Bangunan peninggalan sejarah itu dibangun pada 1780 setelah bangunan yang lama porak poranda diguncang gempabumi dahsyat pada 1779.
Saat ini, bangunan yang telah berusia 244 tahun itu difungsikan sebagai ruang kerja bupati. Dalam area sekitarnya, terdapat bangunan-bangunan kantor pemerintahan.
Di balik kemegahan dan nilai historisnya, pendopo bupati Cianjur menyimpan kisah tragis ketika Bupati Cianjur ke-3 Raden Aria Wiratanu Datar III alias Raden Astramanggala dibunuh di tempat tersebut.
Dikisahkan, Aria Wiratanu Datar III tewas bersimbah darah setelah ditusuk condre, senjata tajam tradisional oleh seorang pemuda asal Tjiteureup Bogor.
Raden Aria Wiratanu Datar III meninggal pada 1726 setelah memerintah selama 19 tahun sejak 1707.
Disebutkan, versi pertama sebagaimana dituturkan secara turun temurun di kalangan masyarakat Cianjur, peristiwa terbunuhnya sang dalem dilatarbelakangi asmara yang melibatkan gadis desa asal Cikembar, Sukabumi bernama Apun Gencay.
Saking populernya cerita versi ini, sosok Apun Gencay pun banyak dipersonalisasikan, baik dalam babad tersendiri maupun pementasan drama.
"Versi lainnya, peristiwa berdarah itu dipicu pemberontakan petani kopi yang kecewa," kata Hendi kepada Kompas.com, Senin (15/7/2024).
Kembang desa berujung petaka
Kisah terbunuhnya Aria Wiratanu Datar III karena persoalan asmara, bermula saat bupati mengunjungi daerah Cikembar Sukabumi untuk menyalurkan hobinya berburu menjangan.
Di desa terpencil itu, dia lantas bertemu dengan seorang perempuan yang memiliki paras jelita bernama Apun Gencay. Terpikat pada pandangan pertama, sang bupati pun ingin memilikinya.
Sebagai jelata, Apun dan orangtuanya tentu saja tidak bisa menolak permintaan sang kanjeng dalem. Padahal, saat itu Apun Gencay konon sudah memiliki kekasih.
Singkat cerita, dituturkan Hendi, Apun Gencay datang ke pendopo ditemani kekasihnya yang diakunya sebagai saudara.
Kedatangan dara cantik itu pun disambut semringah sang pribumi yang petang itu tengah duduk bersantai di beranda kediaman ditemani saudaranya bernama Mas Purwa.
Apun Gencay pun disuruh mendekat. Namun tetiba, pemuda yang bersamanya menyeruak ke arah Aria Wiratanu III sambil menghunus sebilah condre yang diselipkan dibalik bajunya.
Tiga tusukan tepat mengenai perut sang bupati, sementara Mas Purwa terkesiap dengan gerakan cepat pemuda tersebut sehingga gagal mencegahnya.
Kanjeng Raden Aria Wiratanu Datar III meninggal beberapa jam setelahnya, sementara nasib pemuda tersebut tak lebih baik, dia mati mengenaskan setelah tertangkap di Alun-Alun Cianjur saat berupaya kabur.
Kepalanya dipenggal dan dimutilasi. Potongan-potongan tubuhnya lantas disebar ke setiap penjuru alun-alun.
"Pemuda itu cemburu dan tersinggung karena kekasihnya telah direbut," ucap Hendi.
Hendi tak begitu yakin dengan kisah tersebut, Kendati begitu, dikemukakannya, nyaris semua tulisan sejarawan yang mengangkat kisah tragis itu selalu berujung pada manuskrip berjudul “Cerita-Cerita Pribumi dari Bupati Cianjur (1858)” karya R.A.A. Kusumahningrat tersebut.
“C.M.F. Stokhausen kemudian menerjemahkan manuskrip itu ke dalam bahasa Belanda dengan judul “Inlandsche Verhalen van den Regent van Tjiandjoer (1857),” ujar dia.
R.A.A. Kusumahningrat sendiri merupakan Bupati Cianjur ke-9 yang memerintah sejak 1834 hingga 1862.
"Orang Cianjur mengenalnya sebagai Dalem Pancaniti,” ucap Hendi.
Tanam paksa dan pemberontakan petani kopi
Peristiwa terbunuhnya R.A Wiratanu Datar III yang dikaitkan dengan pemberontakan petani kopi tak terlepas dari bisnis kopi sang dalem dengan Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC.
Namun, kemitraannya dengan pihak kongsi dagang terbesar asal Belanda itu telah merugikan para petani kopi yang notabene rakyatnya sendiri.
Mereka semakin memusuhi Raden Astramanggala itu karena kebijakan-kebijakannya yang tidak berpihak, bahkan lebih menguntungkan pihak kolonial.
Diceritakan Hendi, merujuk tulisan Jan Breman berjudul “Keuntungan Kolonial dalam Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870”, Aria Wiratanu III dinilai tidak jujur oleh rakyatnya dalam menjalankan bisnis kopi.
Dia juga dinilai lebih memperkaya diri ketimbang menyejahterakan rakyatnya, termasuk mengambil laba yang terlalu besar dari petani.
“Harga kopi perpikul yang disepakati 17.50 ringgit. Namun, nyatanya hanya dibayarkan 12.50 ringgit perpikul. Uang 5 ringgit yang seharusnya menjadi hak para petani kopi itu malah masuk ke kantong pribadinya,"
"Karena itulah, rakyat lantas tidak puas hingga melakukan perlawanan,” Hendi menuturkan.
Selepas terbunuhnya Raden Aria Wiratanu Datar III, para bupati di Priangan semakin menekan rakyatnya untuk menanam kopi. Nasib para petani kopi Cianjur pun kala itu semakin terpuruk.
“Karenanya, tidak mengherankan jika dinasti bupati Cianjur masih memegang kendali atas bisnis kopi hingga masa-masa kebangkrutannya pada 1900-an,” ujar Hendi memungkasi.
Pada akhirnya, selalu ada dua sisi dari setiap cerita, begitu pun kisah terbunuhnya Bupati Cianjur ketiga pada pertengahan Abad ke-18 itu.
Masyarakat Cianjur mengenal Raden Aria Wiratanu Datar III sebagai Dalem Dicondre. Julukan yang tentunya merujuk pada senjata tajam yang membuatnya menghembuskan nafas yang terakhir.
https://bandung.kompas.com/read/2024/07/15/190117478/pendopo-bupati-saksi-bisu-sejarah-kabupaten-cianjur