KUNINGAN, KOMPAS.com - Sadna seakan melawan usia. Pria 70 tahun ini membelah hamparan Danau Waduk Darma Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, seluas sekitar 400 hektar.
Dengan perahu kecil yang dimilikinya, dia mencari tutut untuk dijual dan diolah menjadi produk olahan kuliner.
Sadna adalah satu dari 137 petani yang mengubah limbah tutut menjadi sumber kekuatan ekonomi. Ia menjadi potret perjuangan keras kepala rumah tangga.
Setiap pagi, sebelum matahari terbit, Sadna sudah keluar rumah untuk menaiki perahu berukuran lebar sekitar 60 sentimeter dan panjang sekitar 200 sentimeter yang disandarkan di bibir Danau Waduk Darma.
Setelah berlayar, dia mengambil tutut di dasar pesisir danau dengan serok jaring bergagang sepanjang sekitar 150 sentimeter.
Dia juga mengambil tutut yang menempel di bambu yang telah ditenggelamkan di dalam danau.
Sekitar jam 10.00 pagi, dia mulai menepi sambil membawa sekitar 30 hingga 50 kilogram tutut.
Dia kemudian membersihkan tutut untuk dijual ke Bumdes, dan sebagian lainnya diserahkan kepada keluarganya yang menjadi pelaku UMKM yang menjual kuliner olahan tutut.
"Sudah delapan tahun. Alhamdulillah ada pemasukan, saya menjual tutut Rp5.000 per kilogram, jadi sekitar Rp150.000-250.000 setiap ke danau," kata Sadna saat ditemui Kompas.com di atas perahunya, Sabtu (23/11/2024) siang.
Mata pencarian sebagai pencari tutut tak hanya dilakukan Sadna yang sudah senja.
Jefri yang masih berusia 30 tahun pun sama. Kepala rumah tangga dengan dua anak ini menjadikan pencari tutut sebagai usaha utama.
Jefri meyakini kerja di desa bisa lebih baik dengan tetap menjaga keluarga. Bahkan, dengan usahanya ini, ia bersama petani lain mengurangi masalah tutut yang kerap berserakan di pesisir danau, serta menyebarkan aroma tidak sedap.
Berbeda dengan Sadna, Jefri memberikan hasil pencarian tutut kepada istri, adik, dan keluarganya.
Mereka membuat olahan tutut dengan beragam varian yang dijual di pesisir danau dengan harga Rp5.000-10.000 per porsi.
Keluarga Jefri meningkatkan nilai jual tutut dari yang semula Rp5.000 per kilogram mentah menjadi Rp 40.000 - 50.000 per kilogram matang.
"Saya dan bapak yang bertugas cari tutut, setelah sampai di rumah tugas istri dan keluarga memasak dan menjual tutut di pinggir danau. Alhamdulillah, sudah lima tahun, lancar," kata Jefri saat ditemui Kompas.com di rumahnya.
Jefri juga menjadi contoh salah satu nasabah BRI yang naik kelas.
Selama lima tahun, bantuan modal yang didapat membuat usahanya meningkat hingga beberapa kali menambah nilai permodalan.
Kini Jefri menambah perahu agar lebih kuat dan aman membelah Danau Waduk Darma mencari tutut.
Ita Ernawati (39), pelaku UMKM "Tutut Mirasa", menjadikan tutut hasil petani menjadi olahan kuliner unik nan istimewa.
Melalui percobaan berulang kali, Ita berhasil menghilangkan aroma amis dan rasa lumpur dari tutut.
Ita memadukan rempah-rempah nusantara berupa kunyit, jahe, serai, daun jeruk, dan jeruk limo, menjadi sajian kuliner bergizi bercita rasa tinggi.
Ibu dua anak ini juga membuat varian rasa dari menu original kuah kuning, menjadi tutut balado, tutut saus tiram, tutut saus padang, dan tutut rica-rica dengan interval harga Rp40.000 hingga Rp80.000 per kilogram.
