KOMPAS.com - Masyarakat di Provinsi Jawa Barat memiliki berbagai kearifan lokal yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Kearifan lokal ini berasal dari nilai-nilai luhur dalam tradisi masyarakat setempat yang terkait dengan kehidupan maupun aktivitas sehari-hari.
Begitu pula dengan kearifan lokal di Jawa Barat yang masih banyak dipertahankan oleh masyarakat setempat.
Bentuk-bentuk kearifan lokal dapat berupa sikap, pandangan hidup, hukum, ritual, maupun pengetahuan lokal.
Bahkan tidak jarang, kearifan lokal ini terkait dengan mitos atau cerita rakyat yang diyakini oleh masyarakat di wilayah tersebut.
Berikut adalah beberapa contoh kearifan lokal di Jawa Barat yang masih terpelihara hingga kini.
1. Pamali
Pamali adalah istilah yang digunakan untuk menyebut pantangan atau hal yang tabu dalam budaya masyarakat Sunda.
Istilah pamali dalam bahasa Sunda memiliki makna yang serupa dengan pantrayangan serta panyaraman yang berarti pantangan.
Umumnya, hal ini berbentuk aturan tidak tertulis, seperti sebuah larangan yang harus ditaati yang apabila dilanggar dapat menyebabkan celaka.
Bentuknya dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan dan sudah ada sejak zaman dahulu.
Contoh pamali yaitu “teu meunang ulin wanci maghrib bisi dirawu sandekala” yang artinya “jangan bermain waktu maghrib nanti dibawa hantu”.
Ada pula yang berbunyi “ulah diuk dina lawang panto/bangbarung bisi nongtot jodo” yang artinya “jangan duduk di depan pintu nanti sulit jodoh”.
2. Leuweung Larangan
Leuweung larangan atau hutan terlarang adalah kearifan lokal di Jawa Barat yang terkait dengan kelestarian alam.
Sesuai namanya, kawasan leuweung larangan adalah wilayah hutan yang hanya boleh dimasuki dengan mengikuti aturan tertentu.
Selain itu, sumber daya alam yang ada di hutan tersebut hanya boleh diambil untuk kepentingan adat.
Aturan ini juga kerap dikaitkan dengan berbagai mitos tentang hutan tersebut yang dipercaya oleh masyarakat setempat.
Namun berkat masyarakat adat yang memegang teguh aturan di leuweung larangan, wilayah hutan bisa terus terjaga kelestariannya.
3. Seren Taun
Upacara Seren Taun adalah kearifan lokal di Jawa Barat yang terkait dengan kehidupan masyarakat Sunda di bidang pertanian.
Pelaksanaan upacara Seren Taun dilaksanakan setiap tanggal 22 Bulan Rayagung sebagai bulan terakhir dalam perhitungan kalender Sunda.
Upacara adat ini memiliki tujuan untuk merayakan hasil panen yang baru dilewati serta memohon berkah dan perlindungan kepada Tuhan untuk musim tanam berikutnya.
Puncak acara Seren Taun dilaksanakan dengan prosesi penumbukkan padi ranggeuyan atau padi yang dipanen dengan cara dipetik.
Upacara Seren Taun juga dimeriahkan dengan berbagai pertunjukkan dan gelaran budaya yang mengawali rangkaian upacara adat.
4. Mapag Sri
Mapag Sri juga merupakan salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat agraris di Jawa Barat.
Dilakukan untuk menyambut datangnya panen raya, istilah Mapag Sri berasal bahasa Jawa halus yang mengandung arti menjemput padi.
Mapag Sri dilaksanakan menjelang musim panen dengan maksud sebagai ungkapan rasa syukur para petani kepada Tuhan karena panen yang diharapkan telah tiba dengan hasil yang memuaskan.
Untuk menentukan hari dan dana yang diperlukan untuk upacara Mapag Sri, kepala desa mengadakan musyawarah atau rempugan dengan sesepuh desa atau pemuka masyarakat.
Usai musyawarah, para pamong desa melakukan pengecekan ke sawah-sawah untuk melihat apakah padi telah menguning.
Apabila benar, mereka akan segera mengadakan pungutan dana secara gotong-royong yang besarannya bergantung kemampuan masyarakat.
5. Cingcowong
Cingcowong adalah kearifan lokal di Jawa Barat yang terkait dengan kondisi alam yaitu cuaca.
Tradisi ini dilakukan untuk memohon kepada Tuhan supaya segera diturunkan hujan ketika terjadi kemarau panjang.
Ritual Cingcowong terbilang unik karena menggunakan media jejelmaan atau orang-orangan berbentuk sosok perempuan berwajah cantik sebagai cara untuk memanggil roh-roh.
Ada pula taraje (tangga bambu), samak (tikar), sisir dan cermin, air dan bunga kemboja yang disimpan dalam wadah, set parukuyan (pedupaan) dan kemenyannya, serta aneka sesajian yang terdiri dar telur asin, kopi, rokok/cerutu, congcot (tumpeng kecil), tektek (seperangkat bahan untuk menyirih) makanan ringan, kue-kue basah, dan buah-buahan manis.
Selain itu, ada pula alat pengiring berupa buyung yang terbuat dari tanah liat yang digunakan sebagai kendang dan ceneng (bokor) sebagai ketuk.
Ritual ini dipimpin oleh seorang yang dinamakan punduh, sebutan untuk orang yang dianggap memiliki kemampuan khusus di bidang spiritual atau kepercayaan setempat.
Punduh akan dibantu oleh orang yang memegang boneka Cingcowong, orang yang memainkan dua alat musik utama, dan sinden yang bertugas melantunkan lagu-lagu tertentu untuk mengiringi boneka ketika menari.
6. Nadran
Nadran adalah sebutan bagi upacara adat berupa pesta laut atau sedekah laut yang dilakukan masyarakat di pantai utara Indramayu, Jawa Barat.
Upacara adat Nadran digelar setiap tahun sebagai bentuk rasa syukur atas hasil tangkapan ikan selama setahun penuh dan juga harapan atas meningkatnya hasil tangkapan serta dijauhkan dari rintangan di tahun mendatang.
Prosesi nadran, dimulai dengan mengumpulkan sesajen sebagai simbol bagi persembahan yang berisikan macam-macam makanan khas, buah-buahan, kepala kerbau yang masih segar, kembang tujuh rupa, dan lain-lainnya.
Sesajen akan diarak mengelilingi kampung dalam sebuah karnaval dengan ditempatkan di dalam replika kapal laut.
Arak-arakan sesaji biasanya diiringi berbagai pertunjukan seni tradisional, seperti tarling, genjring, telik sandi, jangkungan, atau seni kontemporer seperti barongsai dan drumband.
Setelah itu, sesajen akan dibawa menggunakan kapal-kapal nelayan untuk dilemparkan ke tengah laut.
Sumber:
journal.upy.ac.id
infopublik.id
indramayukab.go.id
cimahikota.go.id
kebudayaan.kemdikbud.go.id
indramayukab.go.id
kompas.com
travel.kompas.com
https://bandung.kompas.com/read/2024/06/10/204432078/6-kearifan-lokal-di-jawa-barat-ada-leuweung-larangan-dan-seren-taun