Namun, sejumlah pihak kala itu tak percaya, bahkan menduga penjual jagung bakar di Kebun Raya Cibodas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, itu telah menjadi korban salah tangkap.
Dukungan pun mengalir dari berbagai pihak, salah satunya datang dari seorang pengacara setempat bernama Karnaen (56) yang langsung terjun mengadvokasi perkara tersebut.
Berbagai langkah hukum pun ditempuh, mulai dengan mengajukan praperadilan hingga mendesak penangguhan penahanan atas kliennya.
Upaya Karnaen membuahkan hasil. Setelah sempat ditahan selama dua bulan lebih, Didin dibebaskan dengan status tahanan kota.
Lima bulan berselang atau pada September 2017, Didin divonis 2 bulan 21 hari oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Cianjur. Praktis, ia langsung menghirup udara bebas karena masa tahanannya melebihi putusan bersyarat tersebut.
“Karena saat itu saya sangat yakin kalau klien saya tidak bersalah, dan putusan pengadilan pun menegaskan tidak ada terbukti merusak hutan lindung, Pak Didin hanya mencari cacing Sonari,” ujar Karnaen kepada Kompas.com, Rabu (7/8/2024) petang.
Karnaen menuturkan, mengawal perkara tersebut selama 7 bulan lamanya bukan tanpa pengorbanan. Alih-alih menerima bayaran, sang advokat kerap merogok kocek sendiri untuk biaya operasional.
Namun, ia tak mempersoalkannya, karena dari awal menangani perkara tersebut tidak diniatkan untuk mencari profit, melainkan sebagai bentuk pelayanan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat atau pihak yang sedang berperkara.
Terlebih, menurut Karnaen, seorang advokat sejatinya harus menjalankan upaya yang dikenal sebagai istilah pro bono tersebut, supaya masyarakat yang tidak mampu tetap bisa mendapat pendampingan hukum yang berkeadilan.
"Selaku pribadi saya punya komitmen sendiri, misal dari 5 perkara yang saya tangani itu satu atau dua di antaranya harus secara pro bono atau tanpa bayaran," ucapnya.
Mengadvokasi perkara secara pro bono, ungkap Karnaen, bukan tanpa tantangan, mengingat dari ratusan perkara yang telah ditanganinya kerap berhadapan dengan institusi penguasa hingga korporat.
Ia mengaku sudah terbiasa menerima ancaman hingga teror ketika mengadvokasi suatu perkara pro bono. Sejauh ini, ayah tiga anak itu mampu melaluinya.
"Sebenarnya yang berat itu saat diiming-imingi materi, ya. Misal saya disuruh lepas atau mundur saat menangani suatu perkara. Nilainya sampai ada yang Rp 700 juta," ujar Karnaen.
Baginya, menjadi seorang advokat adalah cita-cita. Karena itu, semasa masih di bangku kuliah, mantan aktivis 98 itu sudah aktif terlibat dalam kegiatan advokasi masyarakat.
“Saat masih mahasiswa, saya kerap melihat keadilan bagi masyarakat kecil itu sulit sekali didapat, makanya saya mau turun,” ucapnya.
Karnaen lantas mendirikan LA-HAM Cianjur, yakni lembaga advokasi hukum dan hak azasi manusia yang kerap mengadvokasi kaum tani, buruh, pedagang kaki lima, ibu rumah tangga, dan masyarakat lapisan bawah lainnya yang tersangkut persoalan hukum.
Saking gigihnya, dia pernah diperiksa pihak berwajib karena dituding sebagai provokator ketika mengadvokasi buruh tani Cianjur selatan terkait kasus sengketa lahan beberapa tahun silam.
Saat ini pun, Karnaen sedang mengadvokasi warga yang tengah bersengketa dengan pihak pengembang. Harapannya, kasus tersebut tidak sampai ke meja hijau, namun bisa diselesaikan secara musyawarah mufakat.
"Alhamdulilah LA-HAM masih eksis hingga sekarang, dan lembaga itu juga yang saya pakai untuk kegiatan pro bono di samping associate," ujarnya.
Telah berkiprah selama 25 tahun, Karnaen mengaku senang dan bangga bisa menjadi bagian dari officium nobile atau profesi mulia ini. Terlebih, ketika masyarakat yang dibantunya mendapatkan keadilan yang semestinya, maka disitulah letak kebahagian dia sebagai seorang advokat.
Karena itu, terlepas dari realitas penegakan hukum yang menurutnya masih terkesan tebang pilih, Karnaen tetap optimistis bahwa rasa keadilan akan senantiasa ada.
“Kalau keadilan sudah tidak ada, saya jadi advokat sudah berhenti. Walaupun itu (keadilan) tentunya perlu kita tempuh,” ucap Karnaen.
https://bandung.kompas.com/read/2024/08/07/183131178/kisah-advokat-karnaen-bela-si-miskin-tanpa-bayaran-tantangan-paling-berat