Ita meningkatkan berkali lipat nilai ekonomi dari harga tutut mentah.
"Yang membedakan hilang bau amis dari khas tutut, bau lumpur juga hilang. Resepnya rempah-rempah. Alhamdulillah, hari biasa 40 kilogram, dan Sabtu-Minggu bisa 60 kilogram, kalau ada pesanan bisa lebih banyak," kata Ita saat ditemui Kompas.com pada Sabtu (23/11/2024) petang.
Sopyan (43), Direktur Bumdes Mekar Jaya Desa Jagara menyampaikan, mulanya warga menganggap tutut sebagai masalah.
Banyak wisatawan terganggu limbah cangkang tutut yang berserakan dan menyebarkan aroma amis.
Di tahun 2016, Sopyan mulai membersihkan tutut dengan menjualnya ke luar kota.
Ternyata ada banyak pedagang yang siap menampung tutut mentah.
Potensi besar
Sebagai direktur Bumdes, dia melihat potensi besar, yakni membersihkan limbah tutut, membuat nyaman wisatawan, dan mendapatkan untung dari tutut mentah.
Dia menggerakkan sebanyak 137 warga untuk menjadi petani tutut.
"Saat itu, produksi harian tutut mentah kita mencapai sekitar 3-4 ton per hari. Namun, lambat laun tutut berkurang jumlahnya, dan kita ubah kebijakan larangan menjual mentah keluar, melainkan tutut yang didapat hanya boleh dijual kepada warga sekitar untuk dijadikan olahan kuliner," jelas Sopyan.
Kebijakan Bumdes yang disetujui pemerintah desa berdampak besar.
Satu persatu warga menjadi pelaku UMKM dan juga jumlah kunjungan wisatawan meningkat pesat, terlebih Desa Jagara ditetapkan sebagai desa wisata yang menjadi pintu gerbang sembilan desa penyangga Waduk Darma.
Melihat prestasi ini, Sopyan bekerja sama dan berkolaborasi dengan BRI Cabang Kuningan.
Sejumlah UMKM mendapatkan pelatihan, pendampingan, penambahan modal, dan juga peralatan produksi.
Sejumlah pelaku UMKM sudah membuat tutut menjadi jenis frozen dengan alat freezer bantuan BRI.
Delvi Afriani, Kepala Unit Darma BRI Cabang Kuningan, menyebut, Bumdes Mekar Jaya berhasil menggabungkan semangat petani.
Mereka yang semula menjual tutut mentah menjadi produk olahan kuliner dengan berbagai kreativitas.
BRI menjadikan Bumdes Mekar Jaya Desa Jagara sebagai klaster tutut, sebuah klaster yang unik dan jarang dimiliki daerah lain.
Kesungguhan perubahan itu juga menjadikan BRI mengajukan Desa Jagara sebagai Desa BRILiaN di tahun 2023, yang akhirnya masuk kategori 40 besar nasional.
BRI memberikan bantuan berupa pendampingan, permodalan, dan alat-alat produksi berupa freezer.
Dengan alat bantu pembeku, pelaku UMKM kini memiliki produk tutut frozen yang lebih tahan lama.
Peningkatan jenis produk meningkatkan putaran ekonomi Desa Jagara semakin tumbuh dan kuat.
"Mereka di bawah binaan Bumdes Mekar Jaya jadi lebih terorganisir, yang semula jual mentah sekarang jadi pelaku UMKM, ada juga tutut frozen, jadi tahan lama. Tentu ini membuat ekonomi meningkat, yang semula satu dua saja kerja sama dengan BRI, sekarang hampir seluruhnya menjadi mitra binaan," tutup Delvi.
https://bandung.kompas.com/read/2024/11/26/214024078/kisah-sukses-bumdes-mekar-jaya-di-kuningan-ubah-limbah-tutut-menjadi-kuliner