Sementara sampah anorganik perlu puluhan hingga ratusan tahun untuk terurai.
Kondisi inilah yang mendorong dua warga asal Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Wildan Atmajaya (44) dan Muh Hamdani (31), mengembangkan budidaya maggot atau belatung sebagai cara mengurai sampah organik secara efektif.
Tak hanya berdampak nyata terhadap lingkungan, upaya yang dilakukan Wildan dan Hamdani sejak setahun terakhir ini, juga telah mendatangkan pundi-pundi rupiah.
Pangsa pasarnya pun jelas, yaitu petani ikan kolam jaring apung (KJA) di perairan Cirata yang berjarak tak jauh dari tempat mereka mengembangbiakkan larva kaya protein itu.
Bahkan, Wildan dan Hamdani belum sanggup memenuhi permintaan petani ikan KJA yang membutuhkan pasokan pakan maggot sebanyak dua kuintal setiap harinya.
“Termasuk juga ada permintaan dari Subang untuk kebutuhan 4 kuintal setiap minggu,” ucap Wildan kepada Kompas.com d kediamannya di Cianjur, Kamis (18/7/2024).
Wildan berharap bisa segera mengembangkan usahanya ini dengan memperbanyakn sumber daya manusia (SDM).
“Semakin banyak yang terlibat, selain bisa memenuhi permintaan pasar, juga tentunya masalah sampah organik bisa semakin teratasi. Tapi, sejauh ini belum ada yang minat. Jadinya, ya baru kita berdua ini,” ujar dia.
Memanfaatkan bangunan Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce, dan Recycle (TPS3R) di Desa Sukajadi, Kecamatan Karangtengah, Cianjur, Wildan dan Hamdani bekerja sama mengembangbiakkan maggot dari sejak telur hingga panen.
Wildan menuturkan, dibutuhkan waktu 12 hari hingga maggot bisa dipanen di bak yang disebut biopon.
Di tempat ini terdapat 15 biopon dengan ukuran masing-masing 2x3 meter.
Setiap biopon biasanya ditebar 1 gram telur maggot yang nantinya bisa menghasilkan 6 kilogram.
Selama masa pembesaran tersebut, maggot membutuhkan pakan dari sampah organik, seperti remah-remah makanan, limbah dapur, dan sampah pasar berupa sisa sayuran dan buah.
“Untuk 1 gram telur maggot bisa menghabiskan 15 kilogram sampah organik,” ujar dia.
Untuk memenuhi pakan maggot, selain mengolah sampah yang ada di TPS, mereka juga mendapatkan pasokan dari sejumlah rumah makan, restoran, dan hotel.
“Dengan cara ini, kami tidak hanya membantu mengurangi limbah makanan, tapi juga memberi nilai tambah ekonomi dari sampah tersebut.” ungkap Wildan.
Sementara, Hamdani,, menjelaskan, dalam sebulan mereka bisa memanen dua kali dengan hasil yang diperoleh sekitar 800 kilogram hingga 1 ton.
Hasil panennya berupa maggot hidup dijual kisaran Rp 5.000-Rp 7.000 per kilogram.
Namun, mereka juga mengolahnya menjadi maggot kering hingga dijadikan tepung.
“Karena yang maggot kering harganya lebih tinggi, bisa Rp 35.000 per kilogram. Kalau untuk tepungnya dijual Rp 8.000 per kilogram,” terang dia.
Hamdani mengatakan, mengembangbiakan maggot bukan tanpa risiko.
Hamdani bersama Wildan harus menjaga pertumbuhan maggot dari ancaman hama burung dan tikus.
“Pasokan pakan juga harus dijaga, termasuk kualitasnya. Kalau kurang bagus, ya berpengaruh ke pertumbuhan dan bobot maggotnya,” ujar Hamdani.
Menurut dia, maggot yang dihasilkan dari proses ini kaya akan protein sehingga diminati sebagai pakan ternak.
Adapun maggot yang telah dikeringkan mengandung asam amino sehingga sangat baik bagi pertumbuhan dan kebutuhan hewan ternak.
“Maggot kering ini sebenarnya masih bisa diolah, di-press lagi untuk dijadikan minyak. Berharap ke depan kita bisa sampai ke proses itu,” ucapnya.
Pada akhirnya, langkah nyata kedua pemuda ini telah membuktikan, budidaya maggot tidak hanya menjadi solusi lingkungan yang berkelanjutan, tetapi juga menciptakan peluang usaha yang bernilai ekonomis dan menjadi sumber penghasilan yang menjanjikan.
"Dengan pengelolaan yang tepat, kita bisa mengurangi beban lingkungan sekaligus mendapatkan manfaat ekonomisnya. Bagi kami, sampah bukan hanya sesuatu yang kotor, bau dan harus dibuang. Tapi, bisa menjadi sumber daya bernilai apabila dikelola dengan baik," ujar Wildan.
https://bandung.kompas.com/read/2024/07/18/163746578/mengatasi-sampah-dan-meraup-cuan-dari-bisnis-maggot