CIANJUR, KOMPAS.com - Lidya Indayani Umar dan Sri Tedjaningsih bahu membahu mendampingi perempuan dan anak korban kekerasan di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Dengan latar belakang konselor, Tedja berperan membantu memulihkan trauma korban. Sementara Lidya, seorang advokat, memastikan proses hukum berjalan demi tercapainya rasa keadilan.
Bersama, mereka menjadi motor penggerak Paguyuban Anak Berkarya, lembaga filantropi di bawah naungan Perkumpulan Pengacara Perlindungan Perempuan, Anak, dan Keluarga (P4AK) Kabupaten Cianjur.
Sejak didirikan pada 2009, komunitas ini telah menjadi rumah bagi ribuan perempuan dan anak yang pernah menjadi korban kekerasan fisik dan seksual.
Beberapa anggota kini telah kembali menjalani kehidupan normal, menikah, dan membangun keluarga. Sementara yang lain tetap terhubung dalam jaringan solidaritas yang kuat.
Ketua harian P4AK Cianjur, Lidya Indayani Umar mengatakan, paguyuban ini hadir sebagai wadah komunikasi antar penyintas, serta ruang konseling dan pemberdayaan.
“Tujuannya untuk memberikan dukungan dan menguatkan mereka. Karena apa yang telah dialami mereka sangat berdampak besar, bukan hanya pada fisik, tetapi juga secara psikologis,” jelas Lidya kepada Kompas.com, Senin (4/11/2024).
Di paguyuban ini, ungkap dia, para penyintas tak hanya mengikuti kegiatan trauma healing atau program psikososial, tetapi juga mendapatkan pelatihan keterampilan, termasuk hasta karya.
“Selain itu, mereka juga didorong untuk berdaya secara ekonomi, agar mampu membangun usaha sendiri, mandiri, dan kuat,” tambahnya.
Lidya menjelaskan, dengan adanya wadah ini, sejumlah penyintas berhasil tampil sebagai pelopor dan pelapor.
Bahkan, dua di antaranya kini aktif sebagai pegiat sosial yang lantang dalam menyuarakan isu perlindungan perempuan dan anak, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Sri Tedjaningsih, konselor psikologi dari P4AK Cianjur, mengatakan, paguyuban ini dibentuk sebagai wadah konseling berkelanjutan.
Melalui serangkaian pendampingan, semangat dan kepercayaan diri para korban kekerasan bisa kembali tumbuh.
“Mereka juga sekarang lebih berani bersuara dan menyampaikan pendapat. Mereka merasa jauh lebih baik dan berharga,” ujar Tedja.
Ia menekankan, proses pemulihan korban bukan hal yang mudah. Dibutuhkan proses dan kesabaran, serta waktu yang tidak singkat.
“Betapa tidak, apa yang dialami para korban tentunya sangat tragis sehingga memberikan dampak besar dalam hidup mereka," tambahnya.
Tedja juga mengungkapkan, kemarahan dan dendam yang dirasakan korban terhadap pelaku adalah hal yang manusiawi.
"Namun, tugas kami adalah membantu mereka mengarahkan perasaan itu ke hal-hal yang lebih positif dan produktif," imbuhnya.
Dara (17), bukan nama sebenarnya, mengaku, sebelum bergabung dengan Paguyuban Anak Berkarya, hidupnya terasa seperti berada di jurang kehancuran.
Bagaimana tidak, sebagai pelajar SMA, ia harus menanggung kenyataan pahit, diperkosa dan disekap seorang pemuda tak dikenal di sebuah rumah kontrakan pada pertengahan tahun lalu.
Awal pasca-kejadian menjadi masa-masa terkelam bagi Dara.
Di tengah keterpurukannya, hanya keluarga yang setia menyemangati, sementara lingkungan dan orang-orang terdekat justru menjauh. Bahkan menambah luka dengan stigma yang diberikan.
"'Saya merasa sangat putus asa saat itu. Namun, setelah mendapatkan pendampingan di paguyuban ini, saya merasakan energi baru untuk semakin menguatkan tekad menghadapi dan melewati situasi ini,” ungkap Dara.
“Meski sulit melupakan kejadian itu, saya sekarang lebih kuat, dan saya mampu membuktikannya kepada semua orang,” ucapnya bersemangat.
https://bandung.kompas.com/read/2024/11/04/205253078/ketika-penyintas-korban-kejahatan-seksual-di-cianjur-berhimpun-saling