Salin Artikel

Cerita Santi, Eks Pekerja Migran Inspiratif yang Rumahnya Jadi Tempat Menginap Menteri PPMI

Di teras rumahnya sudah menunggu Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) Abdul Kadir Karding dan rombongan, serta suaminya, Salmin.

Rumah bercat dominan coklat itu tampak bersih dan nyaman, dengan teras untuk bersantai atau menerima tamu yang cukup estetik.

Perempuan dengan nama lengkap Santi Nurwatun Janah itu sejak umur 17 tahun menjadi pekerja migran Indonesia atau tenaga kerja wanita (TKW) ke Abu Dhabi selama dua tahun.

Setelah itu, ia berangkat ke Taiwan sekitar 5 tahun dan juga ke Hong Kong.

Kini, perempuan 35 tahun itu mengelola tabungan warga dengan sistem arisan menggunakan modal dari sisa merantau ke luar negeri.

"Kuncinya harus benar-benar kerja dan soal uang jangan dihambur-hamburkan. Kita pakai keuangan seperlunya saja, untuk kebutuhan keluarga jangan buat yang nggak-nggak, insya Allah bisa berhasil," kata ibu dua anak itu.

Santi mengakui bahwa keluarganya berperan membantu mengelola keuangannya, baik ibunya sebelum ia menikah maupun suaminya saat ini.

Sebelum berangkat bekerja ke luar negeri, Santi mengaku lebih dulu mengikuti pelatihan sekitar tiga hingga empat bulan dari perusahaan penyalur.

Artinya, ia berangkat secara legal dan mempunyai kemampuan berkat mengikuti pelatihan.

Kepada Menteri PPMI, Santi juga bercerita soal proses keberangkatan dan pengalamannya selama menjadi TKW.

"Menurut saya, lebih enak di Taiwan, di negara Asia, karena bos bersikap lebih bersahabat. Itu pengalaman saja," ujar Santi.

Menteri PPMI Abdul Kadir Karding menyebut Santi sebagai salah satu purna pekerja migran yang inspiratif.

"Jadi alhamdulillah setelah beliau bekerja di Arab, Taiwan, dan Hong Kong, alhamdulillah bersama suami bisa hidup bahagia, punya rumah yang menurut saya sangat baik," kata Karding.

Karena itu, Karding memilih menginap di rumah Santi di Desa Ciparagejaya untuk menyerap aspirasi dan menjiwai persoalan TKW.

Seperti diketahui, Desa Ciparagejaya merupakan desa dengan 80 persen penduduk bekerja sebagai nelayan dan sebagian menjadi PMI di luar negeri.

"Supaya saya bisa menyelami, menjiwai kehidupan masyarakat di desa, masyarakat kantong-kantong PMI," ujar Karding.

Esok hari, Karding juga bakal melantik pejabat eselon 3 dan 4 pada Kementerian PPMI di Kantor Desa Ciparagejaya.

Tujuannya agar para pejabat tersebut bekerja dengan menjiwai dan memahami persoalan perlindungan pekerja migran Indonesia.

"Agar paham betul, tidak hanya dalam konteks teori dan program, tapi juga paham kehidupan aslinya mereka ini seperti ini. Baik yang kondisinya susah maupun yang kondisinya sudah mapan," ujar Karding.

Karding berharap ke depan Kementerian PPMI memiliki roadmap perlindungan PMI yang bagus, pelayanan yang baik, dan pemberdayaan saat PMI sudah pulang ke tanah air.

Ketiganya, kata Karding, menjadi konsen kementeriannya.

"Selain itu, kalau menempatkan kita geser yang tadinya low skill menjadi pelan-pelan menjadi middle atau high skill, makanya kita konsen pada pelatihannya," ujar Karding.

https://bandung.kompas.com/read/2025/01/09/220528978/cerita-santi-eks-pekerja-migran-inspiratif-yang-rumahnya-jadi-tempat

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com