CIREBON, KOMPAS.com - Sejumlah warga Desa Guwa Lor, Kecamatan Kaliwedi, Kabupaten Cirebon, bertepuk tangan, pada Rabu (20/11/2024) siang.
Mereka menjadi saksi peletakan batu pertama pembangunan Teknologi WASH (Water, Sanitation, and Higiene) yang dimotori Yayasan Baitul Maal (YBM) BRILiaN bersama Rumah Amal Salman Institut Teknologi Bandung (ITB).
Para warga meyakini air bersih yang bertahun-tahun sulit didapat, akan mengalir deras ke tiap rumah warga.
Tak hanya ke rumah, bantuan kolaborasi berbagai Lembaga Amil Zakat ini, akan mengaliri air pada seluas 470 hektar lahan pertanian di pelosok desa yang berbatasan dengan Kabupaten Indramayu.
Harapan itu merekah dari senyum Syafrudin, salah satu warga yang juga Ketua Dewan Kemakmuran Masjid Al-Muhtadin.
Pria yang akrab disapa Udin ini mengaku sangat menanti realisasi program WASH. Dia yang merupakan salah satu tokoh penggerak mengaku sangat bersyukur atas peletakan batu pertama telah terwujud.
"Sangat. Kami sangat bersyukur dan berterimakasih kepada semua pihak. Sekarang kami kawal pembangunan hingga tuntas sekitar empat bulan ke depan, sampai air bersih mengalir ke rumah warga," kata Udin saat ditemui Kompas.com di lokasi, Rabu (20/11/2024) siang.
Udin menjelaskan, air bersih adalah masalah utama warga Desa Guwa Lor sejak 70 tahun silam. Masyarakat hanya mengandalkan air irigasi aliran waduk induk Jatigede dan Cilais.
Debit air yang diterima desa Guwa Lor pun sangat sedikit karena telah dibagi sejumlah desa dari beberapa kecamatan.
Selama ini, kata Udin, dirinya bersama warga menggunakan alat penyedot untuk mengambil air irigasi lalu dimasukan ke dalam sumur di sekitar rumah.
Sumur tersebut bukan untuk mata air, melainkan berfungsi untuk mengendapkan kotoran air irigasi.
Setelah kotoran mengendap, warga mengambilnya untuk mandi, mencuci, memasak, dan kebutuhan lainnya.
Kepala Desa Guwa Lor, Maksudi, juga merasakan hal sama yang dialami banyak warga. Setiap hari, dia menyedot air saluran irigasi yang dimasukan ke dalam sumur penampungan.
Setelah mengendap, dia dan keluarganya menggunakan air untuk mandi dan lainnya.
Pihak desa telah berupaya untuk melakukan bor di beberapa titik. Namun, hasilnya tak sesuai harapan.
Sumur dengan kedalaman 65 meter mengeluarkan air dengan debit yang sangat kecil. Air yang dihasilkan juga mengeluarkan aroma tak sedap, asin, lengket, dan kotor.
Mau tidak mau, sambung Maksudi, dirinya bersama sekitar 8.000 jiwa yang tinggal di dalam sekitar 2.500 rumah di Desa Guwa Lor melakukan hal tersebut bertahun-tahun.
"Air irigasi ini keruh juga pasti diambil, pakai pompa masukin ke sumur, mengendap, baru dipakai. Sumur di sini bukan mata air, tapi pengendapan, buat mandi, masak, airnya hitam juga tetap diambil," kata Maksudi saat ditemui Kompas.com di lokasi.
Maksudi dan pemerintah setempat tidak tinggal diam. Pihaknya bersama pemerintah daerah telah melakukan Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) dan juga Water and Sanitation for Low Income Communities (WSLIC) beberapa tahun silam.
Kedua program itu tidak berjalan maksimal karena sulitnya ketersediaan air dan juga sistem pengelolaan.
Beberapa bulan lalu, Maksudi bersama Syafrudin dan pihak lain melakukan pengeboran menggunakan sistem deteksi sumber mata air.
Mereka mendapatkan satu sumber mata air kedalaman 32 meter yang memiliki debit yang cukup baik, namun kandungan yang masih kotor.
Hasil uji lab, menyebut kandungan air yang baru ditemukan memilki kadar besi yang tinggi, dan lainnya.
