Salin Artikel

Cerita Keluarga di Bandung Tinggal di Kandang Ayam Setiap Banjir Datang

BANDUNG, KOMPAS.com - Karuhun (leluhur) orang Sunda, meyakini setiap bulan yang berakhiran '-ber' seperti September, Oktober, November, Desember, waktu datangnya musim hujan.

Bulan-bulan tersebut adalah saat yang ditunggu, karena waktu terbebas dari kekeringan. Tapi itu semua seperti tak ada artinya bagi Ayun Yuningsih (50).

Musim yang seharusnya membawa kabar gembira bagi warga Kampung Cijagra, Desa Bojongsoang, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat ini, justru membawa petaka.

Bagaimana tidak, untuk merasakan kata 'nyaman' mereka harus melakukan aktivitas yang tak biasa. Pasalnya, hujan yang turun kerap mendatangkan tamu tak diundang, banjir.

Sebagian warga yang tak memiliki rumah lantai dua, mesti mensiasati isi rumah. Lantaran luapan Sungai Citarum tak mengenal ampun di Kampung Cijagra.

Ketinggian air tak bisa diprediksi, mulai dari 60 centimeter hingga setinggi dada orang dewasa.

Bagi Ayun yang tak memiliki rumah dua lantai, dia harus bersiasat, mulai dari menyiapkan 'golodog' sebuah papan kayu berukuran tebal yang ditempel di dinding untuk menyimpan barang.

Tak hanya itu, Golodog juga kerap difungsikan untuk tempat tidur di malam hari.

"Itu juga kalau airnya di bawah 60 centimeter, kalau lebih dari itu ya kita tidur di tempat yang lebih tinggi," katanya ditemui di lokasi, Kamis (12/9/2024).

Jarak rumah Ayun dengan tanggul Sungai Cikapundung yang juga anak Sungai Citarum hanya beberapa meter saja.

Bahkan, rumah Ayun berada di bawah tanggul sungai. Ia menyebut seperti memelihara bom waktu, manakala tanggul sudah tak kuat, maka air akan tumpah.

Nahasnya, lantaran Ayun tak memiliki lantai dua untuk berlindung, ketika malam ia memilih tidur di sebuah saung di kandang ayam milik putranya.

Golodog digunakannya untuk mengamankan barang berharga.

Saung tersebut berada beberapa meter dari tanggul sungai. Sang anak sengaja membangun kandang ayam dengan saung di dalamnya. Awalnya saung itu diperuntukkan ketika ingin melihat istirahat.

Belakangan, dua hari setelah Kabupaten Bandung diguyur hujan sejak Selasa dan Rabu, Ayun kembali memanfaatkan saung itu untuk tempat tidur di malam hari.

"Saya ngungsi di saung, karena golodog di pake barang. Sama kandang ayam. Enggak apa-apa yang penting bisa istirahat aja," ujarnya.

Ayun tidur di saung tersebut beserta suami dan cucunya. Jika malam hari dalam kondisi hujan, dan saung penuh, sebagian dari mereka meminta bantuan tentangga untuk sekadar bermalam.

Rasa malu, sudah tak berlaku untuknya. Warga yang lain juga ikut merasakan bagaimana penderitaan hidup berdampingan dengan banjir selama puluhan tahun.

"Iya gimana daripada tidur di (tempat) banjir, sekarang mah enggak ada pengungsian kayak dulu," kata dia.

Tidur di saung bersama ayam, atau tidur di tetangga merupakan dua pilihan sulit. Namun ia mesti berdamai dengan kondisi tersebut.

"Ya kalau banjir ke sini, kalau rumah kebanjiran. Kalau enggak kebanjiran mah biar di rumah. Ya sekarang harus ke mana," ungkap dia.

Dulu, ketika banjir datang warga Kampung Cijagra yang tak memiliki rumah lantai dua dipersilahkan untuk mengungsi di sebuah garasi milik dermawan bernama Joko.

Warga, sambung Ayun, dipersilahkan Joko untuk menggunakan fasilitas kamar mandi dan air bersih untuk bertahan hidup sampai banjir surut.

"Kalau dulu pengungsian ke Pak Joko, di sana di jalan, cuman baiknya Pak Joko dulu warga boleh pakai WC dan lainnya, listrik juga, itu kadamg lama 20 hari lebih," kata dia.

Ayun mengatakan, hampir semua warga di RW 10 Kampung Cijagra terdampak banjir luapan Sungai Cikapundung.

Meski tetap bertahan dengan segala kondisi, hingga hari ini pemerintah belum memberikan bantuan bagi warga yang terdampak.

"Ya kalau disebut butuh tempat mengungsi ya butuh, tapi sekarang belum ada," katanya.

Sejak Kecil Berteman Banjir

Ayun yang sejak lahir sudah berada di Kampung Cijagra mengatakan, sejak kecil kampungnya merupakan langganan banjir.

Bahkan ia merasakan betul bagaimana perubahan banjir dari tahun ke tahun.

"Ibu mah asli orang sini, si bapak orang sini, kakek nenek buyut ibu asli, orang sini. Iya dari kecil saya tahu gimana kondisi banjir," ungkap dia.

Sebelum adanya perhatian dari Balai Besar Wilyah Sungai (BBWS) Citarum, warga mesti menunggu waktu yang cukup lama untuk menunggu air surut.

Kini warga diberi pompa penyedot air dari BBWS, serta pemerintah pusat sudah membangun beberapa folder air yang mengakibatkan banjir luapan sungai Citarum tak separah belasan tahun lalu.

"Dulu sebelum ada pompa, sampai 21 hari ibu ngungsi di pinggir jalan, banjirnya besar lama. Tapi sekarang alhamdulillah udah ada pompa dari BBWS. Tapi ya kaya gitu semampunya kita para warga memaksimalkan bantuan itu," beber dia.

Hujan yang melanda Kabupaten Bandung sejak Selasa hingga Rabu pagi menyebabkan RW 10 Kampung Cijagra terendam banjir setinggi 1,5 meter.

Namun, jika hari ini tak ada hujan, kemungkinan air surut hanya dalam waktu 2 hari saja.

"Ya kadang-kadang kalau hujannya besar di rumah 1,5 meter. Tergantung hujannya, kalau enggak hujan sekarang juga surut," tutur dia. 

Ia mencontohkan, hari ini, petugas BBWS sudah menyedot banjir pake pompa dari pukul 05.00 WIB. Bila tidak hujan, air akan surut.

Dulu, jika hujan lagi, banjirnya akan semakin besar. Karena menerima limpahan air dari Bandung dan hujan di sini.

"Iya paling 2 hari agak lumayan sekarang mah, semasa ada pompa jadi satu enggak lama, enggak terlalu besar," katanya.

Ayun dan warga Kampung Cijagra harus berdamai dengan banjir. Caranya dengan menganggap realita ketika musim penghujan datang sebagai musibah. 

"Keinginan ibu mah ga banjir, keinginan. Tapi sekarang akhirnya kita anggap ini musibah aja, karena bukan hanya di Bojongsoang aja, kan sekarang mah kalau hujan ke mana-mana kan banjir ya keinginan enggak banjir, tapi udah gimana anggap musibah saja," pungkasnya.

https://bandung.kompas.com/read/2024/09/12/155643078/cerita-keluarga-di-bandung-tinggal-di-kandang-ayam-setiap-banjir-datang

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com