dan Babinsa kami melakukan asessment ke lapangan untuk mengumpulkan data yang akan dilaporkan ke markas kami dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat," kata Komarudin.

Komarudin mengungkapkan, ditemukan beberapa jejak karnivora besar di lokasi konflik satwa liar tersebut. Termasuk di beberapa gua yang menurut laporan masyarakat menjadi tempat satwa liar ini membawa mangsanya.

“Ada beberapa cakaran pohon, dan jejak darah di salah satu gua. Dugaan sementara dari jejak yang ada di lapangan merupakan jejak karnivora besar," ujar Komarudin.

Kepala Seksi Konservasi Wilayah (SKW) IV Purwakarta BBKSDA Jawa Barat Vitriana Yulalita mengatakan, satwa macan tutul Jawa merupakan satwa kebanggaan yang telah ditetapkan sebagai satwa identitas provinsi Jawa Barat dengan SK Gubernur Jawa Barat No 27 Tahun 2005.

Satwa ini endemik pulau Jawa yang juga satwa dilindungi sesuai Permen LHK No. 106/2018.

"Oleh karena itu kami mengharapkan koordinasi lintas sektor untuk dapat mewujudkan amanat tersebut sebagai bbentuk upaya bersama terkait pelestarian macan tutul jawa di kabupaten Karawang," kata Vitriana dalam keterangan yang diterima Kompas.com. 

Vitriana mengimbau masyarakat untuk tidak memburu macan tutul. Pihaknya akan mengedukasi masyarakat bagaimana beternak, terutama membuat kandang yang bisa terhindar dari serangan satwa liar.

Bernard T Wahyu Wiryanta, Fotografer dan Peneliti Satwa Liar dari SCF mengatakan, ketakutan masyarakat akan serangan macan tutul jawa hal yang wajar.

Namun masyarakat perlu diedukasi bahwa macan tutul jawa cenderung menghindari manusia, dan tidak akan menyerang manusia. Berbeda dengan harimau yang ada potensi menyerang manusia dalam beberapa kasus.

"Adapun terkait jenis satwa yang memangsa ternak warga dari laporan assesment Ranger, dari jejak yang ada, ciri-ciri serangan di ternak yang mati, juga kesaksian warga, diduga adalah karnivora besar jenis macan tutul jawa atau Panthera pardus melas," kata Bernard.

Bernard menyebut lokasi konflik satwa liar di Tamansari tersebut masih habitat macan tutul jawa, dan masih merupakan kawasan lindung bagian dari Karst Pangkalan.

“Lokasinya berada Blok 1A hutan Perum Perhutani BKPH Pangkalan, KPH Purwakarta, Divisi Regional Jawa Barat-Banten. Ini masih masuk kawasan Karst Pangkalan, dan hutannya masuk dalam koridor karnivora besar yang menyatu dengan hutan kawasan Pegunungan Sanggabuana, termasuk sampai ke hutan di sisi selatan Waduk Jatiluhur," kata Bernard.

Menurut Bernard, kebiasaan masyarakat di kawasan Sanggabuana banyak yang memelihara ternak dengan membangun kandang di tengah hutan, termasuk menggembalakan ternaknya di hutan.

Kadang masyarakat pada saat malam hari tidak memasukkan ternaknya ke dalam kandang, tetapi mengikat di luar kandang.

"Pola semacam ini sangat rawan menjadikan ternak warga menjadi sasaran satwa liar," ujarnya.

Bernard berharap Pemkab Karawang bersama BBKSDA Jawa Barat mengedukasi masyarakat untuk membangun kandang halau atau kandang ternak yang bisa menahan serangan satwa liar.

Ia juga mengimbau warga tidak membiarkan ternaknya di luar kandang pada waktu malam hari.

Menurutnya, pola kandang kolektif dengan membangun beberapa kandang dalam satu tempat yang dijaga bergantian bisa mencegah serangan satwa liar. Termasuk menanam tanaman pakan ternak di sekeliling kandang kolektif.

"Jadi tidak perlu lagi menggembalakan ternaknya sampai jauh ke dalam hutan," kata Bernard.

Adapun terkait masyarakat yang akan membalas dendam dengan memburu macan di hutan, Bernard mengimbau warga untuk tidak memburu macan.

Karena macan tutul jawa merupakan satwa dilindungi. Sehingga jika kedapatan memburu masyarakat bisa dikenai sanksi pidana sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAE.

Sedangkan untuk ternak yang mati karena serangan satwa liar, Bernard menyarankan pemerinta desa, kecamatan atau Pemkab Karawang untuk memberikan bantuan.

https://bandung.kompas.com/read/2024/06/04/181612778/27-ekor-kambing-warga-karawang-dimakan-macan-tutul-warga-resah

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com