Maksudi meyakini program WASH dapat memaksimalkan sumber mata air hasil pengeboran dengan teknologi terbarukan. Program ini juga diyakini dapat memberikan solusi atas masalah utama yang dialami warga.
Teknologi Filter Aktif
Pembina Rumah Amal Salman ITB, Mipi Ananta Kusuma menjelaskan, program WASH ini menggunakan Teknologi Filter Aktif yang dimodifikasi Dosen Teknik Lingkungan ITB, Dr James Nobelia.
Teknologi ini diterapkan pada titik sumber mata air yang baru ditemukan warga dengan alat pendeteksi mata air.
Air yang disedot dari dasar tanah, akan melewati proses filterisasi aktif. Dalam proses ini, air yang semula memiliki kandungan besi tinggi, asin, bau, dan kotor, menjadi bersih dan layak dikonsumsi.
Setelah melewati filterisasi aktif, air akan ditampung ke dalam dua tangki berkapasitas 8.000 meter kubik, yang masing-masing tanki berkapasitas 4.000 meter kubik.
Air bersih kemudian dikirimkan ke menara, yang kemudian didistribusikan ke rumah warga dengan menggunakan sistem looping.
Kadar dan kandungan air bersih usai filterisasi ini juga tidak akan berubah ketika tiba rumah warga, karena dialiri menggunakan pipa sehingga kualitas sangat terjaga.
"Kami dengan teman-teman ITB Dr James Nobelia, mendesain sistem dari pemompaan, filterisasi, terus disimpan di tanki, kemudian dikirim ke menara untuk didistribusikan ke rumah warga. Saat ini baru satu sumur, harapannya bisa berkembang," kata Mipi kepada Kompas.com sesaat setelah peletakan batu pertama.
Pada tahap awal, ada sekitar 350 rumah yang dihuni 1.600 warga, akan mendapatkan manfaat. Mereka berada pada jarak radius sekitar 500 meter dari titik pusat instalasi Program WASH.
Mereka tidak akan lagi menggunakan air irigasi yang kotor seperti yang dilakukan bertahun-tahun. Untuk tahap awal, dana yang dikeluarkan Rp 600 juta.
Tidak hanya itu, setelah instalasi program ini selesai, tiap penerima manfaat air bersih akan membayar iuran. Mereka akan menggunakan dana itu untuk kebutuhan perawatan, sekaligus pendanaan penerapan program serupa di sekitarnya.
Ciptakan Kemandirian
Dwi Iqbal Noviawan, General Manager YBM BRILiaN menyampaikan, Masyarakat Guwa Lor tidak memiliki mutu air baku yang layak untuk menjalani kehidupan sehari-hari.
"Kami fokus penyediaan air bersih, WASH, Water, Sanitation, and Higiene. Program ini konsentrasi pada wilayah kekeringan dan krisis air bersih, penyelesaian sanitasi, dan edukasi perilaku hidup sehat masyarakat," kata Iqbal.
YBM BRILiaN juga mendorong agar masyarakat sekitar mendirikan Kelompok Swadaya Pengelola Air Bersih (KSPAB).
Kelompok ini akan bertugas untuk mengelola layanan air bersih ini hingga lebih mandiri dan dapat membangun hal serupa di daerah sekitar yang belum teraliri air bersih.
Untuk program ini, YBM BRILiaN, sambung Iqbal, menganggarkan biaya total Rp1 miliar, sejak awal hingga akhir. Pihaknya juga "sharing cost" dengan beberapa pihak terkait untuk menguatkan program hingga tuntas.
Pengairan 470 Hektar Lahan Pertanian
Syafrudin yang juga menjabat Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Cirebon mengatakan, sejumlah lembaga amil zakat juga membantu pengadaan 8 sumur bor yang akan mengaliri 470 hektar lahan pertanian.
Dengan ketersedian air yang mencukupi ini, petani akan memaksimalkan seluruh masa tanam. Mereka yang semula hanya bertani pada MT1 musim hujan, dan MT2 musim gadu saja, kini juga akan menanam padi pada MT3 yakni musim kemarau.
https://bandung.kompas.com/read/2024/11/20/205202378/cerita-warga-guwa-lor-cirebon-70-tahun-kesulitan-akses-air-bersih